Waspada Infeksi Ganda Covid-19 dan Dengue

Kamis, 26 November 2020 - 05:27 WIB
loading...
Waspada Infeksi Ganda Covid-19 dan Dengue
Prof Tjandra Yoga Aditama
A A A
Prof Tjandra Yoga Aditama
Guru Besar Paru FKUI, Mantan Direktur WHO SEARO, dan Mantan Dirjen P2P & Kepala Balitbangkes

KITA sudah mulai memasuki musim hujan. Kalau kita lihat data-data tahun yang lalu, di akhir tahun seperti ini maka mungkin saja kasus dengue dan demam berdarah dengue (DBD) akan meningkat. Di pihak lain, kita masih menghadapi pandemi Covid-19 yang kasus dan kematiannya masih terus terjadi. Hal yang baik kalau kita mengantisipasi kemungkinan terjadinya DBD di waktu di mana kita masih harus konsentrasi menangani Covid-19. Harus diketahui bahwa memang sekarang ada lebih dari 50 juta kasus Covid-19 di dunia, dan di pihak lain setiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 105 juta infeksi dengue di dunia, sebagian tentu di Asia Tenggara, termasuk negara kita.

Infeksi Ganda
Sejak beberapa bulan lalu sudah ada beberapa tulisan ilmiah dari berbagai negara tentang kedua penyakit ini sekaligus. Salah satu laporan di bulan-bulan pertama pandemi adalah dari Singapura yang dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional Lancet pada Maret 2020. Pada dua kasus yang mereka laporkan ini mulanya dirawat dengan hasil laboratorium serologi yang menunjukkan dengue positif dan gejala yang sesuai dengan penyakit dengue. Ternyata kemudian hasil laboratorium itu adalah positif palsu (false-positive) dan belakangan kedua kasus ini menunjukkan hasil Covid-19 positif.

Contoh lain, pada Agustus 2020 ada laporan kasus yang memang sekaligus mengalami dengue dan Covid-19. Ini terjadi di Reunion Island di lautan India yang hanya berpenduduk 850.000 orang. Pasiennya dengan gejala demam berkepanjangan, kemerahan (eritema) di kulit, nyeri seluruh tubuh, sakit di belakang mata, fotofobia (tidak tahan sinar) dan sakit kepala. Dia tinggal di daerah yang memang ada penyakit dengue, dan baru datang dengan pesawat terbang dari Kota Strasbourg di mana di pesawat belakangan diketahui ada penumpang lain yang Covid-19 (+).

Keluhan pasien ini memang demam, suatu gejala khas pada kedua penyakit ini. Kita tahu bahwa walaupun tidak terlalu sering, gangguan kulit (eritema dll) memang juga dilaporkan dialami oleh sebagian pasien Covid-19, setidaknya seperti pernah dilaporkan di Italia, Prancis, dan Thailand, sementara kemerahan di kulit juga merupakan salah satu ciri gejala dengue. Artinya, dari kacamata gejala yang timbul memang bisa hampir sama jadinya.

Selain masalah diagnosis penyakit, ada juga hal lain yang kini dihadapi. Pertama, pasien kini banyak menahan diri untuk tidak ke puskesmas, klinik, dan rumah sakit kalau ada keluhan kesehatan karena takut tertular Covid-19. Hal ini dapat saja berakibat kelambatan diagnosis DBD dengan berbagai masalahnya. Ini tentu tidak baik. Jika memang diperlukan kita tetap harus memeriksakan diri, tentu dengan protokol kesehatan yang ketat.

Kedua, petugas kesehatan masyarakat yang biasa menangani dengue juga mungkin kini juga beralih tugas untuk menangani Covid-19, sehingga penanggulangan vektor (dalam hal ini utamanya nyamuk) menjadi relatif terkendala. Hal ini dapat menyebabkan nyamuk demam berdarah terus merebak dan kita akan makin menghadapi masalah DBD di masyarakat. Memang pernah ada laporan ilmiah juga yang menyebutkan bahwa infeksi dengue mungkin memberi semacam imunitas bagi Covid-19, tapi data pendukungnya masih amat terbatas dan perlu penelitian lebih lanjut.

Hal lain yang juga menarik adalah kebijakan lockdown pada Covid-19 yang menutup tempat kerja dan melarang kerumunan sehingga orang lebih banyak berada di lingkungan rumahnya. Peneliti dari Singapura meneliti kemungkinan dampak kebijakan tersebut terhadap terjadinya dengue di Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang hasilnya dilaporkan di jurnal ilmiah pada Oktober 2020. Hasilnya menunjukkan peningkatan kasus dengue yang nyata di Thailand, tapi tidak terjadi di Singapura dan Malaysia, walaupun data lanjutan menunjukkan bahwa tampaknya ada kenaikan juga di Singapura. Tim peneliti ini berpendapat bahwa perbedaan kebijakan social distancing dan perbedaan pola struktur rumah dan tempat kerja di tiga negara ini membuat hasil yang berbeda dari dampak lockdown pada kejadian dengue di masyarakat.

Laporan-laporan ilmiah ini dan beberapa tulisan ilmiah berikutnya menunjukkan perlunya kewaspadaan yang tinggi untuk mendeteksi dan membedakan antara dengue dan Covid-19 serta mengantisipasi kemungkinan infeksi ganda, apalagi kedua penyakit ini menimbulkan gejala demam dan ada pula pemeriksaan laboratorium penunjang yang hampir sama, misalnya trombositopenia. Belum lagi kalau satu pasien harus menderita dua penyakit sekaligus, tentu keadaan klinisnya jadi makin berat.

Dari sudut kesehatan masyarakat, kalau kita terpaksa harus menghadapi kedua wabah ini sekaligus maka, tentu pelayanan kesehatan akan jadi sangat kewalahan. Tidak berlebihan kalau banyak pakar yang memberi istilah khusus pada masalah bersamaan kedua penyakit ini, dengue dan Covid-19. Ada yang menyebutnya sebagai “double punches”, “double dangers”, “cross-reaction and coinfection”, “coepidemic”, epidemi simultan, dll.

“2 X 3M”
Kita tahu bahwa pola pencegahan penting Covid-19 adalah “3M”, memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Sementara itu, pola pencegahan DBD adalah “3M plus”, yaitu menguras, menutup dan menyingkirkan/mendaur ulang, plus cara-cara lain. M pertama adalah menguras dan menyikat dinding tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/WC, drum dll, minimal seminggu sekali. M kedua adalah menutup rapat-rapat penampungan air (gentong air, tempayan, tangki air, drum dll), sedangkan M ketiga adalah menyingkirkan/mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat membuat air hujan tergenang.

Ada 3 “plus” dalam 3M plus, yaitu menanam tanaman yang dapat mengusir nyamuk, memelihara ikan pemakan jentik pada tempat penampungan air yang sulit dikuras, dan memasang ovitrap/larvitrap/perangkap nyamuk di dalam maupun di luar rumah/bangunan.

Kita punya pengalaman di tahun-tahun yang lalu bahwa jika wabah DBD berkembang luas maka rumah sakit bisa penuh dan kewalahan menangani pasien DBD. Sementara itu, dalam beberapa bulan ini kita juga mendengar sebagian rumah sakit dan petugas kesehatan amat terbebani dengan pasien Covid-19 yang terus berdatangan. Tentu kita tidak ingin terjadi masalah berganda DBD dan Covid-19. Jangan sampai kedua wabah harus dihadapi bersamaan. Karena itu, hal yang amat diperlukan adalah upaya pencegahan.

Untuk mencegahnya kita harus menjalankan 3M untuk mencegah Covid-19 dan menjalankan 3M plus untuk mencegah dengue dan DBD. Sudah banyak bukti ilmiah yang menjelaskan peran upaya pencegahan dalam kerangka penanganan wabah dan atau pandemi, jadi kita tinggal melaksanakannya dengan baik.

Kampanye 3M untuk Covid-19 sudah gencar dilakukan, walau belum semua masyarakat patuh, dan ini harus terus dilakukan dengan menggunakan semua media yang ada. Kampanye 3M plus untuk mencegah dengue juga selalu digalakkan di tahun-tahun yang lalu, dan kini juga sudah mulai di tingkatkan lagi dalam antisipasi peningkatan kasus di musim hujan.

Menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjalankan keduanya bersamaan, dua kali 3M ini, apalagi di awal musim penghujan sekarang ini. “Dua kali 3M” adalah untuk kepentingan kita, kepentingan keluarga, dan kerabat kita serta kepentingan bangsa. Marilah kita lakukan bersama.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1941 seconds (0.1#10.140)