Bencana Buatan
A
A
A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
MUSIM hujan kali ini menimbulkan banjir di banyak tempat. Bukan hanya di daerah yang masih jauh dari jangkauan pemerintahan, Ibu Kota pun tidak lepas darinya. Boleh jadi hal demikian berkaitan dengan perubahan fungsi lahan yang tidak dicermati akibatnya. Tatkala semakin banyak pembangunan fisik dilakukan tanpa mengindahkan lahan parkir air, bisa jadi air akan lari mencari “pelabuhannya”. Demikian halnya tatkala saluran air sempit atau tersumbat oleh sampah dan pasir, air pun akan tetap mencari jalan pelariannya.
Kondisi di atas menjadi bahan renungan bersama untuk dicarikan solusinya. Tidak pada tempatnya untuk menjadikan kejadian ini sebagai komoditas politik untuk menilai keberhasilan ataupun kegagalan suatu penguasa. Tanpa kerja bersama, maka persoalan banjir tidak pernah bisa selesai karena air banjir pun memiliki “filosofis” yang sama, yakni senantiasa memanfaatkan apa pun yang lebih rendah untuk dilewatinya. Dengan demikian, menghadapi banjir harus ada pemahaman seirama antar-stakeholder .
Ekologis
Menurut Soemarwoto (1997), alam tidak biasa membuat aksi terhadap manusia. Justru manusia yang memulai tindakan tertentu terhadap alam dan berakibat sesuai perlakuan sebelumnya. Hal demikian erat kaitannya dengan hubungan timbal balik makhluk (khususnya manusia) dengan lingkungan sekitarnya. Bila demikian halnya, fungsi perizinan menjadi penting untuk dievaluasi agar dapat menyeleksi aktivitas yang dilakukan pihak pengembang. Bahkan, secara holistis perlu dianalisis agar dampak penting yang bersifat negatif menjadi minimal.
Dalam kaitan di atas, pemerintah merupakan superbody yang bertugas mengatur setiap aktivitas manusia yang ada di wilayahnya. Melalui kebijakan pusat yang dirujuk pemerintahan di bawahnya, perilaku manusia di dalamnya harus patuh terhadap kebijakan yang memayunginya. Hanya, kebijakan sering kali dianggap menghalangi sehingga “patut” ditinjau agar langkah salah yang dibuat bisa mulus. Dalam kaitan tersebut, fenomena banjir agaknya menjadi pelajaran penting untuk disikapi agar dapat menyelamatkan ekologi agar kenyamanan hidup bersama terjaga.
Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagai salah satu syarat perizinan agaknya berperan penting untuk mengalkulasi boleh-tidaknya suatu aktivitas pembangunan dilakukan. Dengan demikian, tidak boleh amdal ditempatkan sebagai syarat administratif, namun mestinya menjadi syarat teknis agar izin tidak dikeluarkan sebelum jelas hasil amdalnya. Sayangnya, persyaratan tersebut berposisi sebagai persyaratan administratif yang proses perizinan dapat berlanjut karena, seakan-akan hasil amdalnya membolehkan pembangunan terus berlanjut. Dampaknya, korban pun berjatuhan akibat bencana yang disebabkan kecerobohan tersebut.
Boleh jadi hal di atas diwarnai oleh sejumlah kebutuhan banyak pihak. Oknum pengusaha merasa telah bermodal untuk berinvestasi, oknum pejabat pemerintahan pun merasa perlu mendapat “PAD”, dan oknum warga tertentu pun merasa butuh penghasilan. Padahal, kerugian yang ditimbulkannya jauh melebihi pendapatan yang diterimanya. Tidak berlebihan jika sejumlah oknum mempelajari kebijakan yang ada di peraturan pasal per pasalnya untuk dicarikan kelemahan dan celah untuk dimanfaatkan. Melalui penemuan celah tersebut, semangat sesatnya disusupkan agar kepentingan bisa diloloskan.
ABCGM
Bisa jadi bencana terjadi karena perbuatan yang tanpa sengaja ataupun disengaja. Kerusakan alam sebagai penyebabnya timbul karena pemahaman yang tidak sama dari seluruh pemangku kepentingan. Tidak berlebihan bila akademisi, bisnis, community, government, dan media (ABCGM) memiliki pemahaman dan persepsi yang sama atas bencana. Kesamaan tersebut menjadi bekal untuk ditularkan filosofinya kepada seluruh stakeholders yang ada. Oleh sebab itu, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota terlebih dahulu harus menjadi satu kesatuan pemahaman terhadap seluruh persoalan, termasuk penyebab bencana.
Dalam kondisi seperti di atas, akademisi harus tampil dengan pertimbangan akademiknya yang jernih, logis, dan filosofis agar mudah dipahami semua pihak. Demikian halnya nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan harus digali oleh agamawan dan pemuka adat serta tokoh masyarakat, agar secara tuntas dipahami esensi dasar bila suatu perbuatan dilakukan. Pemahaman yang sama dari komunitas itu sendiri dapat menguatkan pengamalannya dalam menyikapi setiap kegiatan pembangunan. Dalam konteks inilah, pemerintah bertugas mengawal agar tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun dalam mengelola alam.
Pembangunan yang ramah lingkungan menjadi aktivitas yang harus dikawal bersama oleh seluruh pihak. Kebijakan yang mengatur peruntukan ruang pun tidak diperdebatkan dengan tujuan untuk dipakai memenuhi kebutuhan pemilik modal, namun ditafsirkan prinsip dasarnya dan dicoba disempurnakan bersama isinya. Dengan demikian, penggundulan hutan, pencemaran sungai, pembakaran lahan menjadi praktik yang dapat dihindari.
Dengan sinergitas yang dibangun kelima unsur di atas, seluruh pihak yang mencoba membisikkan hal yang salah dapat dieliminasi bersama sekaligus dibuat penyadaran. Dengan mengutamakan kemaslahatan untuk semua, perbedaan pemahaman harus dirembukkan agar ketika menukik pada suatu persoalan ditemukan kesamaan paham. Jika hal demikian dapat diupayakan, persengketaan, keraguan atas integritas petinggi negeri, dan juga di daerah, bisa berkurang sehingga harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dicapai dan terus ditingkatkan.
Dari kasus banjir yang sedang dialami banyak pihak, semoga dapat dipetik hikmahnya untuk kehidupan yang lebih baik ke depan demi anak-cucu. Bila tidak maka bencana buatan tetap mewarnai kehidupan ini dengan segala bentuk dan manifestasinya.
Semoga tidak ada lagi bencana buatan yang terjadi karena manusia mempermainkan alam!
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
MUSIM hujan kali ini menimbulkan banjir di banyak tempat. Bukan hanya di daerah yang masih jauh dari jangkauan pemerintahan, Ibu Kota pun tidak lepas darinya. Boleh jadi hal demikian berkaitan dengan perubahan fungsi lahan yang tidak dicermati akibatnya. Tatkala semakin banyak pembangunan fisik dilakukan tanpa mengindahkan lahan parkir air, bisa jadi air akan lari mencari “pelabuhannya”. Demikian halnya tatkala saluran air sempit atau tersumbat oleh sampah dan pasir, air pun akan tetap mencari jalan pelariannya.
Kondisi di atas menjadi bahan renungan bersama untuk dicarikan solusinya. Tidak pada tempatnya untuk menjadikan kejadian ini sebagai komoditas politik untuk menilai keberhasilan ataupun kegagalan suatu penguasa. Tanpa kerja bersama, maka persoalan banjir tidak pernah bisa selesai karena air banjir pun memiliki “filosofis” yang sama, yakni senantiasa memanfaatkan apa pun yang lebih rendah untuk dilewatinya. Dengan demikian, menghadapi banjir harus ada pemahaman seirama antar-stakeholder .
Ekologis
Menurut Soemarwoto (1997), alam tidak biasa membuat aksi terhadap manusia. Justru manusia yang memulai tindakan tertentu terhadap alam dan berakibat sesuai perlakuan sebelumnya. Hal demikian erat kaitannya dengan hubungan timbal balik makhluk (khususnya manusia) dengan lingkungan sekitarnya. Bila demikian halnya, fungsi perizinan menjadi penting untuk dievaluasi agar dapat menyeleksi aktivitas yang dilakukan pihak pengembang. Bahkan, secara holistis perlu dianalisis agar dampak penting yang bersifat negatif menjadi minimal.
Dalam kaitan di atas, pemerintah merupakan superbody yang bertugas mengatur setiap aktivitas manusia yang ada di wilayahnya. Melalui kebijakan pusat yang dirujuk pemerintahan di bawahnya, perilaku manusia di dalamnya harus patuh terhadap kebijakan yang memayunginya. Hanya, kebijakan sering kali dianggap menghalangi sehingga “patut” ditinjau agar langkah salah yang dibuat bisa mulus. Dalam kaitan tersebut, fenomena banjir agaknya menjadi pelajaran penting untuk disikapi agar dapat menyelamatkan ekologi agar kenyamanan hidup bersama terjaga.
Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagai salah satu syarat perizinan agaknya berperan penting untuk mengalkulasi boleh-tidaknya suatu aktivitas pembangunan dilakukan. Dengan demikian, tidak boleh amdal ditempatkan sebagai syarat administratif, namun mestinya menjadi syarat teknis agar izin tidak dikeluarkan sebelum jelas hasil amdalnya. Sayangnya, persyaratan tersebut berposisi sebagai persyaratan administratif yang proses perizinan dapat berlanjut karena, seakan-akan hasil amdalnya membolehkan pembangunan terus berlanjut. Dampaknya, korban pun berjatuhan akibat bencana yang disebabkan kecerobohan tersebut.
Boleh jadi hal di atas diwarnai oleh sejumlah kebutuhan banyak pihak. Oknum pengusaha merasa telah bermodal untuk berinvestasi, oknum pejabat pemerintahan pun merasa perlu mendapat “PAD”, dan oknum warga tertentu pun merasa butuh penghasilan. Padahal, kerugian yang ditimbulkannya jauh melebihi pendapatan yang diterimanya. Tidak berlebihan jika sejumlah oknum mempelajari kebijakan yang ada di peraturan pasal per pasalnya untuk dicarikan kelemahan dan celah untuk dimanfaatkan. Melalui penemuan celah tersebut, semangat sesatnya disusupkan agar kepentingan bisa diloloskan.
ABCGM
Bisa jadi bencana terjadi karena perbuatan yang tanpa sengaja ataupun disengaja. Kerusakan alam sebagai penyebabnya timbul karena pemahaman yang tidak sama dari seluruh pemangku kepentingan. Tidak berlebihan bila akademisi, bisnis, community, government, dan media (ABCGM) memiliki pemahaman dan persepsi yang sama atas bencana. Kesamaan tersebut menjadi bekal untuk ditularkan filosofinya kepada seluruh stakeholders yang ada. Oleh sebab itu, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota terlebih dahulu harus menjadi satu kesatuan pemahaman terhadap seluruh persoalan, termasuk penyebab bencana.
Dalam kondisi seperti di atas, akademisi harus tampil dengan pertimbangan akademiknya yang jernih, logis, dan filosofis agar mudah dipahami semua pihak. Demikian halnya nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan harus digali oleh agamawan dan pemuka adat serta tokoh masyarakat, agar secara tuntas dipahami esensi dasar bila suatu perbuatan dilakukan. Pemahaman yang sama dari komunitas itu sendiri dapat menguatkan pengamalannya dalam menyikapi setiap kegiatan pembangunan. Dalam konteks inilah, pemerintah bertugas mengawal agar tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun dalam mengelola alam.
Pembangunan yang ramah lingkungan menjadi aktivitas yang harus dikawal bersama oleh seluruh pihak. Kebijakan yang mengatur peruntukan ruang pun tidak diperdebatkan dengan tujuan untuk dipakai memenuhi kebutuhan pemilik modal, namun ditafsirkan prinsip dasarnya dan dicoba disempurnakan bersama isinya. Dengan demikian, penggundulan hutan, pencemaran sungai, pembakaran lahan menjadi praktik yang dapat dihindari.
Dengan sinergitas yang dibangun kelima unsur di atas, seluruh pihak yang mencoba membisikkan hal yang salah dapat dieliminasi bersama sekaligus dibuat penyadaran. Dengan mengutamakan kemaslahatan untuk semua, perbedaan pemahaman harus dirembukkan agar ketika menukik pada suatu persoalan ditemukan kesamaan paham. Jika hal demikian dapat diupayakan, persengketaan, keraguan atas integritas petinggi negeri, dan juga di daerah, bisa berkurang sehingga harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dicapai dan terus ditingkatkan.
Dari kasus banjir yang sedang dialami banyak pihak, semoga dapat dipetik hikmahnya untuk kehidupan yang lebih baik ke depan demi anak-cucu. Bila tidak maka bencana buatan tetap mewarnai kehidupan ini dengan segala bentuk dan manifestasinya.
Semoga tidak ada lagi bencana buatan yang terjadi karena manusia mempermainkan alam!
(pur)