Kegaduhan Medsos Ancam Pancasila, Transformasi Digital Butuh Kemandirian

Sabtu, 27 Februari 2021 - 16:49 WIB
loading...
Kegaduhan Medsos Ancam Pancasila, Transformasi Digital Butuh Kemandirian
Selain menghadirkan sisi positif, maraknya penggunaan media sosial (medsos) di era digital saat ini menimbulkan dampak negatif, salah satunya maraknya hoaks. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
BANDUNG - Selain menghadirkan sisi positif, maraknya penggunaan media sosial (medsos) di era digital saat ini menimbulkan dampak negatif, salah satunya maraknya hoaks atau kabar bohong yang mengancam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia.

Bahkan, medsos kini diibaratkan sebagai "keranjang sampah" mengingat banyaknya disinformasi yang dikhawatirkan bakal berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.

"Pengguna medsos di Indonesia 196,7 juta orang. Medsos jadi ajang aktivitas sosial, itulah yang menyebabkan muncul kegaduhan-kegaduhan di media sosial. Media sosial jadi sumber disinformasi, fakta-fakta dikesampingkan dan keyakinan didahulukan. Itulah post truth paradocks of democracy," tutur Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)Henry Subiakto dalam Webinar Series yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Sabtu (28/2/2021).

Terlebih, lanjut Henry, medsos kini marak digunakan sebagai jalan masuknya ideologi transnasional dan radikalisme. Kedua ideologi itu akan sangat berbahaya jika bersinergi dengan kekuatan politik praktis.

"Apalagi, sampai saat ini, masih ada pihak-pihak yang ingin mengubah ideologi pancasila. Ini adalah konsekuensi ideologi transnasional," katanya.

Dalam Webinar Series yang mengusung tema Gotong Royong Mengaktualisasikan Pancasila: Pers Sebagai Akselerator Perubahan Melalui Media itu, Henry menegaskan di tengah kondisi tersebut, peran pers sangat dibutuhkan. Menurutnya, pers menjadi benteng untuk mem-filter ideologi transnasional dan proxy asing.

"Di era digital, pers dituntut berperan aktif menjaga nilai kebangsaan dan ruang digital dan tidak membiarkan media sosial menjadi 'keranjang sampah'," ucapnya.

"Jangan biarkan media sosial ini jadi 'keranjang sampah' yang berisi sumpah serapah, fitnah, gibah karena akan merugikan pers sendiri," sambung Henry.

Henry mengaku prihatin dengan masih adanya pers yang mengenyampingkan prinsip norma umum atas nama kebebasan berpendapat, seperti melakukan fitnah tanpa bukti.

"Di sinilah dibutuhkan gotong royong sebagai implementasi Pancasila. Peran pers dibutuhkan untuk membantu membumikan Pancasila. Apalagi, pers kita ini adalah pers Pancasila," katanya.

Senada dengan Henry, Sekretaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono berharap pers berperan aktif dalam membumikan Pancasila melalui prinsip-prinsip gotong royong sesuai falsafah Pancasila.

Menurut dia, peran pers untuk membumikan Pancasila sangat penting di era digital saat ini. Terlebih, selama 20 tahun terakhir ini, berbagai benteng pertahanan Pancasila mengalami kevakuman.

"Tap MPR Nomor 2 Tahun 1978 tentang P4 sudah dicabut dan dinyatakan sudah tidak berlaku, Kemudian lembaga yang menangani Pancasila, yakni BP7 sudah dibubarkan, dan Undang-Undang Sisdiknas pun sudah tidak lagi memasukan Pancasila sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum, sehingga sudah 20 tahun kita ini ada dalam kevakuman," paparnya.

Meski begitu, Karjono mengingatkan, pers juga dapat menjalankan prinsip norma umum dalam menjalankan perannya. Menurut dia, kebebasan pers yang diatur dalam Undang-Undang Pers jangan sampai membuat pers kebablasan.

"Undang-Undang Pers menjamin kebebasan pers. Namun, bukan berarti kebablasan. Kebebasan tersebut harus atas dasar norma dan batas-batas kebenaran. Tidak membalikkan fakta karena kalau membalikkan fakta itu ujung-ujungnya fitnah," katanya.

Sementara itu, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana sepakat bahwa pers harus berperan dalam membumikan Pancasila. Namun begitu, dia memberikan catatan penting terkait transformasi digital. Dia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa transformasi digital jangan menguntungkan pihak asing.

"Beliau (Jokowi-red) bilang, transformasi digital jangan sampai menguntungkan asing. Ini adalah satu pemahaman yang sangat Pancasilais," tegasnya.

Menurut dia, pemahaman tersebut merupakan pemahaman luar biasa yang didengungkan oleh Presiden dan political will ini harus direspons oleh pihak eksekutif maupun legislatif. "Bagaimana kita membuat situasi ini membaik dan Pancasila betul-betul dibumikan di Tanah Air," tuturnya.

Merujuk pernyataan Presiden tersebut, kata dia, Indonesia harus benar-benar memiliki kemandirian secara ekonomi digital. Selain itu, aturan pun harus diperhatikan, agar tidak merugikan bangsa Indonesia. "Apakah regulasi itu mengantungkan tidak bagi bangsa Indonesia dalam memproteksi informasi-informasi," katanya.

Lebih lanjut Yadi menegaskan, setelah berperan menumbangkan era Orde Baru dan membangun era reformasi, pers juga telah berperan besar dalam hadirnya era digital saat ini. Pers, kata Yadi, telah berperan membuat kondisi yang lebih baik.

"Pers kita anggap memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap sistem informasi yang Pancasilais. Jadi, kalau pers dilihat dari perspektif negatif, tentu tidak seperti itu. Tetapi jika ada dampak negatif, ya. Kita akui bahwa ada produk-produk pers yang berdampak negatif," tutur Yadi.

Di era digital saat ini, kata dia, pers memiliki peran yang akan membuat situasi menjadi lebih baik. Dia mencontohkan, berdasarkan hasil lembaga survei internasional, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pers meningkat signifikan pascapandemi Covid-19 melanda Indonesia.

"Hasil survei Edelman Barometer, pascapandemi, pers media mainstream itu tingkat kepercayaannya sangat tinggi karena pers bisa menangkal hoaks, berita-berita palsu saat ini," ujarnya.

Terlebih, selama ini, pers, khususnya media mainstream pun selalu menghadirkan pemberitaan yang sifatnya Pancasilais, seperti pemberitaan kasus penembakan yang dilakukan oknum polisi, baru-baru ini. "Jika pers, dalam hal ini media mainstream tidak memberitakan secara jernih, tentu bakal berdampak benturan sosial di masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, Yadi sepakat pers harus mengawal konten-konten berita positif, termasuk menghindari berita-berita hoaks. Namun begitu, dia menyoroti implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "UU ITE banyak menjerat teman-teman pers karena pemahaman aparat di Jakarta dan daerah itu berbeda. Kami mencatat ada tujuh orang jurnalis yang dipolisikan berdasarkan UU ITE karena berita. Itu yang tidak boleh," sesalnya.

Dia menegaskan, UU ITE tersebut harus diubah. Terlebih, Presiden Jokowi telah memberikan petunjuk bahwa UU ITE harus ditinjau ulang dan Menko Polhukam Mahfud MD telah membuat tim untuk meninjau ulang UU tersebut. "Kalau harus diubah, ya itu harus diubah. Harus diakui, itu dalam pelaksanaannya nyeleweng," tandasnya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3141 seconds (0.1#10.140)