Reshuffle Kabinet Jadi Momen Pertaruhan Kewibawaan Presiden Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Reshuffle kabinet jilid I di periode kedua Pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin dinilai menjadi momen pertaruhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadikan pemerintahan yang kuat. Hal ini dipandang menjadi pertaruhan kewibawaan presiden (dignity).
"Jangan sampai presiden tertuduh tidak piawai dan mahir sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan gara-gara pembantunya dalam hal ini adalah menteri yang tidak becus dan tak bisa diandalkan kecuali hanya berhasil membuat kebisingan di ruang publik dan memancing kontroversial supaya terkenal," ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago ketika dihubungi SINDOnews, Sabtu (22/2/2020). (Baca juga: Pengamat Nilai Reshuffle Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin Sangat Mungkin Terjadi )
Menurutnya, yang penting bagaimana menteri punya kapasitas, punya narasi dan terobosan bahkan bisa menyerahkan target ke presiden, bukan presiden yang memberi target. "Dan menteri harus siap direshuffle apabila tidak becus bekerja sebagai pembantu presiden," ucapnya.
Namun, kata Pangi, jauh lebih penting Jokowi memilih tidak hanya soal sebatas memenuhi representasi partai, ormas, profesional, tim sukses dan relawan, namun benar-benar mewujudkan kabinet ahli. Sosok menteri yang dipilih memang ahli di bidangnya.
"Kalau tidak tunggu saja kehancuran. Menteri yang bisa bekerja cepat, disiplin, mau bersabar, laten terhadap kerja-kerja teknis dan detail, mampu mengimbangi kerja cepat presiden, punya terobosan dan narasi besar memajukan bangsa dan negara," jelasnya.
Pangi menilai tantangan Jokowi sangat berat dalam hal reshuffle kabinet. Dengan kata lain, salah merekrut menteri baru maka sama saja bunuh diri bagi Pemerintahan Jokowi.
"Jokowi harus penuh ke 'hati-hatian' dalam merekrut pembantunya, sudah saatnya Pemerintahan Jokowi periode kedua ini lebih fokus pada kinerja ketimbang citra untuk dapat meninggalkan legacy yang dapat dikenang dan menjadi sejarah di kemudian hari," tuturnya.
Karena itu, lanjut Analis Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, semangat demokrasi deleberatif penting dalam memilih. Memilih menteri harus dengan semangat penuh kehati-hatian. "Jangan an-sich mengakomodir, merepresentasikan kepentingan politik bagi-bagi kue kekuasaan semata," ucapnya.
Dia menambahkan jangan sampai nanti karena salah memilih menteri, Jokowi disibukkan dengan reshuffle berkali-kali. Gonta-ganti menteri berkali-kali dinilai dapat memperlambat akselarasi kerja kementerian itu sendiri karena menteri baru harus beradaptasi kembali dan mulai dari nol lagi. (Baca juga: Juru Bicara Presiden: Tidak Ada Rencana Reshuffle Kabinet )
"Jadi, reshuffle harus punya korelasi linear terhadap peningkatan kinerja Kabinet Jokowi, sehingga masyarakat puas dengan kinerja presiden, menteri sukses maka presiden juga otomaticly sukses menjalankan mandat amanat rakyat," tutupnya.
"Jangan sampai presiden tertuduh tidak piawai dan mahir sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan gara-gara pembantunya dalam hal ini adalah menteri yang tidak becus dan tak bisa diandalkan kecuali hanya berhasil membuat kebisingan di ruang publik dan memancing kontroversial supaya terkenal," ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago ketika dihubungi SINDOnews, Sabtu (22/2/2020). (Baca juga: Pengamat Nilai Reshuffle Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin Sangat Mungkin Terjadi )
Menurutnya, yang penting bagaimana menteri punya kapasitas, punya narasi dan terobosan bahkan bisa menyerahkan target ke presiden, bukan presiden yang memberi target. "Dan menteri harus siap direshuffle apabila tidak becus bekerja sebagai pembantu presiden," ucapnya.
Namun, kata Pangi, jauh lebih penting Jokowi memilih tidak hanya soal sebatas memenuhi representasi partai, ormas, profesional, tim sukses dan relawan, namun benar-benar mewujudkan kabinet ahli. Sosok menteri yang dipilih memang ahli di bidangnya.
"Kalau tidak tunggu saja kehancuran. Menteri yang bisa bekerja cepat, disiplin, mau bersabar, laten terhadap kerja-kerja teknis dan detail, mampu mengimbangi kerja cepat presiden, punya terobosan dan narasi besar memajukan bangsa dan negara," jelasnya.
Pangi menilai tantangan Jokowi sangat berat dalam hal reshuffle kabinet. Dengan kata lain, salah merekrut menteri baru maka sama saja bunuh diri bagi Pemerintahan Jokowi.
"Jokowi harus penuh ke 'hati-hatian' dalam merekrut pembantunya, sudah saatnya Pemerintahan Jokowi periode kedua ini lebih fokus pada kinerja ketimbang citra untuk dapat meninggalkan legacy yang dapat dikenang dan menjadi sejarah di kemudian hari," tuturnya.
Karena itu, lanjut Analis Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, semangat demokrasi deleberatif penting dalam memilih. Memilih menteri harus dengan semangat penuh kehati-hatian. "Jangan an-sich mengakomodir, merepresentasikan kepentingan politik bagi-bagi kue kekuasaan semata," ucapnya.
Dia menambahkan jangan sampai nanti karena salah memilih menteri, Jokowi disibukkan dengan reshuffle berkali-kali. Gonta-ganti menteri berkali-kali dinilai dapat memperlambat akselarasi kerja kementerian itu sendiri karena menteri baru harus beradaptasi kembali dan mulai dari nol lagi. (Baca juga: Juru Bicara Presiden: Tidak Ada Rencana Reshuffle Kabinet )
"Jadi, reshuffle harus punya korelasi linear terhadap peningkatan kinerja Kabinet Jokowi, sehingga masyarakat puas dengan kinerja presiden, menteri sukses maka presiden juga otomaticly sukses menjalankan mandat amanat rakyat," tutupnya.
(kri)