Akankah Benyamin Netanyahu Ditetapkan Penjahat Perang di Palestina?

Senin, 24 Mei 2021 - 16:10 WIB
loading...
Akankah Benyamin Netanyahu Ditetapkan Penjahat Perang di Palestina?
Mampukah Mahkamah Pidana Internasional mengadili Zionis Israel dan Benyamin Netanyahu sebagai penjahat perang di Palestina seperti halnya Slobodan Milosevic? Foto/Kolase/Sindonews
A A A
DR H Ikhsan Abdullah, SH.MH
Ahli Hukum yang menjadi Wakil Sekjen MUI
Aktifis Indonesia Halal Watch
Staf Khusus Wakil Presiden RI

MAMPUKAH Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) mengadili Zionis Israel dan Benyamin Netanyahu sebagai penjahat perang di Palestina seperti halnya Slobodan Milosevic? Statuta dan praktik pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif bagi apa yang disebut sebagai international crimes saat ini.

Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional. Yakni kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan lima kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility.

Ketika Statute for an International Criminal Court (Statuta Mahkamah Pidana Internasional) yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu: genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Berkaitan dengan Kejahatan Kemanusiaan dengan katagori Kejahatan Perang atau War Crimes, mantan President Yugoslavia Slobodan Milosevic pernah didakwa melakukan genosida dan kejahatan perang di Bosnia, Krosia, dan Kosovo. Dia disidangkan pada 12 Februari 2002 di The Hague, Belanda. Sayangnya sebelum mendapatkan putusan, Milosevic ditemukan meninggal dunia pada usia 64 tahun akibat serangan jantung di dalam sel penjara pada 11 Maret 2006.

Diperkirakan sebanyak 10.000 orang telah terbunuh dan ratusan kota di Kroasia hancur sampai dengan terjadinya gencatan senjata yang dipelopori Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Januari 1992. Pada Maret, Bosnia-Herzegovina mendeklarasikan kemerdekaannya.

Milosevic mendanai pemberontakan Bosnia Serbia hingga menyebabkan dimulainya peperangan yang menewaskan setidaknya 200.000 korban jiwa, sebelum tercapainya perjanjian perdamaian yang di jembatani oleh Amerika di Dayton, Ohio pada 1995. Milosevic juga melakukan kampanye pembersitan etnis terhadap warga Albania di Kosovo. Sebelumnya, pada 1997, Milosevic menjadikan dirinya sebagai presiden Yugoslavia setelah tak bisa menduduki masa jabatan ketiga sebagai presiden Serbia.

Pada 2000, Milosevic kalah dalam pemilihan presiden tetapi tak mau turun dari jabatannya sebelah akhirnya menyerah akibat desakan massa pada Oktober tahun yang sama. Setelah turun dari jabatan, Milosevic didakwa melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Dia akhirnya menyerahkan diri kepada aparat keamanan Serbia pada 1 April 2001 setelah dikepung polisi selama 26 jam. Pada Juni 2001, Milosevic kemudian diekstradisi ke Belanda untuk menjalani sidang di pengadilan kejahatan perang PBB. Namun, sebelum pengadilan menjatuhkan keputusan, Milosevic meninggal dunia di dalam selnya diduga akibat mengalami serangan jantung.

Sejarah Konflik di Palestina
Bangsa Yahudi merasa berhak atas tanah Palestina karena merasa pernah tinggal di sana. Kemudian diusir di zaman Romawi.

Pada 1897, Bangsa Yahudi ingin kembali ke wilayah Palestina dengan alasan tanah tersebut telah dijanjikan oleh Tuhan mereka. Bahwa penduduk asli Palestina dulunya adalah bangsa Falistin yang berasal dari wilayah dekat Yunani dan telah mendiami wilayah itu selama ribuan tahun.

Pendudukan Yahudi di Palestina dan berakhir dengan berdirinya negara Isreal merdeka, sebenarnya berawal dari berdirinya organisasi Zionis Dunia (World Zionist Organization) pada 1897. Organisasi ini mengagendakan yang utama adalah pendirian Negara bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina.

Kemudian Yahudi Israel juga telah mendapatkan dukungan dari Inggris seperti terlihat dalam Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pada 2 November 1917 yang intinya Inggris menyetujui tanah Palestina sebagai national home wilayah Bangsa Yahudi. Padahal di sana sudah ada orang Arab-Palestina

Perjanjian Inggris dalam wujud deklarasinya merupakan modal penting bagi Yahudi untuk mewujudkan satu negara merdeka di tanah Palestina. Yahudi dengan deklarasi Balfour menyemangati Yahudi di seluruh dunia, terutama di Eropa Timur untuk menyokong upaya mewujudkan bagi Yahudi di Palestina memiliki negara merdeka, yang diberi nama kemudian dengan negara Israel.

Sebagian ahli menyebutkan dalih bahwa orang Yahudi mempunyai hubungan sejarah lama dengan istilah yang digunakan historic right atau historic title, tidaklah ada asas dalam perundang-undangan dan tidak pula dasar hukum yang nyata. Catatan menyebutkan bahwa undang-undang antarbangsa tidak membenarkan yang demikian dan juga mengaitkan dengan sejarah lama (historic title atau historic right) tidak benar. Kedua istilah ini lebih untuk mendapatkan hak kawasan (territory) satu negara yang berkaitan dengan perairan (maritime).

Jelaslah bahwa berdasarkan undang-undang antar bangsa tidak membolehkan membangun satu negara atas dasar karena mempunyai ikatan dengan sejarah semata. Orang Yahudi yang membangun negara Israel di Palestina jelas tidak memiliki dasar hukum dan dasar argumen. Karena itu, Yahudi setelah mewujudkan Israel segera melakukan perampasan, menduduki dan menghalau penduduk Palestina yang Muslim dari tanah negeri mereka.

Israel membunuh dengan membabi buta penduduk Palestina Muslim yang tidak bersalah, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa Deir Yasin pada 1948 hingga saat ini. Tentara atau Irgun Yahudi-Israel telah membunuh dan menyiksa laki dan perempuan dewasa, remaja, anak-anak bahkan bayi untuk menimbul kesan kekejaman dan keganasan mereka. Tujuannya agar Muslim Palestina timbul rasa takut, terteror, dan meninggalkan tanah kelahiran mereka sehingga melapangkan jalan bagi pendudukan Yahudi-Israel di Tanah Palestina, Yerusalem khususnya.

Minimnya dukungan Liga Arab menyebabkan Israel kian ‘kuat’. Minimnya dukungan dari Liga Arab dikarenakan adanya kepentingan masing-masing sehingga membuat negara-negara Arab terpecah. Misalnya Mesir yang terobsesi Golan dan Sinai tetap miliknya. Yordania menghendaki West Bank miliknya.

Sementara Jalur Gaza dibiarkan terus diacupasi Israel dan terus berkonflik dengan Palestina. Tidak bersatunya negara Arab menyulitkan penyelesaian konflik. Selain kepentingan, Liga Arab sudah banyak menghadapi konflik internal yang terjadi di setiap anggotanya. Misalnya, Arab Saudi dengan Yaman dan Suriah yang menyelesaikan perang saudara berkepanjangan. Sementara itu, Uni Emirat Arab dan Bahrain secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel belum lama ini.

Penyebab Konflik yang Memanas Kembali
Konflik bermula dari upaya Israel menggusur paksa warga Palestina yang bermukim di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur. Warga pun membalas dengan upaya unjuk rasa. Polisi Israel membalas kembali dengan blokade serta ancaman pengusiran kepada siapapun yang terlibat unjuk rasa tersebut.

Pascakerusuhan di Masjidil Aqsa pada Jumat 7 Mei 2021 lalu, ketegangan semakin memanas. Kala itu, polisi Israel membubarkan warga Palestina yang tengah menunaikan salat tarawih di penghujung Ramadhan, Senin 10 Mei 2021. Hal ini menyebabkan Faksi Hamas di Jalur Gaza menembakkan roket ke arah Tel Aviv dan sejumlah wilayah Israel lainnya sebagai balasan atas tindakan Israel yang brutal.

Serangan itu dibalas Israel dengan membombardir Jalur Gaza dengan jet tempur dan bom sulfur. Akibatnya, sejumlah bangunan penting dan appartemen padat penduduk mengalami kerusakan dan merenggut ratusan korban jiwa

Hamas dan Palestina mulai memberlakukan gencatan senjata, mengakhiri 11 hari pertempuran kedua pihak yang telah menewaskan lebih dari 253 orang sebagian besar korban di Gaza. Warga Palestina tumpah ke jalan-jalan di Gaza tak lama setelah pengumuman gencatan senjata dimulai, sementara Hamas memperingatkan mereka tetap berwaspada.

Tak lama setelah gencatan senjata berlaku pada Jumat pukul 02.00 waktu setempat (05.00 WIB), banyak warga Palestina di turun ke jalan dengan mobil ataupun berjalan kaki untuk merayakan kemenangan Syaeful Quds. Di Gaza, pengemudi membunyikan klakson sementara pengeras suara dari masjid-masjid meneriakkan "kemenangan kelompok perlawanan." Militer Israel mengatakan mereka mencabut pembatasan darurat di seluruh wilayah.

Kabinet Israel yang juga disambut gembira oleh Penduduk Israel yang tidak siap perang dan selama 15 hari tinggal dalam banker perlindungan mendukung dikeluarkan keputusan untuk menyetujui gencatan senjata dengan Hamas

Mengapa Israel Salah dan Kalah?
Beberapa hari sebelum terjadi kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina, sejumlah media di Israel memberikan catatan buruk terhadap operasi militer yang membabi-buta yang dilakukan pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu. Israel menjadi sorotan dunia internasional atas kekerasan, pembantaian dan pembunuhan terhadap warga sipil, baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat. Citra Israel semakin buruk dan menegaskan Israel sebagai penjajah, penindas, dan sekaligus pelaku apartheid.

Kritik dan protes di dalam Israel sendiri dapat menggambarkan bahwa Israel-Netanyahu benar-benar salah dan kalah. Israel telah mempertontonkan kebiadaban, penjajahan, penindasan, kekerasan, dan kejahatan.

Dalam 11 hari serangan pesawat dan mesin tempur Israel yang bombardir Gaza dan agresi militer di Tepi Barat, setidaknya 253 warga Palestina yang tewas. Di antaranya 65 anak-anak, 39wanita, 17 warga lanjut usia, dan ribuan warga lainnya luka-luka. Mereka yang tewas adalah penduduk sipil non kombatan yang sepatutnya dilindungi. Sedangkan dari pihak Israel ada 12 warga yang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Di Era sosmed warga Jalur Gaza dan Tepi Barat dapat menyiarkan peristiwa yang terjadi di wilayahnya secara langsung melalui WA, Instagram, Tik-Tok, Twitter, Facebook, Youtube, dan lain-lainnya. Padahal beberapa layanan media sosial tersebut berusaha untuk menyensor informasi yang disebarluaskan warga Gaza dan Tepi Barat. Namun protes keras dari warga dunia akhirnya membuat penyedia layanan media sosial luluh karena khawatir ditinggalkan para penggunanya.

Israel menjadi tidak mampu menghadapi banjirnya informasi di media sosial yang mempertontonkan kebiadaban. Israel tidak bisa lagi menggunakan dalih bahwa mereka membalas dalam rangka melindungi diri (self defense) seperti yang selama ini dijadikan tameng sehingga seakan mendapatkan keabsahan dalam melakukan kebrutalan di Palestina dan yang diakupasi Israel.

Faktanya, rudal-rudal Israel menyasar warga sipil secara membabi buta dan brutal. Israel jelas telah melanggar hak asasi manusia dan etika perang yang paling fundamental, perihal menghindari jatuhnya korban anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia

Israel kalah dan gagal karena tidak mampu melumpuhkan Hamas. Justru dalam setiap operasi militer, Hamas justru selalu mendapatkan keuntungan dengan naiknya popularitas. Andai setelah operasi militer Israel ini digelar pemilu di Palestina, maka hampir dipastikan Hamas akan memenangkan pemilu dengan sangat meyakinkan.

Apalagi dalam krisis politik terakhir, Hamas menunjukkan kemampuannya dengan meluncurkan 3.000 rudal lebih ke sebagian besar kota-kota dalam Israel dan mampu menembus Iron Dome Israel yang selama ini sulit ditembus.

Warga Gaza dan Tepi Barat merayakan gencatan senjata dengan gegap-gempita, karena setidaknya mereka telah mampu membukakan hati nurani dunia, khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang selama ini selalu berpihak pada Israel. Di samping itu, mereka mampu membangun solidaritas persatuan di antara faksi-faksi yang selama ini selalu berseberangan di Palestina, khususnya Fatah dan Hamas.

Dalam konflik terakhir ini, setidaknya ada tiga hal penting yang harus mendapatkan perhatian serius Israel. Pertama, Israel tidak bisa lagi seenaknya menguasai Masjid al-Aqsha dan kawasan suci di al-Quds.

Kedua, Israel juga harus menghentikan pembangunan ilegal di Tepi Barat yang merupakan tindakan pelanggaran hukum Internasional. Tindakan Zionis Israel di Kawasan Syaikh Jarrah tidak dapat dibenarkan. Israel wajib patuh dengan resolusi PBB No 242 dan 332 sebagai syarat menjaga perdamaian dalam pergaulan antar Bangsa.

Ketiga, Zionis Israel dan Pemerintahan Benyamin Netanyahu harus bersiap menghadapi Peradilan Pidana Internasional di Mahkamah Internasional di Denhaagh sebagai Penjahat Perang. Netanyaho harus diadili sebagamana Slobodan Milosovic Presiden Serbia yang diadili sebagai Penjahat Perang Bosnia.

Dunia internasional terutama anggota UCC harus menekan PBB untuk mengadili Netanyahu dan Zionis Israel sesuai hasil investigasi Jaksa Fatou Bensoda. Ia melaporkan, ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili kejahatan yang dilakukan Israel sekaligus menyeret Netanyahu ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang. Tujuannya agar di masa yang akan datang tidak terjadi lagi kejahatan dan kebiadaban, pembantaian dan pengusiran serta pembunuhan yang dipertunjukan oleh suatu negara kepada kedaulatan dan wilayah sera peduduk sipil negara lain.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1558 seconds (0.1#10.140)