Doni Monardo Ungkap Sejarah Perubahan Perilaku Jadi Ujung Tombak Tangani COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Satuan Tugas ( Satgas) Penanganan COVID-19 selalu menggemborkan bahwa perubahan perilaku adaptasi kebiasaan baru disiplin protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) menjadi ujung tombak untuk menangani COVID-19 .
Lalu, bagaimana asal mula penerapan “adaptasi kebiasaan baru” untuk menghadapi pandemi COVID-19? Ketua Satgas COVID-19, Doni Monardo pun menjelaskan ihwal bidang perubahan perilaku yang menjadi ujung tombak Satgas COVID-19 yang saat ini diketuai oleh Sonny Harry Harmadi yang menjadi Ketua bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan COVID-19. Pada bidang ini melibatkan pakar berbagai bidang, ada antropolog, sosiolog, dan juga psikolog. (Baca juga: Satgas Ungkap Masih Ada 15% Masyarakat Belum Percaya Bisa Tertular COVID-19)
Doni menceritakan bahwa belajar dari pandemi flu Spanyol yang pernah melanda Indonesia yang pada saat itu masih Hindia Belanda tahun 1918-1920. “Ketika itu, Pemerintah Hindia Belanda awalnya hanya fokus menangani bidang kesehatan. Puncak pandemi terjadi November 1919,” ungkap Doni dalam siaran pers yang diterima SINDO Media, Sabtu (19/12/2020).
Pemerintah kolonial saat itu, kata Doni, lantas mengubah kebijakan dengan mengedepankan kearifan lokal. Selain faktor kesehatan, juga diperkuat dengan sosialisasi mengenai flu burung lewat medium kebudayaan. Salah satunya memanfaatkan tokoh punakawan dalam dunia pewayangan.
Seperti misalnya, dialog antara punakawan Petruk dan Gareng mengenai flu spanyol. Pesan yang disampaikan adalah imbauan agar masyarakat menerapkan protokol kesehatan. “Catatan itu kami dapat dari literatur media berbahasa Belanda yang terbit akhir tahun 1919,” kata Doni yang pernah secara khusus ke Belanda.
Dia dibantu tim BNPB melakukan penelusuran data kebencanaan yang pernah melanda negeri kita selama dalam cengkeraman penjajah dulu. Itu pula alasannya mengapa Doni mengajak banyak tokoh dari berbagai disiplin dan latar belakang untuk membantu Satgas COVID-19. Bukan hanya itu, Indonesia juga kemudian dicatat sebagai negara yang paling masif melibatkan media dalam menangani pandemi.
Bekerja sama dengan Dewan Pers, Satgas COVID-19 menyelenggarakan program Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku. Tak kurang dari 5.000 wartawan berbagai jenis media, ikut dalam program itu. Mereka setiap hari memproduksi berita sosialisasi tentang COVID-19 yang terbukti efektif meredam hoaks. (Baca juga:Satgas COVID-19 Kota Medan Razia Prokes di Pusat Perbelanjaan, 26 Pengguna Jalan Ditindak)
“Tidak seperti di masa-masa awal pandemi. Kami kewalahan betul menghadapi hoaks. Sekarang sudah jauh berkurang,” kata Doni.
Selain itu, kata Doni, Satgas COVID-19 juga bekerja sama dengan sekitar 800 media, baik televisi, radio, media online, dan media cetak. Beberapa waktu lalu, Doni menceritakan ia bertemu Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Ketua Dewan Pers Moh Nuh.
“Dalam kesempatan itu Pak Nuh berharap program kerja sama dengan wartawan dan media dilanjutkan. Kami mendukung. Sebab, 63 persen keberhasilan sosialisasi penanganan pandemi ini ada di tangan media, jadi media berperan vital,” papar Doni.
Lalu, bagaimana asal mula penerapan “adaptasi kebiasaan baru” untuk menghadapi pandemi COVID-19? Ketua Satgas COVID-19, Doni Monardo pun menjelaskan ihwal bidang perubahan perilaku yang menjadi ujung tombak Satgas COVID-19 yang saat ini diketuai oleh Sonny Harry Harmadi yang menjadi Ketua bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan COVID-19. Pada bidang ini melibatkan pakar berbagai bidang, ada antropolog, sosiolog, dan juga psikolog. (Baca juga: Satgas Ungkap Masih Ada 15% Masyarakat Belum Percaya Bisa Tertular COVID-19)
Doni menceritakan bahwa belajar dari pandemi flu Spanyol yang pernah melanda Indonesia yang pada saat itu masih Hindia Belanda tahun 1918-1920. “Ketika itu, Pemerintah Hindia Belanda awalnya hanya fokus menangani bidang kesehatan. Puncak pandemi terjadi November 1919,” ungkap Doni dalam siaran pers yang diterima SINDO Media, Sabtu (19/12/2020).
Pemerintah kolonial saat itu, kata Doni, lantas mengubah kebijakan dengan mengedepankan kearifan lokal. Selain faktor kesehatan, juga diperkuat dengan sosialisasi mengenai flu burung lewat medium kebudayaan. Salah satunya memanfaatkan tokoh punakawan dalam dunia pewayangan.
Seperti misalnya, dialog antara punakawan Petruk dan Gareng mengenai flu spanyol. Pesan yang disampaikan adalah imbauan agar masyarakat menerapkan protokol kesehatan. “Catatan itu kami dapat dari literatur media berbahasa Belanda yang terbit akhir tahun 1919,” kata Doni yang pernah secara khusus ke Belanda.
Dia dibantu tim BNPB melakukan penelusuran data kebencanaan yang pernah melanda negeri kita selama dalam cengkeraman penjajah dulu. Itu pula alasannya mengapa Doni mengajak banyak tokoh dari berbagai disiplin dan latar belakang untuk membantu Satgas COVID-19. Bukan hanya itu, Indonesia juga kemudian dicatat sebagai negara yang paling masif melibatkan media dalam menangani pandemi.
Bekerja sama dengan Dewan Pers, Satgas COVID-19 menyelenggarakan program Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku. Tak kurang dari 5.000 wartawan berbagai jenis media, ikut dalam program itu. Mereka setiap hari memproduksi berita sosialisasi tentang COVID-19 yang terbukti efektif meredam hoaks. (Baca juga:Satgas COVID-19 Kota Medan Razia Prokes di Pusat Perbelanjaan, 26 Pengguna Jalan Ditindak)
“Tidak seperti di masa-masa awal pandemi. Kami kewalahan betul menghadapi hoaks. Sekarang sudah jauh berkurang,” kata Doni.
Selain itu, kata Doni, Satgas COVID-19 juga bekerja sama dengan sekitar 800 media, baik televisi, radio, media online, dan media cetak. Beberapa waktu lalu, Doni menceritakan ia bertemu Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Ketua Dewan Pers Moh Nuh.
“Dalam kesempatan itu Pak Nuh berharap program kerja sama dengan wartawan dan media dilanjutkan. Kami mendukung. Sebab, 63 persen keberhasilan sosialisasi penanganan pandemi ini ada di tangan media, jadi media berperan vital,” papar Doni.