Menghidupkan Sumpah Pemuda di Era Keterbukaan Informasi

Kamis, 29 Oktober 2020 - 22:30 WIB
loading...
Menghidupkan Sumpah Pemuda di Era Keterbukaan Informasi
Ariza Patria
A A A
Ariza Patria
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta

AGUSTUS lalu kita merayakan 75 tahun kemerdekaan Indonesia. Oktober ini kita peringati 92 tahun Sumpah pemuda. Di balik angka 75 dan 92 ada hikmah bahwa sulit bagi Indonesia untuk merdeka pada 1945, tanpa bekal semangat persatuan yang dideklarasikan para pemuda pada 1928.

Sosiolog Iwan Gardono Sudjatmiko mengibaratkan ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai terciptanya roh bangsa ini. Roh itu kemudian masuk ke dalam tubuh bangsa Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 (Asvi Warman Adam, Bung Karno Dibunuh Tiga Kali, hlm 45).

Kita bersyukur, pengetahuan tentang pengaruh besar Sumpah Pemuda terhadap Proklamasi 1945 telah sampai pada peserta didik, karena diajarkan dalam banyak sejarah maupun tulisan para peneliti dan intelektual lainnya.

Persatuan menjadi kata kunci dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda, setidaknya berdasarkan pengalaman saya aktif di berbagai organisasi kepemudaan, maupun saat memberikan materi, mengikuti berbagai acara kepemudaan selama 30 tahun terakhir. Dalam konteks ini, kita harus berterima kasih kepada para guru, pemuka agama di berbagai lembaga pendidikan, pesantren, wartawan, media massa, pengurus ormas. Merekalah garda terdepan yang memberikan pemahaman bahwa persatuan merupakan syarat tercapainya tujuan keluarga, organisasi hingga negara.

Zaman berubah, saat ini penanaman nilai-nilai Sumpah Pemuda dilakukan lewat berbagai metode, tidak hanya dengan ceramah, seminar, upacara, dll. Para guru juga mengadakan lomba disain poster, membuat video, pidato biografi tokoh dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial.

Dalam penanganan Covid-19 misalnya, kita melihat banyak sekali konten dan cara-cara kreatif yang dilakukan anak-anak muda untuk mengingatkan tentang 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak). Karena kagum, beberapa konten itu saya posting di media sosial pribadi. Mereka mampu menyampaikan pesan 3M dengan efektif hanya dalam 15 sampai 60 detik, luar biasa.

Terkait pendidikan kebangsaan saat ini, saya melihat bahan ajar begitu melimpah dan dapat diperoleh dengan mudah. Banyak video budaya dari berbagai suku di dunia tersedia di internet. Suku apa saja yang kita ketik akan muncul sejarahnya, dokumentasinya, minimal profil singkatnya.

Generasi hari ini juga bukan lagi semata menjadi konsumen dari berbagai konten tentang keberagaman, persatuan, namun mereka sendiri adalah produsen dari konten-konten keberagaman itu. “Dari mereka, oleh mereka untuk Indonesia”.

Anak-anak milenial ini menyajikan keberagaman dengan ringan, misalnya memvideokan kuliner, rumah adat serta berbagai keunikan yang mereka temui saat travelling, berfoto dengan teman-teman yang beda warna kulit, suku, agama selama perjalanan. Kebanggaan mereka dengan keberagaman Indonesia diekpresikan dengan cara-cara yang unik dan asyik. Bahkan ada sindiran yang biasa anak-anak kita ini sampaikan kepada mereka yang sangat fanatik dan belum terbiasa dengan perbedaan yaitu “kurang piknik lu”. Hanya tiga kata tapi bermakna. Kurang piknik ini bukan menyarankan untuk membeli tiket, naik pesawat, jalan-jalan, menginap di hotel yang tentu tidak semua orang dapat melakukannya. Namun kurang piknik ini bermakna kurang membaca, kurang diskusi, dan menariknya kurang piknik itu bisa “diobati” dengan berselancar di media sosial, menonton film pendek berbahasa Aceh, Jawa, Minang, Sunda, Banjar, Dayak, Papua dll untuk membuka pikiran.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1888 seconds (0.1#10.140)