Perkawinan Militer-Santri Sering Gagal, Bagaimana Peluang AHY-Cak Imin di 2024?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nama Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ) dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar ( Cak Imin ) kerap nangkring di papan lembaga survei.
(Baca juga: Capres 2024, AHY-Cak Imin Dinilai 'Perkawinan' Militer dan Santri)
Meski elektabilitas kedua tokoh pemimpin partai itu tak 'semoncer' Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tapi peluang keduanya tetap terbuka untuk berkompetisi di 2024 mendatang.
(Baca juga: Jalin Komunikasi dengan PPP, Warganet: AHY-Taj Yasin Maimoen Capres-Cawapres 2024)
Baru-baru ini Litbang Sindo Media merilis hasil survei beberapa figur yang berpeluang di 2024. Polling yang dilakukan secara online menempatkan AHY dan Cak Imin masuk deretan lima besar di bawah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang menempati urutan kedua. Uniknya, nama Cak Imin menggeser AHY di papan klasmen.
(Baca juga: Cak Imin Simbol Politik NU, Wajar Masuk Bursa Capres 2024)
Lalu seperti apa jika simulasinya AHY diduetkan dengan Cak Imin, apakah perpaduan militer nasionalis-santri modern ini berpeluang menarik simpati publik? Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Bakir Ihsan pun memberikan analisisnya.
"Latar belakang sosiologis, seperti nasionalis, santri, religius, sekuler hanya pelengkap identitas, tapi bukan yang utama dalam menentukan elektabilitas," kata Bakir saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (9/1/2021).
Bakir menganggap, pelbagai aspek tersebut tak menjamin bahwa duet yang berasal kalangan militer-santri bisa langsung menuai respon positif di masyarakat. Menurut dia, kondisi ini terjadi karena orientasi politik pemilih bukan pada identitas, tapi pada apa yang melekat pada momentum.
Dia menuturkan, merujuk pada Pilpres 2004, di mana pilpres langsung pertama sejak reformasi, polarisasi itu tak mampu menggerek kemenangan. Sebagai contoh, perkawinan antara militer nasionalis-santri yang mempertemukan Wiranto-Gus Solah (militer/nasionalis-santri), Megawati-Hasyim Muzadi (nasionalis-santri), Amin Rais-Siswono (santri-nasionalis), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (santri-militer/nasionalis), perpduan ini semuanya berlangung gagal.
"Pemenangnya adalah SBY-JK. (kemenangan ini) lebih karena momentum ketokohan SBY, bukan karena identitas militer/nasional-santri, karena pasangan lainnya lebih militer (senior= Wiranto dan Agum G) dan lebih santri; Gus Solah dan Hasyim Muzadi," beber dia.
(Baca juga: Capres 2024, AHY-Cak Imin Dinilai 'Perkawinan' Militer dan Santri)
Meski elektabilitas kedua tokoh pemimpin partai itu tak 'semoncer' Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tapi peluang keduanya tetap terbuka untuk berkompetisi di 2024 mendatang.
(Baca juga: Jalin Komunikasi dengan PPP, Warganet: AHY-Taj Yasin Maimoen Capres-Cawapres 2024)
Baru-baru ini Litbang Sindo Media merilis hasil survei beberapa figur yang berpeluang di 2024. Polling yang dilakukan secara online menempatkan AHY dan Cak Imin masuk deretan lima besar di bawah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang menempati urutan kedua. Uniknya, nama Cak Imin menggeser AHY di papan klasmen.
(Baca juga: Cak Imin Simbol Politik NU, Wajar Masuk Bursa Capres 2024)
Lalu seperti apa jika simulasinya AHY diduetkan dengan Cak Imin, apakah perpaduan militer nasionalis-santri modern ini berpeluang menarik simpati publik? Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Bakir Ihsan pun memberikan analisisnya.
"Latar belakang sosiologis, seperti nasionalis, santri, religius, sekuler hanya pelengkap identitas, tapi bukan yang utama dalam menentukan elektabilitas," kata Bakir saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (9/1/2021).
Bakir menganggap, pelbagai aspek tersebut tak menjamin bahwa duet yang berasal kalangan militer-santri bisa langsung menuai respon positif di masyarakat. Menurut dia, kondisi ini terjadi karena orientasi politik pemilih bukan pada identitas, tapi pada apa yang melekat pada momentum.
Dia menuturkan, merujuk pada Pilpres 2004, di mana pilpres langsung pertama sejak reformasi, polarisasi itu tak mampu menggerek kemenangan. Sebagai contoh, perkawinan antara militer nasionalis-santri yang mempertemukan Wiranto-Gus Solah (militer/nasionalis-santri), Megawati-Hasyim Muzadi (nasionalis-santri), Amin Rais-Siswono (santri-nasionalis), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (santri-militer/nasionalis), perpduan ini semuanya berlangung gagal.
"Pemenangnya adalah SBY-JK. (kemenangan ini) lebih karena momentum ketokohan SBY, bukan karena identitas militer/nasional-santri, karena pasangan lainnya lebih militer (senior= Wiranto dan Agum G) dan lebih santri; Gus Solah dan Hasyim Muzadi," beber dia.
(maf)