Memahami Hak Narapidana

Jum'at, 27 Agustus 2021 - 10:39 WIB
loading...
Memahami Hak Narapidana
Iqrak Sulhin, Dosen Tetap Kriminologi FISIP UI. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Iqrak Sulhin
Dosen Tetap Kriminologi FISIP UI

MINGGU terakhir ini muncul perbincangan publik tentang remisi (pemotongan masa pembinaan) yang diberikan kepada narapidana korupsi. Banyak yang menyayangkan pemberian remisi tersebut, mengingat yang diberikan adalah seseorang yang telah merugikan negara dan menyakiti suasana kebatinan publik. Pertanyaannya, apakah memang pemberian hak remisi itu salah?

Sebelum lebih jauh, perlu dipahami bahwa remisi pada dasarnya bukan pengurangan masa pidana (meski sering disebut demikian). Hal ini karena lama pidana sudah ditetapkan oleh pengadilan. Setelah seorang terpidana dieksekusi ke dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) oleh Jaksa, statusnya berubah menjadi narapidana, dan selama di dalam lapas tersebut narapidana menjalani masa pembinaan. Lama pidana tetap, namun lama masa pembinaan yang dapat dikurangi dari masa pidana yang telah ditetapkan hakim tersebut.

Hak-hak Bersyarat
Mengacu pada UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, disebutkan bahwa Pemasyarakatan adalah penghujung dari sistem peradilan pidana. Ketentuan ini pada dasarnya tidak tepat, karena mengacu pada hukum acara pidana, Pemasyarakatan sebenarnya sudah berperan sejak pra-adjudikasi, melalui kewenangan fisik dalam penahanan. Bahkan di dalam UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) diperjelas lagi bahwa Pemasyarakatan berperan dari ujung ke ujung, dari pra-adjudikasi, adjudikasi, dan post-adjudikasi.

Namun demikian, bila dilihat dari proses yang dilakukan oleh peradilan pidana, salah satu dari sub-sistem Pemasyarakatan memang merupakan penghujung dari sistem peradilan pidana, yaitu Lapas. Tugas dari Lapas adalah pelaksana pidana penjara berdasarkan perintah pengadilan. Namun masa selama seorang narapidana di Lapas itu disebut dengan masa pembinaan.

Di Indonesia, dihitung sejak konsep Pemasyarakatan diperkenalkan tahun 1963 dan dibahas secara khusus di dalam konferensi kepenjaraan ketiga tahun 1964 di Lembang Bandung, pidana dimaknai sebagai pembinaan. Tujuannya adalah mengintegrasikan kembali narapidana dengan masyarakatnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalam proses pembinaan diberikan sejumlah ‘reward’ yang didasarkan atas penilaian perilaku hingga asesmen yang dilakukan dengan instrumen khusus. Termasuk penelitian kemasyarakatan untuk mengetahui aspek yang lebih luas, yang mencakup kondisi lingkungan sosial narapidana, sebelum ‘reward’ diberikan.

Dalam UU Pemasyarakatan, reward ini disebut sebagai hak-hak narapidana. Di dalam rancangan UU Pemasyarakatan yang baru (draf September 2019) reward ini disebut sebagai hak-hak bersyarat. Disebut bersyarat karena ada persyaratan administratif dan substantif yang harus dipenuhi sebelum seorang narapidana mendapatkan hak tersebut.

Ini berbeda dengan hak mutlak yang tanpa syarat, seperti hak untuk makan, minum, beribadah, hingga hak untuk tidak disiksa. Beberapa hak-hak bersyarat yang sering menjadi perbincangan publik adalah remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, hingga pembebasan bersyarat.

Mengapa hak-hak bersyarat yang sejatinya reward diperlukan di dalam pembinaan? Jawaban dari pertanyaan ini berkaitan dengan filosofi dari pembinaan itu sendiri. Seperti disebutkan sebelumnya, Lapas adalah pelaksana pidana. Namun tidak berarti selama proses pemenjaraan (di lapas) esensinya adalah penderitaan. Mengapa demikian? Dasar historisnya adalah prinsip-prinsip Pemasyarakatan yang disepakati di dalam konferensi Lembang tahun 1964.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2088 seconds (0.1#10.140)