Catatan buat Pak Menteri Sakti

Rabu, 30 Desember 2020 - 16:27 WIB
loading...
Catatan buat Pak Menteri Sakti
Muhamad Karim (Foto: Istimewa)
A A A
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Universitas Trilogi, Jakarta

RABU, 23 Desember 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) me-reshuffle kabinetnya. Ia mengganti dan mengangkat enam menteri baru. Salah satunya, Sakti Wahyu Trenggono yang menakhodai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ia menggantikan Edhy Prabowo akibat terjerat kasus suap. Isu yang mencuat pasca pengumuman Presiden 22 Desember 2020 ialah ranah profesionalismenya. Ia bukan dari ranah kelautan dan perikanan. Memang publik kerap berpandangan minor dan sinis. Tapi ingat! Saat dibentuk pada 1999, sewaktu Gus Dur jadi Presiden pertama era reformasi, menteri yang memimpin lembaga ini bukan dari disiplin ilmu kelauatan dan perikanan. KKP kala itu bernama Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang dinakhodai Sarwono Kusumaatmadja. Ia bukan dari disiplin keilmuan kelautan dan perikanan, meski pernah menjabat Menteri Lingkungan Hidup masa Orde Baru. Hebatnya, Ia mampu meletakkan pondasi dan tata kelola organisasi kementerian yang mapan hingga saat ini.

Sejarah mencatat, menteri kelautan dan perikanan (MenKP) yang punya disiplin ilmu/profesionalisme kelautan dan perikanan yakni Rokhmin Dahuri (akademisi), Freddy Numberi (perwira TNI AL) dan Susi Pudjiastuti (pebisnis perikanan). Lainnya, Sharif Cicip Sutardjo, Fadel Muhamad, dan Sakti Wahyu Trenggono relatif sama dengan Pak Sarwono. Pak Sakti seorang bankir, usahawan dana lumni teknik industri ITB.Artinya, tak masalah Pak Sakti memimpin KKP. MenKP tak mesti berasal dari disiplin ilmu kelautan dan perikanan an sich. Melainkan, sosok yang memiliki visi kepemimpinan, keberanian dan manajer organisasi andal. Memang lebih paripurna bila berasal dari disiplin ilmu/profesionalisme kelautan dan perikanan.

Tak kalah penting sosok MenKP baru ini mesti berani melawan mafia perikanan dan pelaku kejahatan kelautan. Iajuga mesti berani melawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) buat memulihkan citra KKP. Mau tidak mau ia menghadapi tuntutan untuk melahirkan terobosan radikal, berorientasi kesejahteraan nelayan dan berpihak pada keberlanjutan ekologi. Meskipun ia bisa berhadapan dengan tembok yakni pihak yang bakal menolak kebijakannya apabila ada yang merasa periuk nasinya terganggu. Siapa tembok itu? Bisa mafia perikanan, komprador, dan korporasi perikanan yang mengoperasikan alat tangkap merusak, jenis trawl dan cantrang.

Pasca dilantiknya MenKP baru bakal aneka isu mencuat. Mulai soal kisruh ekspor benih bening lobster (BBL), legalisasi alat tangkap merusak (PermenKP No 59/2020) hingga pencabutan moratorium kapal asing hingga alih muatan di tengah laut (transshipment) (PermenKP No 58/2020). Penulis yakin ini bakalan ramai di ruang publik. MenKP baru mestinya mengevaluasi kebijakan-kebijakan sebelumnya dan menilai apa plus-minusnya. Utamanya kebijakan memicu penolakan dari organisasi nelayan, akademisi kritis, dan gerakan masyarakat sipil. Umpamanya, kebijakan ekspor BBL (PerMenKP No12/2020), dan legalisasi kapal ikan dan eks kapal asing beroperasi di perairan Indonesia. MenKP baru mesti mendalami betul ketentuan – ketentuan yang berlaku termasuk dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).

Salah satu isu yang bakal kembali memanas ialah ekspor BBL. Pak Sakti, jangan percaya begitu saja klaim Indonesia punya sumberdaya lobster melimpah ruah. Sejauh ini belum ada riset akurat yang menjustifikasinya. Klaimnya baru sebatas hasil proxy sehingga berpotensi menyesatkan. Belum ada bukti kesejahteraan nelayan melonjak akibat ekspor BBL sejak Mei-November 2020. Soalnya mereka bukan eksportir, melainkan pemanen di laut. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19. Apakah KKP punya fakta kenaikan kejahteraan nelayan pascapembukaan kran ekspor BBL?

Kebijakan ekspor BBL jangan sampai memperkaya negara saingan kita, Vietnam. Ia justru jadi produsen lobster dunia akibat menggunakan BBL kita. PR MenKP baru adalah mendorong riset pembenihan (hatchery) lobster. Prosesnya bekerja sama dan memberdayakan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset perikanan. Bila sukses, pengambilannya berkurang dan menjamin kelestariannya di alam.

Menteri Sakti mesti melongok kasus benih bandeng tahun 1970-an dan kerapu tikus pada 2000-an. Ikan bandeng tahun 70-an belum bisa dibenihkan secara buatan, begitu pula kerapu tikus pada 2000-an. Lewat riset tekun dan intensif kini keduanya sukses dibenihkan secara buatan. Penulis yakin bila risetnya serius, dalam kurun waktu dua tahun ke depan Indonesia bisa sukses membenihkannya secara buatan. Apalagi tingkat survival rate (SR)-nya sampai fase BBL capai20-30% dari total telur menetas. Itu sudah spektakuler. Imbasnya, Indonesia bebas dari ketergantungan BBL alam. Kran ekspor dibuka lebar-lebar tak jadi soal.

Penulis percaya MenKP baru dengan nama depannya “Sakti”, bisa membuat bangsa Indonesia sakti di lautan. Soalnya, ancaman kelautan dan perikanan kita bukan saja illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF), melainkan aneka kejahatan kelautan lainnya. Mulai,ocean grabbing, trafficking, perdagangan orang, obat terlarang, dan penyelundupan senjata menggunakan kapal ikan hingga perbudakan tenaga kerja Indonesia di kapal ikan asing. Problemnya amat kompleks dan membutuhkan nyali besar. Pendek kata, ia harus lebih galak dan sangar ketimbang bajak laut. Namun, sebagai Mantan Wakil Menteri Pertahanan setidaknya ia punya pengalaman mumpuni mengatasinya.

Sebagai MenKP baru, Sakti tak bakal luput dari kritikan, skeptisme hingga sinisme. Bagi saya, dia mesti diberi waktu buat bekerja dan membuat terobosan-terobosan. Presiden Jokowi tentu tak bereksperimen dan berjudi saat memilihnya. Catatan utama MenKP baru adalah bagaimana melahirkan terobosan-terobosan baru dalam bidang kelautan dan perikanan. Tak perlu lagi berkutat menyoal dan harus beda dengan kebijakan menteri sebelumnya. Hal semacam hanya menghabiskan energi, dan memproduksi polemik. Apalagi Covid-19, diprediksi belum bakal berakhir hingga 2021.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1788 seconds (0.1#10.140)