Impor Pangan Sulit Dihentikan

Rabu, 31 Maret 2021 - 06:05 WIB
loading...
Impor Pangan Sulit Dihentikan
Setelah ribut dengan wacana impor beras 1 juta ton muncul polemik baru, yakni impor daging sapi dan kerbau serta garam. (Ilustras: SINDOnews/Wawan Bastian)
A A A
POLEMIK seputar impor komoditas pangan sepertinya akan terus berkobar. Rencana impor beras sebanyak 1 juta ton yang sempat mengundang polemik tajam di tengah masyarakat kini sudah mereda. Api polemik dimatikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memastikan bahwa Indonesia tidak akan melakukan impor beras sampai Juni 2021. Polemik soal impor beras pun langsung senyap. Untuk sementara impor beras memang tidak jadi, tapi sekarang ribut soal impor garam sekitar 3 juta ton, serta impor daging sapi dan kerbau untuk memenuhi kebutuhan tahun ini, terutama untuk kebutuhan Ramadan dan Lebaran atau April ā€“ Mei mendatang. Kapan negeri ini bisa bebas dari aktivitas impor pangan menuju swasembada aneka pangan?

Niat pemerintah untuk berswasembada aneka pangan tak diragukan, tetapi faktanya tetap terlilit pada aktivitas impor yang melahirkan pro-kontra tanpa ujung pangkal di tengah masyarakat. Sebenarnya, sejak zaman Orde Baru, Kementerian Pertanian (Kementan) sudah mengantongi peta jalan menuju swasembada aneka pangan. Mengapa peta jalan itu sulit diimplementasikan? Bila hal itu ditanyakan kepada mantan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso, maka jawabnya adalah komitmen politik di lapangan yang rendah dan kampanye sesat para importir.

Di atas kertas, komitmen politik pertanian sudah jelas yang terimplementasi dengan diterbitkannya aturan dan kebijakan pertanian. Namun, komitmen politik untuk pelaksanaan di lapangan tidak berjalan sesuai dengan harapan. Selain itu, Sutarto membeberkan dalam setiap diskusi dengan pihak terkait sering kali pembicaraan lebih fokus pada impor. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan aneka pangan lebih mudah mendatangkan dari luar negeri karena kualitasnya lebih baik daripada menanam sendiri, itu alasannya. Jelas pernyataan itu menyesatkan demi meloloskan keinginan para importir yang bisa mereguk keuntungan besar dengan mengimpor aneka pangan.

Kini, setelah ribut dengan wacana impor beras 1 juta ton muncul polemik baru, yakni impor daging sapi dan kerbau serta garam. Data yang beredar di publik terungkap stok daging sapi hingga Mei 2021 untuk wilayah Jabodetabek dan Bandung Raya masih defisit sebanyak 9.424 ton. Padahal, April hingga Mei kebutuhan konsumsi daging sapi pasti meningkat terkait Ramadan dan Lebaran. Untuk menutupi kekurangan daging sapi tersebut, pemerintah telah menugaskan PT Berdikari (Persero). Perusahaan pelat merah itu sudah bergerak dengan mengimpor sekitar 20.000 ton daging sapi dari Brasil yang dilaksanakan secara bertahap selama April hingga Desember 2021.

Berdasarkan hitung-hitungan yang disampaikan Direktur Utama PT Berdikari Harry Warganegara bahwa sebanyak 420 ton daging sapi Brasil sudah datang sebelum Lebaran. Pihak Berdikari mengakui membutuhkan waktu lama untuk memesan daging sapi asal Brasil, sementara penugasan dari pemerintah baru turun pada Februari 2021. Selain penugasan mendadak, pihak Berdikari tidak bisa mendapatkan harga kompetitif. Saat ini harga daging sapi dari negeri Samba itu sudah melambung sekitar 30% dibandingkan tahun lalu.

Mengapa Indonesia masih mengimpor daging sapi? Bukankah populasi sapi di negeri ini selalu dilaporkan cukup memadai? Kendalanya di mana? Berdasarkan angka perhitungan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan yang dikutip Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Syailendra bahwa terdapat 18 juta ekor sapi yang tersebar seluruh Indonesia. Memang, angka 18 juta itu tidak semua siap potong, tetapi andaikan bisa dipotong 4 juta ekor saja, maka setara dengan 700.000 ton daging sapi. Artinya, Indonesia tak perlu lagi impor daging sapi sebab kebutuhan daging sapi secara nasional sekitar 690.956 ton per tahun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Sayangnya, kenyataan lapangan belum sejalan dengan data di atas kertas. Pasalnya, sebagian besar peternak masih memelihara sapi dengan cara tradisional alias konvensional. Sebenarnya, banyak sapi di kalangan peternak yang sudah siap potong, namun tetap disimpan dan baru dipotong ketika dibutuhkan. Contoh, untuk pembiayaan anak masuk sekolah. Mengatasi masalah tersebut bukan persoalan gampang dan dibutuhkan waktu jangka panjang. Di antaranya, bagaimana mengarahkan masyarakat untuk komersialisasi dengan mengajak para peternak bergabung dengan kemitraan.

Persoalan pemenuhan aneka pangan memang persoalan yang rumit. Solusi paling cepat dengan membuka keran impor. Namun, yang selalu menjadi pertanyaan adalah keakuratan data setiap lembaga atau kementerian. Seperti data beras antara Bulog dan Kemendag tidak klop. Pihak Kemendag ngotot impor beras 1 juta ton untuk memenuhi stok, di sisi lain Bulog menyatakan tak perlu khawatir soal stok beras, kondisi aman, bahkan siap ekspor beras ke Arab Saudi. Lalu, untuk kepentingan siapa impor beras tersebut?
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2222 seconds (0.1#10.140)