RUU Cipta Kerja, Masih Belum Banyak yang Sepakat

Rabu, 26 Februari 2020 - 07:15 WIB
RUU Cipta Kerja, Masih Belum Banyak yang Sepakat
RUU Cipta Kerja, Masih Belum Banyak yang Sepakat
A A A
SEJAK draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dua pekan lalu, pro-kontra mengenai isi draft RUU tersebut pun mengemuka. Pasal-pasal kontroversi dibahas setiap hari hampir di semua platform media, termasuk media sosial (medsos).
Hampir semua kalangan, mulai dari pejabat negara, pebisnis, pakar hukum, akademisi, hingga buruh ikut menyuarakan aspirasinya. Tak terkecuali Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menyikapi riuhnya debat pro-kontra RUU ini, Presiden Jokowi malah memberikan apresiasi.
Menurutnya, pemerintah memang menunggu masukan dari masyarakat mengenai draft RUU Cipta Kerja yang kini tengah dibahas di DPR. “Justru itu yang ditunggu,” ujar Presiden, Kamis pekan lalu. Sedianya, Jokowi menargetkan RUU Cipta Kerja ini selesai dibahas dalam 100 hari kerja. Namun, tampaknya target itu tidak bisa dicapai. Presiden pun memperkirakan pembahasan RUU setebal 1.028 halaman ini akan rampung empat hingga lima bulan mendatang.

Naskah RUU Cipta Kerja yang sering juga disebut omnibus law tersebut terdiri dari 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal. Secara umum, omnibus law adalah peraturan sapu jagat berisikan aturan-aturan yang mengatur banyak aspek. RUU Cipta Kerja sendiri merupakan omnibus law yang berorientasi pada percepatan investasi dan perluasan lapangan pekerjaan. Ruang lingkup RUU ini terdiri dari sepuluh bidang, yaitu investasi, ketenagakerjaan, UMKM dan perkoperasian, kemudahan usaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, kawasan ekonomi, percepatan strategis nasional, administrasi pemerintahan, serta sanksi.

Dari silang pendapat antara pro dan kontra isi draft RUU ini, ada beberapa poin yang perlu dicermati. Bagi yang pro, RUU ini merupakan solusi untuk menggusur undang-undang (UU) atau peraturan yang menghambat arus investasi, baik di daerah maupun pusat. Sebagaimana nama dari RUU ini, aturan yang ada di dalamnya diyakini mampu mendorong terciptanya lapangan kerja, mendongkrak efisiensi, meningkatkan investasi, dan lebih memberdayakan UMKM. Mereka yang kontra menganggap RUU ini merugikan buruh. RUU ini juga dianggap terlalu sentralistis, mengabaikan kelestarian lingkungan, dan merusak keseimbangan tentang hak paten.

Dalam RUU ini, juga ada pasal-pasal kontroversial. Salah satunya polemik menyangkut Pasal 170 Ayat (1). Pasal ini secara terstruktur menyatakan pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengubah UU melalui peraturan pemerintah (PP). Kontan saja aturan nyeleneh di pasal ini pun ramai diperbincangkan publik.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (MenkoPolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa kemungkinan penempatan Pasal 170 dalam RUU Cipta Kerja disebabkan oleh adanya salah ketik. “Kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan peraturan presiden (perpres), itu tidak bisa.
Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak seperti demikian,” ujar Mahfud. Ditambahkan oleh Mahfud, karena masih berbentuk draft terbuka, artinya masih terbuka untuk direvisi. Masyarakat bisa memantau, memberi masukan, dan ikut memperbaiki RUU Cipta Kerja ini.

Presiden Jokowi juga angkat bicara mengenai kontroversi Pasal 170 ini. Menurutnya, mengganti UU melalui PP adalah sesuatu yang tak dimungkinkan. “Itu tidak mungkin. Selama ini, pemerintah bersama DPR selalu terbuka,” jelas Presiden.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly. PP memang tidak boleh membatalkan UU. Apa yang tertulis dalam draft RUU Cipta Kerja Pasal 170 memang suatu kesalahan ketik. Pernyataan yang disampaikan oleh MenkoPolhukam dan Menkumham mengindikasikan RUU ini dibuat oleh pemerintah dengan tergesa-gesa.

Yasonna Laoly menjelaskan bahwa alasan pemerintah ngebut untuk membahas omnibus law adalah demi mempercepat implementasi reformasi birokrasi. Selain itu, pemerintah juga ingin segera menggenjot investasi guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Selama ini, banyak UU yang dibuat tumpang tindih. Artinya, antara satu UU dan UU lainnya tidak sinkron. Tumpang tindih aturan ini berakibat daya saing Indonesia di mata investor, khususnya investor asing, jadi lemah. Buktinya, banyak pabrik yang tadinya berdiri di Indonesia direlokasi ke negara tetangga, Vietnam.

UU yang saling bertentangan ini jumlahnya sangat banyak. Itu semua mesti dirapikan. Menkumham memperkirakan jumlahnya ada sekitar 80 UU. Jika dilakukan dengan cara biasa, yakni membuat UU pengganti, tentu akan memakan waktu yang lama. Sebagai gambaran, pada periode 2014–2019, pemerintah dan DPR hanya sanggup menyelesaikan sekitar 50 UU saja. Estimasinya, jika dilakukan dengan cara biasa hingga periode pemerintahan sekarang berakhir (2019–2024), proses merapikan semua UU yang saling bertentangan itu tak akan rampung. “Itulah perlunya pemerintah membuat omnibus law,” kata Yasonna.

Kriteria UKM Berubah

Soal tudingan RUU ini cenderung sentralistis dibantah Menkumham. Ia menegaskan peran pemerintah daerah (pemda) tak dihilangkan meski ada omnibus law, khususnya pada RUU Cipta Kerja. “Ada yang mengatakan peran pemda akan hilang, pemda kehilangan power, itu bohong!" tegas Yasonna. Ia mengatakan pemda dapat memanfaatkan momentum ini untuk membuat peraturan yang kondusif dan mampu mendatangkan lapangan kerja.

Pemerintah pusat tetap memberi ruang bagi pemda untuk menerbitkan izin investasi di daerah. Hanya saja, akan ada tenggat waktu yang diberikan. Jika pemda tidak mampu menyelesaikan aturan-aturan tersebut tepat waktu, pemerintah pusat melalui kementerian terkait akan mengambil alih.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan pemerintah membentuk RUU Cipta Kerja salah satunya karena selama ini produktivitas pekerja dalam negeri kurang maksimal. Rendahnya kualitas produktivitas tenaga kerja dalam negeri dianggap para pelaku usaha tak sebanding dengan peningkatan upah minimum yang terus naik setiap tahunnya.

Salah satu keluhan datang dari perusahaan asal Jepang. Berdasarkan rilis survei terbaru dari Japan External Trade Organization (JETRO) terkait kondisi bisnis perusahaan Jepang di Asia dan Oceania, dinyatakan bahwa sebanyak 55,8% perusahaan menyatakan ketidakpuasannya terhadap produktivitas tenaga kerja Indonesia bila dibandingkan dengan upah minimum yang dibayarkan.

Pendapat berbeda disampaikan oleh para pekerja. Sebut saja misalnya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, sedikitnya ada sembilan poin dalam RUU Cipta Kerja yang merugikan pekerja (buruh). Pertama, terkait upah minimum dan pesangon yang hilang. PHK pun jadi sangat mudah dilakukan.Lalu, karyawan dapat dikontrak seumur hidup, begitu pula dengan outsourcing bisa dilakukan seumur hidup. Jam kerja dinilai eksploitatif. Tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar dan unskilled worker berpotensi bebas masuk ke Indonesia. Adapun persoalan lainnya adalah hilangnya jaminan sosial serta hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar aturan perburuhan.

Hal menarik lainnya yang terdapat dalam RUU ini adalah upaya untuk memudahkan, melindungi, serta memberdayakan UMKM dan koperasi. Pada Pasal 94 RUU Cipta Kerja, UU tentang UMKM dinyatakan diubah. Pasal 6 dalam UU UMKM yang mengatur kategori golongan usaha berdasarkan besaran nominal kekayaan bersih dan hasil penjualan diubah. Ada penambahan indikator untuk penggolongan jenis usaha, yaitu indikator nilai investasi dan jumlah tenaga kerja sehingga tidak ada lagi jumlah batasan nominal dalam draf perubahan. Sementara, koperasi di RUU ini didorong menjadi garda depan dalam menarik investasi di Indonesia.

Menurut Direktur Utama Perum Jamkrindo Randi Anto, adanya perubahan dari cara menggolongkan UKM yang termuat dalam RUU Cipta Kerja menjadi peluang bagi perusahaan yang dipimpinnya. “Meski demikian, kami masih terus memantau perkembangannya. Toh, masih dalam bentuk RUU. Belum ketok palu,” ujar Randi.

Dirinya sependapat bahwa kriteria untuk menggolongkan UKM memang harus diperbaharui. Kriteria yang ada saat ini masih mengacu pada aturan yang dikeluarkan pada 2008 silam. Saat ini, kondisi bisnis sudah jauh berbeda. Diakui olehnya bahwa Perum Jamkrindo kadang sulit menentukan apakah sebuah usaha disebut UKM. Pasalnya, ada pengusaha yang memiliki banyak unit usaha UKM, bahkan lebih dari tiga. Apakah pengusaha seperti ini masih layak disebut pengusaha UKM?

Ada juga pengusaha yang membuka usaha UKM, tetapi menempati rumah atau bangunan megah. Randi Anto juga sepakat bahwa bila RUU ini disetujui, UKM akan cepat naik kelas. Percepatan inilah yang diyakini menjadi salah satu indikator bertambahnya lapangan kerja dan makin derasnya arus investasi yang masuk. (Eko Edhi Caroko)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5798 seconds (0.1#10.140)