Indonesia Butuh Petinggi TNI yang Mampu Berdiplomasi dan Diakui Dunia

Selasa, 19 Oktober 2021 - 17:46 WIB
loading...
Indonesia Butuh Petinggi TNI yang Mampu Berdiplomasi dan Diakui Dunia
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, Indonesia membutuhkan petinggi TNI yang memiliki kemampuan berdiplomasi dan diakui kompetensinya di dunia internasional. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, Indonesia membutuhkan petinggi TNI yang memiliki kemampuan berdiplomasi dan diakui kompetensinya di dunia internasional. Hal itu penting guna meredam konflik di Laut China Selatan (LCS) yang semakin memanas.

”Catatan untuk pemerintahan Jokowi dan KH Maruf Amin dalam 2 tahun terakhir adalah inovasi keamanan baru yang dapat diterima oleh semua negara yang berkonflik di LCS. Oleh karena itu, kita sangat membutuhkan kemampuan petinggi TNI yang mampu melobi petinggi-petinggi militer dunia. Dibutuhkan sosok pimpinan TNI yang jago berdiplomasi dan diakui kompetensinya di dunia internasional,” ujarnya.

Menurut Nuning, panggilan akrab Susaningtyas Kertopati, ketegangan di Laut Cina Selatan menjadi perhatian dunia internasional. Bukan hanya Indonesia yang berkepentingan tapi juga negara-negara lain yang merasakan dampak langsung rivalitas negara-negara tertentu.

Pemerintah Indonesia, kata Nuning, sudah berupaya sekuat tenaga melalui diplomasi pertahanan untuk mencegah eskalasi konflik. Begitu juga dengan para diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang ikut bekerja keras pada tataran regional Asia Tenggara dan internasional.

Mantan anggota Komisi I DPR ini mengakui, sistem pertahanan dan alutsista yang dimiliki Indonesia masih mampu menghadapi ancaman dari luar negeri dengan skala terbatas atau minimal menghadapi perang terbatas.

”Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta atau yang dikenal Sishankamrata telah divalidasi untuk menghadapi ancaman dari luar negeri dan ancaman dari dalam negeri. Sistem tersebut menempatkan komponen utama atau TNI berikut alutsista untuk bisa mencegah agresi dengan doktrin perang gerilya. Sistem tersebut membutuhkan alutsista yang memadai,” ujarnya.

Grand design dari Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebesar Rp1.700 triliun, kata Nuning, harus dipahami sebagai program jangka panjang selama 25 tahun. Dengan paradigma baru bahwa pertahanan negara sebagai investasi maka pengadaan alutsista yang semula mekanismenya cicilan material menjadi cicilan uang. Artinya, Rp1.700 triliun sama sekali tidak menambah APBN untuk pertahanan negara.

”Kemhan justru sangat cerdas merancang skema keuangan baru yang diterima oleh banyak negara sehingga mereka semua setuju membangun alutsista TNI pada 5 tahun pertama dan baru dicicil setiap tahun selama 25 tahun. Saya rasa ini adalah langkah cerdas Kemhan RI,” ucapnya.

Di sisi lain, Nuning menilai, penangkapan sel teroris di Poso oleh aparat penegak hukum harus diapresiasi. Namun untuk konflik di Papua penanganannya agak sedikit berbeda karena mereka adalah separatisme.

”Sebagai perbandingan separatisme Moro di Filipina, separatisme Pattani di Thailand dan pemberontak Houti di Arab Saudi. Bahkan di Indonesia bisa dibandingkan bagaimana pemerintah harus membasmi pemberontakan APRA, PRRI, RMS dan lain sebagainya. Semua berhasil dipadamkan dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Kita semua berharap agar separatisme Papua dapat segera dipadamkan berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional,” ujarnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1366 seconds (0.1#10.140)