Pilkada di Saat Pandemi, Pemerintah Diminta Tengok Negara Lain
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seiring terus melonjaknya kasus terpapar Covid-19 (virus Corona), penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap dilanjutkan sesuai jadwal.
(Baca juga: Koalisi Buruh Migran Sebut Arus Deportasi PMI dari Sabah Meningkat Sejak Juni 2020)
Kendati begitu, pemerintah dan penyelenggara pemilu diminta belajar dari negara lain yang tetap menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi.
(Baca juga: UU Ciptaker Disahkan, CSIS: Ini Bermanfaat terhadap Investasi)
Ahli epidemiologi Griffith University di Australia, Dicky Budiman menyatakan faktor terkendalinya pandemi Covid-19 akan menentukan terhadap munculnya klaster baru.
Hal itu dilihat dari pengamatan terhadap pelaksanaan pemilu di beberapa negara seperti Republik Dominika, Singapura, Korea Selatan, dan lainnya.
"Ada pola yang sama, faktor terkendalinya pandemi sangat penting terhadap ada tidaknya klaster setelah pemilu. Umumnya yang berhasil itu, tes positivity rate di antara 1-3 persen," papar Dicky dalam diskusi secara virtual, Kamis (8/10/2020).
"Misalnya di Singapura dan Korea Selatan, bahkan 2 minggu sebelum pelaksanaan pemilu itu tidak ada kasus kematian. Walaupun ada kasus baru, tidak lebih dari dua digit," tambahnya.
Sebaliknya, ada hal kompleks saat pelaksanaan pemilu dilakukan di negara yang pandeminya belum terkendali. Misalnya di Republik Dominika, penerapan 3T atau testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan) belum optimal.
Di sisi lain, pemerintah setempat melakukan banyak pelonggaran aktivitas mobilitas. Hal itu memicu terjadi klaster baru, termasuk ketika pelaksanaan pemilu.
Demikian juga di Singapura. Meski laju kasus sudah terkendali ketika pemilu, namun dilakukan pelonggaran lebih awal. Hanya saja, jumlahnya tidak sebesar di Indonesia.
"Ini menunjukkan begitu pentingnya suatu kondisi pengendalian pandemi sudah terkendali lebih dahulu. Itu sebetulnya tidak memerlukan waktu satu tahun. Secara teoritis, ketika itu dilakukan dengan masif dan agresif, setidaknya tiga bulan sudah terlihat hasilnya. Artinya, saat proses regulasi berjalan, kita kendalikan dulu (kasus pandemi) karena akan mencegah terjadinya korban," imbuhnya.
Dicky berpendapat, pengendalian bukan hanya seberapa banyak orang yang pulih. Menurutnya, pemerintah juga perlu belajar dari pandemi-pandemi sebelumnya. Dampak dari pandemi itu terasa tidak hanya saat orang itu pulih setelah beberapa minggu, tetapi bertahun-tahun.
"Artinya, ada efek jangka panjang yang menurunkan kualitas SDM Indonesia. Ini yang harus diperhatikan juga oleh pemerintah. Karena ketika ini (Pilkada) dipaksa dilakukan, kita akan membuat jatuhnya korban. Bukan hanya meninggal saja, tetapi yang tetap survive bisa menurun kualitasnya," imbuhnya.
Karena itu, dirinya mengingatkan pemerintah harus berhati-hati ketika memutuskan pilkada tetap dilakukan dan ada kelonggaran. Bila pola kampanye atau pelaksanaan pilkada sulit berubah dari cara konvensional, negara ini harus punya mekanisme ketika memutuskan Pilkada dilakukan, ada kelonggaran.
"Tidak hanya hanya berbasis data epidemiologi saja, tapi juga risk dan assessment tools. Makanya, sebelum memutuskan, saya mohon pemerintah juga melakukan risk assesment. Ini tentu dinamis, nanti dilihat lagi setelah seminggu, sebulan, dan terus dievaluasi," pintanya.
Jika tetap ada kerumunan massa dalam tahapan pilkada, maka akan meningkatkan risiko peningkatan penularan. Dalam kondisi banyak orang, itu akan sangat sulit mencegah penularan walaupun memakai masker.
(Baca juga: Koalisi Buruh Migran Sebut Arus Deportasi PMI dari Sabah Meningkat Sejak Juni 2020)
Kendati begitu, pemerintah dan penyelenggara pemilu diminta belajar dari negara lain yang tetap menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi.
(Baca juga: UU Ciptaker Disahkan, CSIS: Ini Bermanfaat terhadap Investasi)
Ahli epidemiologi Griffith University di Australia, Dicky Budiman menyatakan faktor terkendalinya pandemi Covid-19 akan menentukan terhadap munculnya klaster baru.
Hal itu dilihat dari pengamatan terhadap pelaksanaan pemilu di beberapa negara seperti Republik Dominika, Singapura, Korea Selatan, dan lainnya.
"Ada pola yang sama, faktor terkendalinya pandemi sangat penting terhadap ada tidaknya klaster setelah pemilu. Umumnya yang berhasil itu, tes positivity rate di antara 1-3 persen," papar Dicky dalam diskusi secara virtual, Kamis (8/10/2020).
"Misalnya di Singapura dan Korea Selatan, bahkan 2 minggu sebelum pelaksanaan pemilu itu tidak ada kasus kematian. Walaupun ada kasus baru, tidak lebih dari dua digit," tambahnya.
Sebaliknya, ada hal kompleks saat pelaksanaan pemilu dilakukan di negara yang pandeminya belum terkendali. Misalnya di Republik Dominika, penerapan 3T atau testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan) belum optimal.
Di sisi lain, pemerintah setempat melakukan banyak pelonggaran aktivitas mobilitas. Hal itu memicu terjadi klaster baru, termasuk ketika pelaksanaan pemilu.
Demikian juga di Singapura. Meski laju kasus sudah terkendali ketika pemilu, namun dilakukan pelonggaran lebih awal. Hanya saja, jumlahnya tidak sebesar di Indonesia.
"Ini menunjukkan begitu pentingnya suatu kondisi pengendalian pandemi sudah terkendali lebih dahulu. Itu sebetulnya tidak memerlukan waktu satu tahun. Secara teoritis, ketika itu dilakukan dengan masif dan agresif, setidaknya tiga bulan sudah terlihat hasilnya. Artinya, saat proses regulasi berjalan, kita kendalikan dulu (kasus pandemi) karena akan mencegah terjadinya korban," imbuhnya.
Dicky berpendapat, pengendalian bukan hanya seberapa banyak orang yang pulih. Menurutnya, pemerintah juga perlu belajar dari pandemi-pandemi sebelumnya. Dampak dari pandemi itu terasa tidak hanya saat orang itu pulih setelah beberapa minggu, tetapi bertahun-tahun.
"Artinya, ada efek jangka panjang yang menurunkan kualitas SDM Indonesia. Ini yang harus diperhatikan juga oleh pemerintah. Karena ketika ini (Pilkada) dipaksa dilakukan, kita akan membuat jatuhnya korban. Bukan hanya meninggal saja, tetapi yang tetap survive bisa menurun kualitasnya," imbuhnya.
Karena itu, dirinya mengingatkan pemerintah harus berhati-hati ketika memutuskan pilkada tetap dilakukan dan ada kelonggaran. Bila pola kampanye atau pelaksanaan pilkada sulit berubah dari cara konvensional, negara ini harus punya mekanisme ketika memutuskan Pilkada dilakukan, ada kelonggaran.
"Tidak hanya hanya berbasis data epidemiologi saja, tapi juga risk dan assessment tools. Makanya, sebelum memutuskan, saya mohon pemerintah juga melakukan risk assesment. Ini tentu dinamis, nanti dilihat lagi setelah seminggu, sebulan, dan terus dievaluasi," pintanya.
Jika tetap ada kerumunan massa dalam tahapan pilkada, maka akan meningkatkan risiko peningkatan penularan. Dalam kondisi banyak orang, itu akan sangat sulit mencegah penularan walaupun memakai masker.
(maf)