Cacat Formil dan Materil, DPR Diminta Kembalikan Draf RUU Cipta Kerja

Rabu, 11 Maret 2020 - 17:05 WIB
Cacat Formil dan Materil, DPR Diminta Kembalikan Draf RUU Cipta Kerja
Cacat Formil dan Materil, DPR Diminta Kembalikan Draf RUU Cipta Kerja
A A A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengkritisi soal draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang cacat formiil maupun materiil.

Untuk itu, PSHK UII merekomendasikan kepada DPR untuk mengembalikan draf tersebut ke pemerintah untuk direvisi. Direktur PSHK FH UII Allan Fatchan Gani menguraikan sejumlah persoalan.

(Baca juga: Pilkada, Parpol Diminta Utamakan Aspirasi Rakyat Daerah)

Pertama, masalah formil, penyusunan RUU Ciptaker ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 rentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

Ada 79 UU yang akan digabung dan setiap 79 Undang-Undang tersebut pada hakikatnya memiliki 'jiwa' serta landasan filosofis dan sosiologis masing-masing. Namun, RUU Cipta Kerja ini justru mengaburkannya sebagai UU baru padahal, bermuatan perubahan atas berbagai ketentuan dalam 79 UU tersebut.

"RUU ini tidak menegaskan konsekuensi lahirnya RUU Cipta Kerja terhadap 79 UU yang sedang berlaku. Status 79 UU ini tidak jelas karena di dalam RUU Cipta Kerja, khususnya di bagian penutup, tidak ada penegasan mengenai selain RUU ini mengubah atau mencabut 79 UU yang sedang berlaku," kata Allan dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Rabu (11/3/2020).

Kedua Allan melanjutkan, RUU Ciptaker ini cacat materil karena banyak menabrak sejumlah ketentuan dalam konstitusi UUD 1945. Yakni pertama, mereduksi hak otonomi seluas-luasnya yang diberikan kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD I945. Selain pemerintah pusat bisa membatalkan Peraturan Daerah (Perda), sejumlah kewenangan Pemda juga dipangkas.

"Seperti, kewenangan memroses dan menerbitkan Amdal, kewenangan membuat peraturan perundang-undangan daerah, pembinaan dan pengawasan dalam bidang mineral dan batubara, serta penyelenggaraan ketenagalistrikkan," urainya.

"Beberapa kewenangan pemerintah daerah yang dihapus di akan kemudian ditarik ke pemerintah pusat sehingga cenderung memperlihatkan nuansa sentralisasi," imbuh Allan.

Kemudian lanjut Allan, materi yang dilanggar lainnya yakni, mereduksi prinsip perekonomian nasional yang berkelanjutan berwawasan Iingkungan (environmental sustainable development) berdasarkan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 serta mereduksi jaminan konstitusional setiap orang untuk mendapat Iingkungan hidup yang baik berdasarkan Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945.

"Pengaturan kriteria kegiatan usaha yang wajib memerlukan Amdal dipersempit dan mendelegasikan pengalurannya ke Peraturan Pemerintah. Hal ini berkonsekuensi melimpahkan kewenangan yang leluasa bagi Presiden untuk mengatur kriteria usaha wajib Amdal, tanpa persetujuan bersama dengan DPR," terangnya.

Allan menjelaskan, RUU Ciptaker juga menghapus batas ketentuan minimum 30% kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau.

Sehingga. kawasan hutan dapat dipergunakan untuk kegiatan berusaha yang mengabaikan upaya pelestarian lingkungan hidup. Serta, menghapus pertanggungjawaban pemegang hak atau zin berusaha bila terjadi kebakaran hutan dan digami dengan kewajiban melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan.

"Namun RUU ini tanpa mengatur pengenaan sanksi bagi pelanggar," sesalnya.

Selain itu dia menambahkan, RUU Ciptaker mereduksi hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 28D UUD I945.

Karena, RUU ini menghapus ketentuan upah minimum kabupaten/kota dan sektoral, industri padat karya dapat menggunakan sistem upah minimum sendiri (otonom) yang berkonsekuensi menimbulkan sistem pengupahan yang tak pasti dan melemahkan perlindungan upah terhadap buruh/tenaga kerja.

"Kenaikan pengaturan jam Jembur kerja dari 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi maksimal 4 jam sehari dan 18 jam satu minggu memberikan kelonggaran untuk memberlakukan waktu kerja melebihi ketentuan pada sektor atau jenis pekerjaan tertentu. Serta tidak ada pembatasan pekerjaan alih daya/outsourcing dan kontrak," bebernya.

Berdasarkan uraian di atas, Allan menegaskan, PSHK FH UII menyatakan bahwa pemerintah perlu memperbaiki draf RUU Ciptaker dengan menghapus atau mengubah ketentuan yang mengandung permasalahan konstitusional dan menyesuaikannya dengan UU P3 dan UUD 1945.

"PSHK FH Ull merekomendasikan agar DPR mengembalikan RUU Cipta Keria kepada Presiden dengan menyenakan berbagai aspirasi yang berkembang dari masyatakatz Pembentukan RUU Cipta Kerja harus melibatkan masyarakat secara luas sesuai dengan Undang-Undang," tandasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5106 seconds (0.1#10.140)