SBY: Siapa Pun Presidennya, Agenda Bilateral RI-AS Tetap Luas

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 14:57 WIB
loading...
A A A
"Sepengetahuan saya, kalau menyangkut hubungan bilateral dan kebijakan luar negeri mereka terhadap Indonesia, pada hakikatnya sama antara partai yang sedang memerintah dengan partai yang sedang beroposisi. Kalau toh ada perbedaan tidaklah banyak, dan juga tidak terlalu prinsip," katanya.

Sama halnya dalam hubungan bilateral RI-AS di bawah kepemimpinan Bush dan Obama, kata SBY, tidak benar misalnya ketika Bush yang memimpin, Amerika tak lagi peduli dengan demokrasi, HAM, rule of law dan lingkungan, dan seolah hanya membicarakan urusan kerja sama ekonomi dan bisnis semata. Terbukti ada embargo dan sanksi militer terhadap Indonesia yang berlangsung selama 12 tahun dan tahun pertama ia memimpin pada 2005 langsung dicabut, karena Bush dan Amerika yakin TNI telah melakukan reformasi dan juga menghormati HAM dan demokrasi.

Sebaliknya pula dengan Obama, lanjut SBY, tidak benar kalau Obama tak tertarik dengan hubungan ekonomi, investasi dan bisnis dengan Indonesia dan hanya tertarik pada urusan demokrasi, HAM dan lingkungan misalnya. Pada saat menghadiri pertemuan puncak East Asia Summit, yang dihadiri 18 negara di Bali tahun 2011, Obama menyempatkan pertemuan bilateral dengan dirinya. Di situ Obama menggaris bawahi pentingnya peningkatan kerja sama investasi dan perdagangan antara Indonesia dan Amerika. Bahkan, dilakukan juga penandatanganan kontrak bisnis antara swasta Indonesia dengan pihak Amerika.

"Saya harus mengatakan bahwa siapa pun presidennya, agenda kerja sama bilateral Indonesia-Amerika Serikat itu tetap luas dan mencakup sektor-sektor penting bagi kedua negara. Misalnya, kerja sama di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, teknologi, pertahanan dan keamanan, serta kerja sama bilateral di forum internasional," tegas mantan Menko Polhukam era Megawati itu.



SBY membenarkan bahwa sejumlah anggota kongres AS, termasuk para senatornya, sering memiliki perhatian khusus terhadap negara lain, termasuk Indonesia. Barangkali hal ini yang mungkin berlebihan. Misalnya, urusan terorisme, HAM, lingkungan, kerja sama militer, investasi bisnis tertentu, masalah Papua, dan juga hubungan RI-Tiongkok.

"Hal begini memang terjadi, terlepas siapa yang menjadi presiden Amerika, apakah dari Partai Republik ataupun dari Partai Demokrat. Saya berpendapat, ini adalah bagian dari isu dan dinamika hubungan bilateral. Hal ini menjadi tugas pemerintah dan parlemen di kedua belah pihak untuk mengelolanya, termasuk para diplomat," ungkapnya.

Karena itu, menurut SBY, ini bukan yang luar biasa, semuanya dapat dikelola tanpa perlu merasa ditekan atau disudutkan. Indonesia tak perlu pula kita takut atau gentar, punya sikap dan posisi yang kuat, sesuai dengan kepentingan Indonesia di atas segalanya, tanpa mengabaikan pentingnya kerja sama bilateral dan multilateral yang saling menguntungkan. Pentingnya kita menjaga nilai-nilai demokrasi, menghormati HAM, menegakkan pranata hukum secara adil dan memelihara lingkungan itu bukan untuk memuaskan masyarakat internasional.

"Kalau kita masih takut pada pihak asing, berarti mental kita masih mental negara jajahan. Justru kita harus takut kepada rakyat sendiri, kalau kita lalai menegakkan nilai-nilai dan pranata yang itu menjadi kepentingan kita sendiri. Menjadi harapan dan aspirasi rakyat kita. Ini pandangan sederhana saya," tuturnya.

Akhirnya, SBY menambahkan, ada 2 hal yang ini ia sampaikan. Pertama, kentingan nasional Indonesia tetap dapat dicapai dan perjuangkan siapa pun yang menjadi presiden AS. Karenanya, sejalan dengan apa yang ia ketahui dan alami itu, Indonesia akan punya peluang yang sama apakah Amerika dipimpin oleh Trump ataupun Biden. Yang kedua dan lebih penting, siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden AS mendatang, Indonesia harus siap.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1911 seconds (0.1#10.140)