SBY: Siapa Pun Presidennya, Agenda Bilateral RI-AS Tetap Luas

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 14:57 WIB
loading...
SBY: Siapa Pun Presidennya, Agenda Bilateral RI-AS Tetap Luas
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan pandangannya terkait pemilu Amerika Serikat (AS) dan dampaknya terhadap hubungan bilateral RI-AS. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan pandangannya terkait pemilu Amerika Serikat (AS) dan dampaknya terhadap hubungan bilateral RI-AS. Menurutnya, Pilpres AS sudah panas dan masyarakatnya terbelah. Bahkan, debat kandidat pun boleh dikatakan "cross the line" atau melampaui batas dan ini jarang terjadi. Karena dirinya sendiri selalu menyaksikan debat-debat antarkandidat presiden AS.

"Sementara itu, rakyat Indonesia tahu, sebagai calon presiden saya juga pernah melakukan debat. Rasanya, sepanas apa pun suasana kontestasi yang ada, kami masih bisa menahan diri dan tetap menjaga etika. Tidak seperti yang ditunjukkan oleh Trump dan Biden ketika berdebat beberapa saat yang lalu. Saya kira sebagian rakyat Amerika malu melihatnya. Entahlah, kalau begitu, meskipun negeri kita sering disebut sebagai "young democracy", bangsa kita patut bersyukur dan bangga dengan apa yang kita lakukan," kata SBY dalam podcast-nya Selasa (27/10/2020) yang diunggah di akun Facebook resminya pada hari ini, Jumat (30/10/2020).

SBY mengakui bahwa AS bukan urusan Indonesia. Namun, yang menarik perhatian yakni diskusinya bersama dengan mantan menterinya di Cikeas beberapa waktu lalu. Tiba-tiba ada yang bercerita bahwa sejumlah temannya, yang dulu sama-sama berkuliah di sebuah universitas di AS mengatakan bahwa bagi Indonesia Trump yang terbaik. Alasannya, Trump dari Partai Republik sehingga tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, ribut soal HAM, demokrasi dan juga perubahan iklim. Karena jika yang menjadi presiden Amerika dari Partai Demokrat pasti Indonesia akan dikejar-kejar soal HAM, demokrasi, the rule of law, dan lain-lain. ( )

"Pandangan ini relatif sama dengan kalangan yang lain di negeri kita. Artinya juga menjagokan Trump dan berharap dia menang lagi. Cuma alasannya sedikit berbeda. Kata mereka, kalau Trump yang menang, hubungan ekonomi dan bisnis akan lebih hidup. Lebih meningkat. Argumentasinya, Partai Republik di Amerika lebih pro-bisnis, termasuk punya keberpihakan kepada perusahaan multinasional. Kalangan asing seperti ini digambarkan tak rewel. Saya mendengar bahwa sejumlah tokoh yang saat ini berada di pemerintahan juga punya pandangan dan harapan seperti itu," paparnya.

Kemudian, sambung SBY, saat berbincang dengan sejumlah wartawan yang mewawancarai dirinya beberapa waktu lalu. Mereka tiba-tiba mereka mengangkat isu pilpres Amerika, mereka menjagokan Biden dan ingin Trump kalah. Alasannya, mereka tidak suka dengan kepribadian dan gaya Trump, Trump juga terkenal sangat egois dan ultra-nasionalistik itu, karena hanya mengutamakan Amerika (America First), dan tidak peduli dengan negara dan bangsa lain.

"Nah, dengan semua cerita ini pasti teman-teman ingin dengar komentar saya. Mana yang lebih baik untuk Indonesia, Trump atau Biden. Atau kembali pada judul tulisan saya ini. "Ditinjau dari kepentingan Indonesia, benarkah Trump lebih baik dan bukan Biden?" Kira-kira begitu yang barangkali teman-teman ingin dengar," ucap SBY. ( )

Sebelum menyampaikan pendapatnya, kata Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat ini, perlu ia sampaikan bahwa ia menghormati semua pandangan dari berbagai kalangan di Tanah Air, baik yang pro-Trump maupun yang pro-Biden. Sewaktu ia memimpin Indonesia dulu, dirinya pernah bekerja sama dengan dua presiden Amerika Serikat, George Bush dari Partai Republik dan Barrack Obama dari Partai Demokrat.

"Yang ingin saya ulas adalah benarkah hubungan bilateral Indonesia, dan sejak tahun 2009 telah kita tingkatkan sebagai kemitraan strategis, ditentukan oleh siapa yang menjadi Presiden Amerika Serikat?," ucap mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini.

"Betulkah ada perbedaan yang sangat fundamental berkaitan dengan kebijakan Amerika terhadap Indonesia jika presidennya dari Partai Republik atau Partai Demokrat?," imbuhnya.

SBY melihat, di banyak negara termasuk AS, tak selalu berbeda sikap dan kebijakan antara pihak penguasa dengan oposisi, jika menyangkut politik luar negeri (foreign policy). Bahkan sering kali, tajamnya perbedaan posisi dan kebijakan antara partai penguasa dengan oposisi pada urusan domestik, tak berlaku bagi hubungan internasional negara itu. Karena saat menjadi presiden, dia selalu bertemu dengan pemimpin oposisi dan tentunya pihak yang sedang memerintah saat berkunjung ke negara lain. Termasuk menerima pimpinan oposisi sebuah negara yang tengah berkunjung ke Indonesia. ( )

"Sepengetahuan saya, kalau menyangkut hubungan bilateral dan kebijakan luar negeri mereka terhadap Indonesia, pada hakikatnya sama antara partai yang sedang memerintah dengan partai yang sedang beroposisi. Kalau toh ada perbedaan tidaklah banyak, dan juga tidak terlalu prinsip," katanya.

Sama halnya dalam hubungan bilateral RI-AS di bawah kepemimpinan Bush dan Obama, kata SBY, tidak benar misalnya ketika Bush yang memimpin, Amerika tak lagi peduli dengan demokrasi, HAM, rule of law dan lingkungan, dan seolah hanya membicarakan urusan kerja sama ekonomi dan bisnis semata. Terbukti ada embargo dan sanksi militer terhadap Indonesia yang berlangsung selama 12 tahun dan tahun pertama ia memimpin pada 2005 langsung dicabut, karena Bush dan Amerika yakin TNI telah melakukan reformasi dan juga menghormati HAM dan demokrasi.

Sebaliknya pula dengan Obama, lanjut SBY, tidak benar kalau Obama tak tertarik dengan hubungan ekonomi, investasi dan bisnis dengan Indonesia dan hanya tertarik pada urusan demokrasi, HAM dan lingkungan misalnya. Pada saat menghadiri pertemuan puncak East Asia Summit, yang dihadiri 18 negara di Bali tahun 2011, Obama menyempatkan pertemuan bilateral dengan dirinya. Di situ Obama menggaris bawahi pentingnya peningkatan kerja sama investasi dan perdagangan antara Indonesia dan Amerika. Bahkan, dilakukan juga penandatanganan kontrak bisnis antara swasta Indonesia dengan pihak Amerika.

"Saya harus mengatakan bahwa siapa pun presidennya, agenda kerja sama bilateral Indonesia-Amerika Serikat itu tetap luas dan mencakup sektor-sektor penting bagi kedua negara. Misalnya, kerja sama di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, teknologi, pertahanan dan keamanan, serta kerja sama bilateral di forum internasional," tegas mantan Menko Polhukam era Megawati itu.



SBY membenarkan bahwa sejumlah anggota kongres AS, termasuk para senatornya, sering memiliki perhatian khusus terhadap negara lain, termasuk Indonesia. Barangkali hal ini yang mungkin berlebihan. Misalnya, urusan terorisme, HAM, lingkungan, kerja sama militer, investasi bisnis tertentu, masalah Papua, dan juga hubungan RI-Tiongkok.

"Hal begini memang terjadi, terlepas siapa yang menjadi presiden Amerika, apakah dari Partai Republik ataupun dari Partai Demokrat. Saya berpendapat, ini adalah bagian dari isu dan dinamika hubungan bilateral. Hal ini menjadi tugas pemerintah dan parlemen di kedua belah pihak untuk mengelolanya, termasuk para diplomat," ungkapnya.

Karena itu, menurut SBY, ini bukan yang luar biasa, semuanya dapat dikelola tanpa perlu merasa ditekan atau disudutkan. Indonesia tak perlu pula kita takut atau gentar, punya sikap dan posisi yang kuat, sesuai dengan kepentingan Indonesia di atas segalanya, tanpa mengabaikan pentingnya kerja sama bilateral dan multilateral yang saling menguntungkan. Pentingnya kita menjaga nilai-nilai demokrasi, menghormati HAM, menegakkan pranata hukum secara adil dan memelihara lingkungan itu bukan untuk memuaskan masyarakat internasional.

"Kalau kita masih takut pada pihak asing, berarti mental kita masih mental negara jajahan. Justru kita harus takut kepada rakyat sendiri, kalau kita lalai menegakkan nilai-nilai dan pranata yang itu menjadi kepentingan kita sendiri. Menjadi harapan dan aspirasi rakyat kita. Ini pandangan sederhana saya," tuturnya.

Akhirnya, SBY menambahkan, ada 2 hal yang ini ia sampaikan. Pertama, kentingan nasional Indonesia tetap dapat dicapai dan perjuangkan siapa pun yang menjadi presiden AS. Karenanya, sejalan dengan apa yang ia ketahui dan alami itu, Indonesia akan punya peluang yang sama apakah Amerika dipimpin oleh Trump ataupun Biden. Yang kedua dan lebih penting, siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden AS mendatang, Indonesia harus siap.

"Indonesia, atas dasar prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan, harus tetap bisa menjaga dan meningkatkan hubungan dan kerja sama bilateral dengan Amerika di masa depan. Di Abad 21 ini, tak ada negara yang boleh bersikap menguasai dan hegemonik terhadap negara lain. Kesetaraan dan kemitraan menjadi norma dan semangat baru dalam hubungan antar bangsa," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3100 seconds (0.1#10.140)