Polisi kaki tangan pemilik kepentingan

Minggu, 25 Desember 2011 - 15:56 WIB
Polisi kaki tangan pemilik kepentingan
Polisi kaki tangan pemilik kepentingan
A A A
Sindonews.com – Pemerintah diminta untuk melakukan moratorium terhadap perusahaan tambang di seluruh Indonesia. Moratorium tersebut disuarakan oleh Gabungan aktivis organisasi kepemudaan, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan tokoh Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Muhammadiyah Ton Abdillah Has mengatakan, pihaknya melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di daerah antara aparat kepolisian dengan masyarakat sipil. Kekerasan ini modusnya hampir sama. Yakni polisi merepresi warga yang punya lahan.

"Segera dilakukan penutupan perusahaan-perusahaan penambangan dalam konteks kerusakan lingkungan. Kita ingin moratorium," ujar Ton dalam jumpa pers di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Minggu (25/12/2011).

Ton menambahkan kasus yang terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) bukanlah peristiwa pertama yang terjadi. Ton meminta pemerintah segera menyudahi konflik tersebut baik yang terjadi di Sape, Papua, Mesuji, dan Kebumen.

"Cukup sudah konflik seperti ini terjadi. Harus ada perhatian serius, harus ada keberpihakan kepada rakyat, dan nasib warga," tuturnya.

Ton melihat aparat kepolisian saat ini lebih terlihat sebagai kaki tangan pihak-pihak berkepentingan dibandingkan mengayomi masyarakat.

Ketua Presidium PP PMKRI Parlindungan Simarmata mengatakan, pemerintah tidak responsif dalam menyikapi kasus kekerasan yang terus berulang. Bila tidak ditangani secara serius, sambungnya, kasus tidak menutup kemungkinan kasus yang sama akan terulang kembali di daerah-daerah lainnya.

"Ini akan jadi bom waktu, pemerintah tidak sigap menyikapi hal-hal seperti ini, tidak menutup kemungkinan ini akan terjadi ke daerah-daerah lain. Khususnya di wilayah Timur," katanya.

"Ini akibat pembiaran-pembiaran pemerintah terhadap wilayah-wilayah di NKRI. Aparat bukan lagi pengayom tapi alat kekuasaan bagi para pihak berkepentingan di negeri ini," tutupnya.

Sementara iu, di tempat terpisah, Jaringan Masyarakat Anti Kekerasan (JAMAK) menilai hampir sebagian konflik sumber daya alam (SDA) selalu melibatkan anggota Brigadir Mobile (Brimob) yang notabene adalah institusi kepolisian. Ironisnya, dalam setiap konflik pasti rakyat yang menjadi korban.

"Brimob selalu saja terlibat dalam sebagian besar konflik SDA di Indonesia. Bahkan aparat ini lebih cenderung jadi beking kepentingan pengusaha," kata Aan Anshori seperti dikutip Okezone, Minggu (25/12/2011).

Ia mencontohkan, beberapa kekerasan yang melibatkan Brimob seperti kasus Mesuji. Hal itu terkuak setelah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menemukan ada tiga aparat yang terlibat. "Keterlibatan itu juga diakui oleh Kapolri," ucapnya.

Belum lagi, Kasus Newmont, Lumpur Lapindo, Kisruh Tol Mojokerto-Kertosono dan masih banyak lagi. Yang terjadi rata-rata modusnya hampir sama. Yakni, kelompok pemodal selalu menggunakan tangan polisi atau Brimob untuk mengamankan kepentingannya.

Jika alasannya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, tapi aspek pengelolaan SDA selalu saja tidak menghormati hak adat dan pasti mengabaikan hak asasi manusia.

"Selalu saja rakyat kecil berhadapan dengan moncong senjata. Padahal, pajak yang dibayar untuk membeli senjata itu adalah dari rakyat," tukasnya.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7174 seconds (0.1#10.140)