Perempuan yang Berdaya adalah Kunci Kemajuan Indonesia

Senin, 24 Februari 2020 - 17:06 WIB
Perempuan yang Berdaya adalah Kunci Kemajuan Indonesia
Perempuan yang Berdaya adalah Kunci Kemajuan Indonesia
A A A
JAKARTA - Komunitas Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang dikenal juga dengan FHUI Empowerment berkolaborasi dengan Jurnal Perempuan menggelar diskusi bertema ‘Perempuan dan Keadilan di Indonesia’ di Jakarta, Minggu (23/2/2020).

Diskusi ini digelar untuk meningkatkan kesadaran bersama bahwa kesetaraan gender merupakan hal penting yang menjadi kunci kemajuan suatu bangsa.

Salah satu Pendiri Komunitas FHUI Empowerment sekaligus moderator acara, Melli Darsa menyampaikan keadilan untuk perempuan di Indonesia saat ini masih jauh dari harapan. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu syarat penting dalam mewujudkan kemajuan Indonesia.

“Semua negara maju itu pasti karena perempuannya berdaya. Berdaya secara politik, ekonomi, dan lainnya,” ujar Melli.

Lebih lanjut, wanita yang juga adalah pendiri firma hukum Melli Darsa & Co (anggota jaringan global PriceWaterhouse Coopers) itu mengatakan bahwa kesetaraan gender harus menjadi fokus pemerintah dalam menyongsong dan mewujudkan Indonesia emas yang bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045.

Melli berharap diskusi ini dapat meningkatkan kesadaran bersama bagi pemerintah, khususnya bagi legislatif sehingga dapat melahirkan produk legislasi yang benar-benar mampu memberikan rasa keadilan untuk kaum perempuan.

“Keadilan untuk perempuan itu penting walau faktanya keterwakilan itu masih rendah, karena Indonesia tidak mungkin maju jika perempuannya tidak berdaya,” ucap Melli.

Sependapat dengan Melli, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa bentuk perlindungan terhadap perempuan dapat diwujudkan dengan cara membukakan mereka ruang sepenuhnya untuk mengungkapkan aspirasi, kreativitas, serta hak berkembang dan beraktualisasi, sama seperti halnya laki-laki.

“Melindungi perempuan bukan dengan cara menyingkirkan atau menempatkannya sebagai manusia lemah. Kita membutuhkan ‘lahan yang subur’ untuk membangun kesetaraan gender,” kata Atnike.

Sementara itu, menurut Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, wajah demokrasi Indonesia sesungguhnya telah menunjukkan kesetaraan gender pasca Undang-undang Pemilu mewajibkan partai politik untuk mengusung minimal 30% calon legislatif perempuan.

Seperti diketahui, pada 2019 aturan tersebut turut mendongkrak jumlah legislator perempuan di DPR menjadi 117 anggota, di mana pada 2014 hanya berjumlah 97 anggota. Permasalahannya, lanjut Bivitri, muncul pertanyaan apakah peningkatan jumlah legislator perempuan yang ada benar-benar mampu memberikan dampak pada produk legislasi yang adil bagi perempuan.

“Peningkatan jumlah anggota DPR perempuan ini kadang hanya sekadar angka. Karena ada anggota DPR perempuan yang tidak paham soal gender. Contoh konkretnya adalah RUU Ketahanan Keluarga,” ujar Bivitri.

Senada dengan Bivitri, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta menuturkan, dalam hukum pidana sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan jika dibedah, hukum pidana Indonesia justru lebih melindungi perempuan dibandingkan laki-laki.

“Dalam hukum pidana perempuan dan laki-laki tidak dibedakan. Perempuan lebih dilindungi dan dengan kemampuan persuasif yang dimiliki, perempuan justru lebih efektif pada kampanye pencegahan, misalnya seperti pencegahan korupsi,” kata Gandjar.

Di ujung diskusi, Pengajar Kajian Filsafat dan Feminis, Rocky Gerung mengungkapkan hingga saat ini fakta menunjukkan jika perempuan masih sering diposisikan lebih rendah dari laki-laki. Bahkan dalam banyak produk hukum, terang Rocky, masih lebih diutamakan kepentingan laki-laki dibandingkan perempuan.

“Padahal Indonesia didirikan atas kesetaraan gender. Tapi ada kultur yang memicu patriarki mengeksploitasi perempuan,” pungkas Rocky.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5093 seconds (0.1#10.140)