Uji Insolvensi Dinilai Tidak Sesuai dengan Sistem Hukum Indonesia

Jum'at, 19 November 2021 - 18:16 WIB
loading...
A A A
Sebelumnya, Apindo meminta agar pemerintah mempercepat revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Dalam revisi UU tersebut, Apindo mengusulkan agar poin tes insolven masuk dalam rumusan UU Kepailitan.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjelaskan, perkara PKPU dan kepailitan terus meningkat akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Untuk itu, Apindo mengusulkan kepada pemerintah agar segera menerbitkan Perppu Moratorium UU No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta melakukan amandemen atau revisi tersebut.

Apindo berpendapat, kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan. Sebab, pengajuan PKPU dan kepailitan dinilai tidak membantu menyehatkan usaha debitur. Tapi, justru untuk berujung kepada kepailitan. "Padahal maksud dan tujuan dari PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaannya," kata Hariyadi.

Namun begitu, menurut Jimmy, di beberapa negara yang menganut sistem hukum serupa dengan Indonesia, belum ada yang menerapkan tes insolven dalam kasus PKPU dan pailit. Contohnya Singapura dan Belanda. Bahkan, di negara maju yang sudah punya sistem laporan keuangan korporasi yang bagus, juga tidak menerapkan tes insolven.

Jimmy menambahkan, sangat sulit bagi regulator di Indonesia untuk mengontrol jutaan korporasi (perseroan) yang tidak melaporkan keuangannya secara rutin setiap tahun kepada publik. Ini terutama perseroan yang status badan hukumnya bukan perusahaan terbuka. Saat ini, sambung dia, prinsip yang bisa digunakan adalah presumption to be insolvent. Kreditur hanya bisa menduga bahwa debitor dalam kondisi insolven atau tidak. Jika debitur masih merasa mampu membayar utangnya, dia harus membuktikannya dengan mengajukan proposal perdamaian yang diterima kreditur. Dengan begitu, proses PKPU bisa berakhir.

Sebaliknya, jika pihak debitur memiliki aset yang besar, tapi tidak bisa menyajikan penawaran pembayaran utang yang baik kepada kreditor, maka debitur jadi insolven. Hal ini berarti, debitur dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditur.

Senada Praktisi Hukum PKPU Ricardo Simanjuntak mengatakan, dari perspektif hukum, keadaan insolven terjadi ketika aset debitur lebih kecil dibandingkan kewajiban utangnya. Masalahnya, untuk mengetahui debitur insolven atau tidak harus dilihat dari laporan keuangannya. Dan ini yang harus dibuktikan pihak kreditur di pengadilan ketika ingin memohonkan pailit. Pembuktian insolven ini akan membebani kreditor. Sebab, untuk membuktikan insolven, kreditur harus punya laporan keuangan kreditur.

Sayangnya, laporan keuangan tersebut sulit didapatkan kreditur dari pihak debitur. "Jadi penerapan uji insolven itu menjadi suatu yang tidak memungkinkan. Karena, berapa banyak laporan keuangan debitur yang harus dimiliki kreditor," kata Ricardo.

Ricardo berpendapat, jika tes insolven masuk dalam revisi UU Kepailitan, maka akan berdampak terhadap keberlangsungan dunia usaha. Salah satu dampaknya, kreditur yang memiliki piutang terhadap debitur dengan aset lebih besar dari utangnya akan sulit diperkarakan. "Pelaku usaha kecil yang memiliki piutang ke perusahaan besar akan sulit menagih utangnya," tambah Ricardo.

Padahal, lanjut Ricardo, permohonan PKPU atau pailit yang diajukan kreditor bertujuan untuk melihat itikad baik dan kemampuan debitor dalam membayar utangnya. Dengan demikian, pihak kreditur dan debitur akan sama-sama diuntungkan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2372 seconds (0.1#10.140)