Menyoal Paradigma Pencegahan Korupsi

Senin, 30 November 2020 - 05:30 WIB
loading...
Menyoal Paradigma Pencegahan Korupsi
Rio Christiawan
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

MASYARAKAT kembali dikejutkan dengan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap izin ekspor benur. Menteri Edhy Prabowo dan jajarannya diduga menerima gratifikasi terkait izin ekspor benur. Beberapa hari kemudian, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wali Kota Cimahi Ajay M Priyatna dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek rumah sakit. Dua kasus penangkapan pejabat ini membuktikan bahwa persoalan korupsi masih mengancam masyarakat.

Ketika pengesahan Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang KPK ditolak keras masyarakat, pemerintah bersama DPR kompak mengatakan bahwa pendekatan melawan korupsi tidak hanya melalui paradigma pemberantasan, melainkan juga pencegahan. Bahkan disebutkan UU KPK yang baru lebih mengedepankan strategi pencegahan korupsi.

Tertangkapnya Menteri Edhy dan jajarannya maupun fakta tertangkapnya Wali Kota Cimahi merupakan bentuk refleksi bahwa pemberantasan korupsi masih harus dilakukan mengingat upaya pencegahan sejauh ini belum membuahkan hasil optimal.

Misalnya dalam kasus tertangkapnya tiga wali kota Cimahi secara berturut-turut menunjukkan bahwa upaya pencegahan korupsi belum mencapai sasaran. Demikian juga amanat presiden tentang pemberantasan korupsi yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2018 tentang Pembentukan Tim Nasional Pemberantasan Korupsi belum dilaksanakan. Bahkan nyata-nyata pihak yang seharusnya menjadi bagian dari pemberantasan korupsi menurut perpres tersebut (termasuk menteri) justru melakukan korupsi.

Dua kasus korupsi terakhir menunjukkan bahwa slogan antikorupsi yang banyak didengungkan kementerian dan pemerintah daerah ternyata hanyalah slogan. Janji antikorupsi hanyalah bagian dari pencitraan pejabat publik mengingat sejatinya masih terjadi praktik exploitation de l'homme par l'homme (penghisapan manusia oleh manusia lainnya). Pada faktanya masih banyak pejabat publik mengeksploitasi jabatannya demi tindakan koruptif dan perilaku hedonis.

“Push Factor versus Pull Factor”
Dalam kasus Menteri Edhy, ditemukannya barang bukti berupa jam dan tas mewah menunjukkan bahwa perilaku hidup mewah dan hedonistis belum dapat dilepaskan dari pejabat yang terlibat kasus korupsi. Banyak pejabat lain yang melakukan hal serupa. Kerr Coeman (2014) menjelaskan bahwa eksploitasi jabatan untuk tujuan koruptif akan masif terjadi di negara dengan penegakan hukum yang kompromistis pada pelaku tindak pidana korupsi.

Jika terjadi penegakan hukum yang lunak dan kompromistis, risiko (sanksi/hukuman) akan menjadi push factor (faktor yang mendorong) para pelaku untuk melakukan tindakan koruptif. Push factor akan tercipta bila para pelaku dan atau (calon) pelaku menilai bahwa risiko perbuatan kecil bila dibandingkan dengan manfaat atas tindakan koruptif. Demikian juga jika proses hukum lunak dan kompromistis, para pelaku akan merasa risiko tindakan akan dapat dikendalikan.

Sebaliknya proses hukum yang ketat, hukuman yang tinggi, perampasan harta koruptor hingga pemiskinan koruptor yang sering kali diputuskan pada saat Artidjo Alkostar masih menjadi hakim agung akan menciptakan pull factor (faktor yang mencegah). Ini artinya mencegah korupsi dengan cara memberantas korupsi itu sendiri. Pencegahan perilaku korupsi pada pejabat dan masyarakat dilakukan dengan cara memberikan efek jera.

Sebaliknya dengan apa yang awalnya hendak dibangun, yakni “mencegah untuk memberantas”. Steve Manamy (2001) menguraikan bahwa paradigma ini akan menutup semua celah dan kemungkinan yang dapat dieksploitasi oleh para oknum pelaku dalam melakukan tindakan koruptif. Namun, faktanya, hingga saat ini pemerintah belum dapat melakukan fungsi tersebut dengan optimal. Misalnya pada sektor perizinan dan pelayanan publik, awalnya pemerintah hendak menerapkan pelayanan berbasis digital dan online single submission (OSS), tetapi hingga saat ini masih banyak perizinan, pelayanan publik, dan penggunaan kewenangan yang tidak dapat dibuat dan dikontrol dengan kecerdasan buatan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2595 seconds (0.1#10.140)