Pembuktian KPK

Kamis, 26 November 2020 - 06:17 WIB
loading...
Pembuktian KPK
Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersama istri dan sejumlah anak buahnya menjadi jawaban atas keraguan publik pada kinerja KPK. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersama istri dan sejumlah anak buahnya menjadi jawaban atas keraguan publik pada kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik menunggu kasus-kasus besar dugaan korupsi lainnya juga turut segera dibongkar.

Pembuktian KPK


Harapan masyarakat akan kembalinya marwah KPK ini begitu besar. Apalagi KPK baru di bawah kepemimpinan Firli Bahuri belum menunjukkan kinerja penindakan yang kuat sebagaimana terlihat pada periode-periode sebelumnya. Hampir setahun dipercaya mengendalikan KPK Firli dkk lebih banyak melakukan penindakan pada kasus-kasus kecil.



Bahkan hilangnya Harun Masiku, tersangka kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR terpilih periode 2019-2014, hingga kini membuat kepercayaan publik terhadap lembaga ini kian tergerus. Sorotan publik atas perilaku dan kinerja Firli selama memimpin KPK juga cukup tajam. Ini seperti dilakukan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang melaporkan Firli ke Dewan Pengawas KPK pada akhir Oktober lalu. (Baca: Jangan Lupakan Doa Ini di Pagi Hari)

Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menilai, penangkapan terhadap Edhy Prabowo dan 16 orang di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, dini hari kemarin menjadi pembuktian KPK secara kelembagaan kepada masyarakat. Hal itu tak berlebihan sebab selama ini banyak kalangan masyarakat menilai KPK seperti ”mati suri” dan tidak bisa diharapkan.

"KPK bekerja dengan sistem. OTT (operasi tangkap tangan) Menteri Kelautan dan Perikanan ini prestasi KPK secara kelembagaan, bukan orang per orang. Di sisi lain, kan ternyata KPK di bawah pimpinan yang sekarang yang belum satu tahun bekerja tapi sudah ada gebrakan," ujar Trimedya.

Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini pun memberikan apresiasi kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan, dua ketua tim satgas, dan seluruh anggota tiga satgas yang berhasil melakukan penangkapan terhadap Edhy Prabowo dkk. Gebrakan ini, menurut Trimedya, merupakan hasil dari sistem yang sudah dibangun lama di KPK. Politikus PDIP ini mengungkapkan, sistem yang sudah dibangun lama bisa memudahkan KPK secara kelembagaan melakukan kinerja dengan maksimal, termasuk pada aspek penindakan. (Baca juga: Bantuan Subsidi Upah Guru Masih Bisa Diambil Sampai Juni 2021)

Trimedya menduga, penangkapan terhadap Edhy Prabowo dkk bukan tiba-tiba. Musababnya, setiap OTT yang dilakukan KPK berasal dari penyelidikan tertutup dan pemantauan yang lama. “Saya dengar juga tim KPK sudah dapat izin dari Dewan Pengawas. Nah, sebelumnya kan KPK menyampaikan ada ratusan izin yang disampaikan ke Dewas, bisa jadi untuk OTT ini salah satunya," paparnya.

OTT terhadap Edhy ini tercatat yang pertama kali di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014. Merespons penangkapan salah satu menterinya, Jokowi berkata, “Tentu kita menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. Kita menghormati,” katanya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin.

Jokowi sangat percaya KPK akan bekerja profesional. Dia juga menegaskan bahwa pemerintah konsisten mendukung upaya pemberantasan korupsi. “Saya percaya KPK bekerja transparan, terbuka, profesional. Pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago juga mengapresiasi KPK atas penangkapan Edhy Prabowo . Dia menilai wajar bila kasus itu menjadi besar lantaran sosok Edhy sebagai menteri. Namun, dari segi kasus dia menilai keberhasilan yang dilakukan KPK bisa meraih simpati publik. "KPK hanya mengambil simpati publik karena kita tidak tahu juga kasus ini kerugiannya berapa. Padahal, masih banyak kasus sumber daya alam lain yang juga besar," ucapnya. (Baca juga: Pesona Jatiluwih Tetap Bisa Dinikmati saat Pandemi)

Dia menyoroti kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia masih tergantung selera. Kalau dekat dengan kekuasaan, maka kasus sulit terbongkar. Belum lagi saat ini masih banyak laporan kasus lain terkait sumber daya alam yang disinyalir ada nuansa koruptif. Misalnya, kasus pengambilan lahan adat di beberapa daerah yang kerap berujung konflik. "Kasus perampasan tanah adat di Papua yang belakangan ramai juga itu terjadi seperti yang dilaporkan Greenpeace. Kan ramai tuh. Katanya luasnya sampai sekitar negara Swiss," ujarnya.

Pangi mengatakan, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan KPK, terutama laporan atau aduan yang menyangkut sumber daya alam. Sebab, kerugian itu sangat berdampak juga terhadap negara dan masyarakat sekitarnya.

Lantaran itu, dia berharap KPK juga berani mengusut tuntas kasus lain, termasuk yang diduga bermain dengan pejabat pemerintah di daerah, pusat, maupun pelaku usaha seperti di perusahaan swasta yang banyak bermain di sektor sumber daya alam.

Jadi Tersangka

KPK kemarin menetapkan status tersangka kepada Edhy Prabowo dan enam orang lainnya pada kasus dugaan korupsi usaha tambak dan pengelolaan perikanan khususnya ekspor benih lobster. Pada keterangan persnya dini hari tadi, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, saat OTT kemarin, KPK menangkap 17 orang. Penangkapan dilakukan terhadap menteri, istri menteri, ajudan, staf menteri, sejumlah dirjen, direktur, hingga humas di KKP. Selain itu ditangkap pula beberapa pegawai perusahaan. (Baca juga: Jadi Tersangka, Edhy Prabowo Mengundurkan Diri sebagai Menteri KKP)

Tak hanya di bandara, sebagian dari mereka ditangkap di rumah masing-masing seperti di Depok dan Bekasi. Dalam OTT kemarin, ada sejumlah barang bukti yang disita, seperti jam tangan merek Rolex, tas, baju, sepatu, dan ATM. Meski transaksi terjadi di luar negeri, Nawawi menilai penangkapan Edhy dkk termasuk kategori OTT. “Karena peristiwa ini tidak terputus,” ujar Nawawi.

Selama kunjungan di AS, Edhy Prabowo diduga telah menggunakan uang dugaan suap hampir mencapai Rp1 miliar dari total Rp9 miliar yang diterimanya. Dengan pemakaian uang tersebut, dugaan telah terjadi transaksi atau dugaan memberi dan menerima telah terpenuhi. Karenanya, ketika Edhy dkk baru di Bandara Soekarno-Hatta, dini hari kemarin, mereka langsung dibekuk. Saat penangkapan tim menyita beberapa kartu ATM, termasuk ATM bank pelat merah yang dipakai di luar negeri.

Para pimpinan KPK maupun Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri belum mau mengungkap berapa jumlah uang dalam kartu ATM yang disita. Yang pasti, kata Ali, ada sejumlah kartu ATM yang disita KPK saat penangkapan Edhy dan 16 orang lain, termasuk istrinya.

Langkah Edhy yang membuka keran ekspor benih lobster, kepiting, dan rajungan sebelumnya ramai memicu polemik. Ini terjadi karena di era KKP dipimpin Susi Pudjiastuti kebijakan itu dilarang keras. Untuk menguatkan penerapan kebijakan tersebut, Susi menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 56/2016 tentang Larangan Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. (Baca juga: OJK Ungkap Tantangan yang Dihadapi Perbankan)

Selain larangan ekspor benih komoditas andalan Indonesia, Susi juga sangat ketat menjaga laut Indonesia dengan mengatur pola penangkapan ikan. Pada 2018, Susi melarang penangkapan ikan dengan cantrang karena dianggap rawan merusak terumbu karang. Tak hanya itu, Susi melarang kapal di atas 150 GT beroperasi di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Alasannya, kapal tersebut sangat berpotensi mengeksploitasi ikan secara berlebihan yang sangat merugikan nelayan Indonesia.

Namun, kebijakan-kebijakan Susi ini dianulir Edhy tak berapa lama dia resmi menjabat. Pada 5 Mei 2020 Edhy tegas membuka keran benih lobster dengan menerbitkan Permen KP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Aturan ini sangat bertolak belakang dengan Permen Nomor 56/2016.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi menegaskan, sejak awal pihaknya tidak setuju dengan kebijakan penjualan benih lobster ke luar negeri tersebut. Kebijakan itu jelas tidak layak dilakukan. Sebab, benih lobster itu merupakan bagian dari ekosistem laut yang harus dijaga kelangsungannya, walau jumlahnya dikatakan ada 2 miliar. “Yang terpenting bagi kita bahwa dia bagian dari laut, bagian ekosistem, biarkan dia tumbuh dan berkembang sendiri agar menjadi lobster tangkapan dan harganya mahal dan menguntungkan nelayan,” paparnya. (Lihat videonya: KPK Tangkap Menteri KKP Edhy Prabowo di Bandara Soekarno-Hatta)

Selain itu, rencana ekspor benih lobster ke Vietnam juga tidak tepat. Vietnam diketahui merupakan kompetitor Indonesia di bidang perikanan dan laut. Karena posisinya kompetitor, Vietnam pasti memiliki kemampuan dan teknologi budi daya laut yang memadai. Kemampuan budi dayanya itu tidak akan berarti manakala tidak mendapat supply benih. “Ini kan menjadi aneh, sudah menjadi kompetitor kok bahan bakunya kita kirim,” sebutnya.

Pada 4 Agustus 2020 lalu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menolak kebijakan Edhy Prabowo . Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU telah mengeluarkan larangan mengenai ekspor benih lobster berdasarkan hasil bahtsul masail LBM PBNU Nomor 06/2020 tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster.

Ekspor benih lobster dinilai menyebabkan dampak harga benih di tingkat pembudi daya anjlok, benih lobster yang berkualitas baik mulai sulit diperoleh, dan hilangnya kesempatan pembudi daya lobster untuk menjalankan usaha itu mengingat harga jual pascapanen menurun drastis. (Sabir Laluhu/Kiswondari/Dita Angga/Faorick Pakpahan/Abdul Rochim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2594 seconds (0.1#10.140)