Utang Luar Negeri Indonesia Tempati 7 Terbesar, Ini Kekhawatiran DPR

Rabu, 14 Oktober 2020 - 14:05 WIB
loading...
Utang Luar Negeri Indonesia Tempati 7 Terbesar, Ini Kekhawatiran DPR
Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Marwan Cik Asan khawatir ULN Indonesia semakin membengkak. FOTO/DOK.dpr.go.id
A A A
JAKARTA - Bank Dunia baru saja merilis laporan utang luar negeri hingga 2019 yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi ke-7 negara yang memiliki utang luar negeri (ULN) terbesar. Indonesia memiliki utang luar negeri mencapai USD402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun. Bank Indonesia (BI) juga telah mempublikasikan jumlah uang luar negeri Indonesia sampai akhir Juli 2020 yang telah mencapai USD 409,7 miliar atau sekitar Rp 6.071 triliun dengan kurs Rp14.820.

Menanggapi hal itu, Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Marwan Cik Asan khawatir ULN Indonesia semakin membengkak, jika pemerintah tidak menindaklanjutinya untuk penyelamatan ekonomi dan pengelolaan fiskal.

"Utang terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar USD201,8 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD207,9 miliar. Ada peningkatan sebesar 4,1% dari tahun sebelumnya. ULN tetap didominasi oleh utang jangka panjang dengan porsi 89,1% dari total ULN," kata Marwan kepada wartawan, Rabu (14/10/2020). ( )

Anggota Komisi XI DPR ini mengungkap, untuk utang pemerintah sebesar USD199 miliar atau tumbuh 2,3% per Juli. Peningkatan utang karena penarikan sebagian komitmen lembaga multilateral dan penerbitan samurai bonds untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan, termasuk guna menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sementara untuk utang swasta juga tumbuh lebih besar mencapai 6,1% yang didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin.

Terhadap peningkatan jumlah utang luar negeri, sambung Marwan, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dan kewaspadaan pemerintah. Di antaranya, peningkatan jumlah ULN ini telah ikut menaikan angka debt service ratio (DSR) Indonesia. Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) semester I 2020 menunjukkan, DSR Indonesia telah mencapai 29,5%. Angka ini telah melewati batas aman DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25%.

"Kondisi ini mengindikasikan bahwa penambahan ULN tidak disertai dengan peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambahan devisa lainnya. Dengan DSR di atas 25%, artinya jumlah utang Indonesia kini sudah masuk pada tingkat waspada," katanya. ( )

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini, dengan ULN Pemerintah yang semakin besar menimbulkan konsekuensi pada rasio antara beban bunga utang dan belanja pemerintah meningkat. Ruang fiskal pemerintah akan semakin terbatas, bukan tidak mungkin pemerintah akan mengurangi subsidi dan belanja produktif untuk membayar bunga utang.

"Untuk tahun berikutnya dipastikan pemerintah akan membayar bunga dan pokok pinjaman utang jatuh tempo dari penarikan utang baru atau konsep gali lubang tutup lubang," katanya.

Kemudian, Marwan melanjutkan, pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap peningkatan ULN swasta. Dengan 89% utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS, akan sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan bisa menyebabkan dampak krisis yang semakin besar terhadap ekonomi. Berkaca dari pengalaman krisis 1998, banyak perusahaan swasta yang menarik ULN dalam jumlah besar. Namun, ketika terjadi krisis yang dipicu pelemahan mata uang Baht Thailand, Rupiah ikut melemah, sehingga banyak utang yang gagal bayar. Kondisi inilah yang ditakutkan terjadi lagi di Indonesia, jika ULN swasta terus membengkak. ( )

Marwan melihat, biaya bunga utang juga semakin mahal. Dan untuk mengatasi defisit APBN yang terus meningkat, pemerintah berusaha mencari pembiayaan melalui utang dengan menawarkan imbal hasil (yield) yang tinggi. Akibatnya, swasta yang akan menerbitkan obligasi valas harus memberikan suku bunga yang lebih tinggi. Dampaknya akan terjadi perebutan dana yang ketat, dan membuat beban pembayaran bunga swasta menjadi lebih mahal.

"Risiko gagal bayar utang menjadi ancaman bagi pihak swasta di tengah kondisi ekonomi yang sedang menurun," ujar Marwan.

Selain itu, dia menambahkan bahwa hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam IHPS semester II 2019 menunjukan bahwa pengelolaan utang pemerintah kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan resiko terkendali. BPK menemukan bahwa imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer. Selain itu, BPK juga menemukan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat belum didukung oleh peraturan manajemen risiko keuangan negara dan penerapan analisis fiskal yang berkelanjutan.

"Dengan demikian, utang pemerintah saat ini berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang. Terhadap temuan tersebut, pemerintah perlu segera menindaklanjutinya untuk menyelamatkan ekonomi dan pengelolaan fiskal pemerintah," kata Marwan.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1766 seconds (0.1#10.140)