Pilkada di Saat Pandemi, Pemerintah Diminta Tengok Negara Lain
loading...
A
A
A
Demikian juga di Singapura. Meski laju kasus sudah terkendali ketika pemilu, namun dilakukan pelonggaran lebih awal. Hanya saja, jumlahnya tidak sebesar di Indonesia.
"Ini menunjukkan begitu pentingnya suatu kondisi pengendalian pandemi sudah terkendali lebih dahulu. Itu sebetulnya tidak memerlukan waktu satu tahun. Secara teoritis, ketika itu dilakukan dengan masif dan agresif, setidaknya tiga bulan sudah terlihat hasilnya. Artinya, saat proses regulasi berjalan, kita kendalikan dulu (kasus pandemi) karena akan mencegah terjadinya korban," imbuhnya.
Dicky berpendapat, pengendalian bukan hanya seberapa banyak orang yang pulih. Menurutnya, pemerintah juga perlu belajar dari pandemi-pandemi sebelumnya. Dampak dari pandemi itu terasa tidak hanya saat orang itu pulih setelah beberapa minggu, tetapi bertahun-tahun.
"Artinya, ada efek jangka panjang yang menurunkan kualitas SDM Indonesia. Ini yang harus diperhatikan juga oleh pemerintah. Karena ketika ini (Pilkada) dipaksa dilakukan, kita akan membuat jatuhnya korban. Bukan hanya meninggal saja, tetapi yang tetap survive bisa menurun kualitasnya," imbuhnya.
Karena itu, dirinya mengingatkan pemerintah harus berhati-hati ketika memutuskan pilkada tetap dilakukan dan ada kelonggaran. Bila pola kampanye atau pelaksanaan pilkada sulit berubah dari cara konvensional, negara ini harus punya mekanisme ketika memutuskan Pilkada dilakukan, ada kelonggaran.
"Tidak hanya hanya berbasis data epidemiologi saja, tapi juga risk dan assessment tools. Makanya, sebelum memutuskan, saya mohon pemerintah juga melakukan risk assesment. Ini tentu dinamis, nanti dilihat lagi setelah seminggu, sebulan, dan terus dievaluasi," pintanya.
Jika tetap ada kerumunan massa dalam tahapan pilkada, maka akan meningkatkan risiko peningkatan penularan. Dalam kondisi banyak orang, itu akan sangat sulit mencegah penularan walaupun memakai masker.
"Ini menunjukkan begitu pentingnya suatu kondisi pengendalian pandemi sudah terkendali lebih dahulu. Itu sebetulnya tidak memerlukan waktu satu tahun. Secara teoritis, ketika itu dilakukan dengan masif dan agresif, setidaknya tiga bulan sudah terlihat hasilnya. Artinya, saat proses regulasi berjalan, kita kendalikan dulu (kasus pandemi) karena akan mencegah terjadinya korban," imbuhnya.
Dicky berpendapat, pengendalian bukan hanya seberapa banyak orang yang pulih. Menurutnya, pemerintah juga perlu belajar dari pandemi-pandemi sebelumnya. Dampak dari pandemi itu terasa tidak hanya saat orang itu pulih setelah beberapa minggu, tetapi bertahun-tahun.
"Artinya, ada efek jangka panjang yang menurunkan kualitas SDM Indonesia. Ini yang harus diperhatikan juga oleh pemerintah. Karena ketika ini (Pilkada) dipaksa dilakukan, kita akan membuat jatuhnya korban. Bukan hanya meninggal saja, tetapi yang tetap survive bisa menurun kualitasnya," imbuhnya.
Karena itu, dirinya mengingatkan pemerintah harus berhati-hati ketika memutuskan pilkada tetap dilakukan dan ada kelonggaran. Bila pola kampanye atau pelaksanaan pilkada sulit berubah dari cara konvensional, negara ini harus punya mekanisme ketika memutuskan Pilkada dilakukan, ada kelonggaran.
"Tidak hanya hanya berbasis data epidemiologi saja, tapi juga risk dan assessment tools. Makanya, sebelum memutuskan, saya mohon pemerintah juga melakukan risk assesment. Ini tentu dinamis, nanti dilihat lagi setelah seminggu, sebulan, dan terus dievaluasi," pintanya.
Jika tetap ada kerumunan massa dalam tahapan pilkada, maka akan meningkatkan risiko peningkatan penularan. Dalam kondisi banyak orang, itu akan sangat sulit mencegah penularan walaupun memakai masker.
(maf)