PP ISNU Nilai Sasaran Omnibus Law Terlalu Luas

Rabu, 26 Februari 2020 - 09:37 WIB
PP ISNU Nilai Sasaran Omnibus Law Terlalu Luas
PP ISNU Nilai Sasaran Omnibus Law Terlalu Luas
A A A
JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) mengkritik Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja karena sasarannya terlalu luas hingga ke wilayah pendidikan. Sementara tujuan Omnibus Law hanya tiga, yaitu investasi, debirokratisasi, dan ketenagakerjaan.

"Draf RUU Cipta Kerja Omnibus Law menurutnya menyasar terlalu banyak aspek seperti pendidikan. Menurutnya, ini tidak tepat tujuan, sasaran, dan instrumen,” kata Ketua Umum PP ISNU Ali Masykur Musa dalam diskusi “RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Ke Mana dan Buat Apa?” di Jakarta kemarin.

Aturan soal pendidikan masuk pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja bagian keempat tentang penyederhanaan perizinan berusaha sektor serta kemudahan dan persyaratan investasi paragraf 1 umum Pasal 27 huruf K tentang pendidikan dan kebudayaan.

Menurut Ali, apabila pengaturan ketenagakerjaan juga menyasar pada dunia pendidikan, maka akan mendatangkan persoalan baru, khususnya pada lembaga pendidikan yang berada di lingkungan NU. "Ini mungkin tidak seksi, tapi buat NU, ini berhubungan langsung," katanya.

Sementara satu di antara kekuatan NU, sambungnya, adalah dalam ranah pendidikan, baik formal maupun informal seperti pesantren. Karena itu, NU juga perlu mencermati isi RUU tersebut. Selain itu, masuknya pendidikan pada RUU tersebut juga tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab mencerdaskan rakyatnya. Hal itu sebagaimana tertera pada UUD 1945 Pasal 31.

Menurut dia, apabila pendidikan nanti diarahkan pada pengaturan usaha, maka akan muncul komersialisasi pendidikan yang ujungnya pendidikan dikuasai oleh pemilik modal. "Jadi, nanti perguruan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan bisa dikuasai oleh pemilik modal. Jadi, menurut saya, RUU ini menyasarnya itu terlalu luas, dan ini tidak tepat," jelasnya.

Lebih lanjut dia mendorong pemerintah melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat soal Omnibus Law. Rencana pemerintah menyederhanakan secara drastis berbagai regulasi melalui sebuah undang-undang yang mengatur suatu hal besar tersebut tidak boleh diputuskan tanpa melalui kajian yang matang dan mendalam.

"Sosialisasi ke masyarakat secara masif diperlukan sebelum Omnibus Law diundangkan. Masyarakat perlu tahu apa kelebihan dan kekurangan penyederhanaan berbagai regulasi tersebut," kata Ali.

Dia mengapresiasi Omnibus Law sebagai upaya pemerintah untuk penguatan perekonomian Indonesia. Tapi, sebelum itu dibahas dan diberlakukan, dia menilai perlu sosialisasi secara intensif.

Menurutnya, sejauh ini gagasan Omnibus Law telah menimbulkan polemik di masyarakat. "Berbagai pandangan para pakar dan ahli perlu kita dengarkan sebelum Omnibus Law itu diberlakukan," tambahnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy Kholid Syeirazi juga mengkritisi RUU Cipta Kerja yang disebutnya sebagai karpet merah bagi investasi. Menurutnya, dalam draf RUU Cipta Kerja terkait sektor ESDM, pemerintah akan menambah insentif berupa pengenaan royalti sebesar 0% dan perpanjangan jangka waktu usaha tambang hingga seumur tambang bagi pelaku usaha yang melakukan hilirisasi. "Tanpa menghitung ulang keseluruhan proses bisnis dan efek bergandanya, kebijakan pemerintah bisa melanggengkan oligarki dan memperparah ketimpangan," kata Kholid.

Dia melihat Omnibus Law Cipta Kerja akan menjadi resentralisasi kewenangan oleh pemerintah pusat untuk membongkar seluruh hambatan investasi. Dalam bidang pertambangan minerba, wewenang penerbitan IUP oleh kepala daerah dipotong, diambil alih oleh pusat dengan perizinan berusaha. Dalam risetnya dia melihat perizinan berusaha di sektor pertambangan migas hanya berlaku untuk BUMN yang masih belum dijelaskan.

"Apakah dengan Pertamina sebagai holding BUMN energi atau SKK Migas yang dirombak statusnya, ataukah BUMN yang sama sekali baru,” tegasnya.

Dia mengatakan, draf RUU Cipta Kerja sektor migas tidak menerjemahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara tepat. Skema pengusaha masih tidak jelas menganut pola business to business (B2B) sebagaimana dimandatkan MK atau membuka peluang government to business (G2B) seperti yang berlaku sekarang. "Kebutuhan investasi memang untuk menggenjot pertumbuhan, tetapi tidak boleh ada anak emas yang diberikan beragam fasilitas dan proteksi," pungkasnya. (Hafid Fuad)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5012 seconds (0.1#10.140)