Isra Mikraj: Sebuah Perjalanan 'Existential Distancing'

Senin, 23 Maret 2020 - 06:37 WIB
Isra Mikraj: Sebuah Perjalanan  Existential Distancing
Isra Mikraj: Sebuah Perjalanan 'Existential Distancing'
A A A
Istnan H Dosen Studi Islam IAIN Palu

Nabi Muhammad Saw mengalami beberapa momentum luar biasa dalam hidupnya. Satu di antaranya Isra Mikraj. Isra Mikraj, sebagaimana dideskripsikan dalam teks Alquran maupun literatur sejarah, adalah peristiwa perjalanan horizontal (dari Masjid al-Haram ke Bayt al-Maqdis) dan perjalanan vertikal (dari Bayt al-Maqdis ke Sidrah al-Muntaha).

Disebut luar biasa karena sejauh ini belum mampu dijelaskan baik secara nalar maupun metode yang berbasis paradigma saintifik. Distansi teritorial titik-titik destinasi perjalanan tersebut cukup jauh. Sangat musykil ditempuh dengan durasi waktu yang sangat singkat. Terlebih jika ditarik ke konteks masa lalu, saat alat transportasi tercepat adalah kuda.

Itulah mukjizat. Nabi mengarungi perjalanan jauh itu karena digerakkan oleh Zat Adikodrati Yang Maha Perkasa. Peran Nabi tampak begitu pasif (QS Al-Isra: 1). Jika rasio buntu memahaminya, maka jalan iman mampu menyelesaikannya. Sebab, iman itu menerima, bukan mempertanyakan. Menerima mengurangi beban psikis yang ruwet dan di luar daya manusia.

Di luar sifatnya yang menakjubkan, peristiwa Isra Mikraj sesungguhnya memiliki dimensi simbolik dan filosofis yang kuat dan tidak akan kering maknanya meski ditambang berkali-kali. Dimensi simbolik tersebut pertama-tama dapat dikonstruksi dengan merunut kronik historis yang melatarinya. Nabi mengalami peristiwa Isra Mikraj setelah didahului serangkaian peristiwa yang memilukan.

Nabi kehilangan beberapa orang yang sebelumnya dikenal paling gigih dan militan membersamai Nabi dalam mewedar risalah Islam. Pukulan terhebat beliau rasakan ketika paman tercinta (Abu Thalib) wafat. Nabi kehilangan benteng kokoh yang selama ini memerisainya dari aneka risak dan resistensi orang-orang kafir Quraisy. Belum kering air mata Nabi, istri tercintanya menyusul menghadap Ilahi.

Sayyidah Khadijah bukan semata pendamping biologis Nabi, namun juga mitra dan mentor yang selalu hadir menguatkan Nabi di masa-masa sulit. Di antara peran Khadijah yang luar biasa adalah saat ia menenangkan jiwa Nabi tatkala menghadapi tekanan hebat selepas menerima wahyu pertama. Khadijah, yang juga dikenal sebagai konglomerat perempuan Arab, menginvestasikan seluruh hartanya untuk mendukung dakwah Nabi.

Kehilangan dua orang terdekat membuat Nabi masygul. Ia nyaris kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan meluaskan ajaran nubuwah. Allah lalu memerintah Jibril agar mengajaknya ber-Isra Mikraj. Nabi langsung diundang beranjangsana ke singgasana-Nya di Sidrah al-Muntaha. Namun, sebelum ke Sidrah al-Muntaha, Nabi lebih dahulu singgah ke Bayt al-Maqdis.

Jika mengikuti alur cerita, Sidrah al-Muntaha seolah merupakan sebuah tempat, yakni tempat Allah bersemayam. Pandangan semacam ini tentu saja kontradiktif dengan eksistensi Allah sendiri sebagaimana diajarkan dalam doktrin keimanan (terutama dalam mazhab Asy’ariyah). Allah itu Khalik (pencipta). Sebagai khalik atas semua hal, Allah mustahil menempati ruang dan waktu. Allah berada dalam dimensi ketakberhinggaan.

Dengan demikian, perjalanan Nabi ke Sidrah al-Muntaha sesungguhnya merupakan perjalanan ke dimensi tak berhinggaan. Nabi keluar dari lingkup ruang dan waktu. Secara nalar itu tidak mungkin. Namun, jika yang berkehendak itu Allah, maka hukum ketidakmungkinan pasti luluh lantak.

Dalam peristiwa Mikraj, Nabi mengalami momen berjarak dengan wadak kemakhlukannya (existential distancing ). Nabi meninggalkan dan menanggalkan semua atribut kemakhlukannya. Tentu saja ini bukan berarti menyamai posisi Allah. Sebab, Allah tetaplah Allah yang tiada keserupaan bagi-Nya (laisa kamitslihi syaiun ).Nabi hanya merasakan momen kemenyatuan dengan altar keilahian. Pada puncaknya, Nabi disalami Allah dengan ungkapan: "Assalamu ’alaika ayuha al-nabiyyu warahmatullah wabarakatuhu " (Keselamatan, rahmat, dan keberkahan bagimu wahai Nabi). Kalimat salam ini menunjukkan bahwa antara Allah dan Nabi terdapat jarak.Allah tetap berada dalam posisinya sebagai Khalik, begitu pun Nabi tetap menjadi makhluk. Mendengar kalimat salam itu, spontan Nabi pun menjawab: "Assalamu ’alainaa wa ‘ala ‘ibadillah al-shalihin " (Keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang saleh). Pada kalimat yang terakhir ini, dhamir (kata ganti orang) yang merujuk kepada Nabi dengan kata "hamba Allah" dispasi oleh huruf ‘athaf (kata sambung) "wa". Artinya, dimensi profetik Nabi membuatnya berbeda dengan makhluk pada umumnya.

Mikraj ini mengirim pesan penting bahwa obat dari kesedihan Nabi adalah dengan laku existential distancing . Nabi harus berjarak dengan wadak kemakhlukannya. Bagaimana dengan orang biasa selain Nabi, apakah juga bisa mengalami existential distancing ?

Ketika Nabi Muhammad SAW menapak puncak spiritualitas Mikraj, Allah SWT menitahnya agar mewajibkan salat kepada umatnya. Banyak riwayat soal titah ini. Termasuk yang terkait jumlah rakaat salat dan proses negosiasi Nabi agar titah tersebut disederhanakan karena khawatir umatnya berat untuk menunaikan. Terlepas variasi dan kontroversi tersebut, intinya, umat Muhammad semenjak peristiwa Isra Mikraj harus menunaikan salat sesuai aturan dan metode yang dicontohkan Nabi (Shallu kama ra’aitumuni ushalli ).

Menilik waktu dan cara menerimanya, cukup mengindikasikan bahwa salat bukan semata ibadah biasa. Salat memiliki kaitan langsung dengan peristiwa Isra Mikraj. Kesan ini semakin tebal karena terdapat sebuah ungkapan yang oleh sebagian kelompok diyakini sebagai hadis meski tak sedikit pula yang membantahnya. Ungkapan tersebut berbunyi: "Salat merupakan mikrajnya orang beriman" (Al-shalatu mi’raj al-mu’minin ).

Dengan demikian, salat kompatibel dengan peristiwa existential distancing . Salat merupakan proses latihan terus-menerus untuk menemukan "momentum Sidrah al-Muntaha". Dalam salat juga terabadikan dua kalimat salam yang pernah diartikulasikan Allah dan Nabi Muhammad dalam peristiwa Mikraj.

Nilai inti salat adalah ketika manusia mampu keluar dari dimensi ruang-waktu atau ia tidak lagi merasakan ketertawanan dengan dunia dan materi. Ia menyatu dengan Yang Maha Tak Terhingga. Ia hanya menyaksikan eksistensi Allah dan Rasulullah, sebagaimana terkandung dalam kalimat syahadat: Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.

Setelah berhasil menggapai nilai inti dari salat, existential distancing , manusia harus memungkasi dengan menebar keselamatan kepada semesta, sebagaimana tersirat dalam kalimat penutup salat. Di antara bentuk berbagi itu adalah dengan tidak terjebak dalam perilaku yang merusak dan merugikan (QS Al-Ankabut: 45).

Dalam ayat tersebut terdapat dua kata yang sekilas memiliki kesamaan makna, yakni kata "fahsya’ " dan kata "munkar ". Namun, jika ditelaah lebih jauh, keduanya berbeda. Fahsya sering diasosiasikan dengan zina, sementara munkar dengan khamr . Zina, simbol perbuatan yang akibatnya bersifat personal. Sedangkan khamr (minuman beralkohol) yang juga dikenal sebagai ibunya dosa (umm al-khabaits ) dapat berdampak luas. Dengan demikian, manusia yang mampu menggapai inti salat akan terlindungi dari aneka perbuatan yang merusak, baik dalam skala personal maupun sosial.

Jika Isra Mikraj akhirnya dapat melipur lara Nabi Muhammad, maka hal yang sama juga dapat ditemukan dalam salat. Dengan salat berkali-kali, manusia mengalami keberjarakan eksistensial berkali-kali pula. Merasakan kemanyatuan dengan Allah berkali-kali pula. Kalau sudah demikian, apalagi yang perlu dianggap penting dalam hidupnya selain kebersamaan dengan-Nya? Tak ada vibrasi materi apa pun yang sanggup merebut kelezatan batiniah menyatu dengan Allah.

Tak ada pula yang sanggup mengubah suasana hatinya sehingga harus merasa berduka dan kehilangan. Salat adalah obat mujarab atas segala keruwetan yang diakibatkan lalu lintas materi yang mengitari eksistensi manusia. Wallahu a’lam.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9844 seconds (0.1#10.140)