Mencermati Menguatnya Dukungan AHY untuk Demokrat

Sabtu, 22 Februari 2020 - 06:57 WIB
Mencermati Menguatnya Dukungan AHY untuk Demokrat
Mencermati Menguatnya Dukungan AHY untuk Demokrat
A A A
Ahmad Khoirul Umam
Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina

SUKSESI kepemimpinan Partai Demokrat (PD) yang akan dihelat pada Mei mendatang menarik untuk dicermati. Tidak hanya karena munculnya isyarat politik Ketum DPP PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Presiden RI ke-6 untuk "mandito ratu", tetapi juga karena hal itu berpotensi mengubah efektivitas mesin mantan partai penguasa (2004-2014). Bangkitnya PD berpotensi mengubah dinamika politik nasional pada Pemilu-pemilu mendatang.

Pada Pemilu 2004, PD mengawali debutnya dengan 7% suara nasional. Kemudian, Pemilu 2009 menjadi puncak kejayaan PD dengan mendapatkan suara 20,85%, sebagai hasil efek ekor jas (coat-tail effect) dari tingginya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY periode pertama (2004-2009).

Tapi setelah SBY purna tugas, PD dihadapkan pada tantangan tidak adanya figur utama dalam konstalasi Pilpres 2014 dan 2019. Sehingga perolehan suaranya melorot hingga 10% pada Pemilu 2014 dan 7,7% pada Pemilu 2019.

Mengapa Dukungan AHY Menguat?
Di antara banyak nama kader muda PD, patut diakui bahwa nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) termasuk yang paling leading dan mendapatkan dukungan merata dari jajaran kader dan pengurus di daerah.

Tampaknya, menguatnya nama AHY itu menjadi pilihan rasional PD untuk menjaga efektivitas mesin politik dan elektabilitas partai di Pemilu-pemilu mendatang. Pilihan rasional itu didasarkan pada beberapa faktor.

Pertama, AHY secara konsisten telah menjadi simbol representasi tokoh PD di hampir semua survei kepemimpinan nasional, baik dengan skema pertanyaan terbuka maupun tertutup dalam instrumen survei yang digunakan. Realitas politik itu bisa dikapitalisasi oleh PD, sebab hadirnya figur sentral dalam struktur organisasi partai politik akan memudahkan partainya untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik, menghindari potensi faksionalisme, dan konflik internal akibat kompetisi kepemimpinan internal, sebagaimana yang terjadi di Partai Amanat Nasional (PAN) beberapa waktu lalu.

Kedua, safari politik yang dilakukan AHY ke sejumlah daerah, tidak hanya berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan konsolidasi internal partai, tetapi juga meraup dukungan yang genuine dari jajaran struktur pengurus PD di daerah.

Proses natural itu tercermin dari materi-materi dokumentasi dan pemberitaan seputar perjalanan AHY yang langsung diikuti dengan penyataan dukungan secara terbuka pada rencana kandidasi AHY sebagai caketum DPP PD. Artinya, ada pertemuan visi, misi dan cara pandang terkait penataan ulang mesin politik PD.

Ketiga, hadirnya AHY sebagai Ketum PD berpotensi meningkatkan political engagement dengan kelompok pemilih milenial yang diprediksi akan terus bertambah jumlahnya seiring menguatnya fenomena bonus demografi hingga tahun 2030 mendatang.

Di saat partai-partai politik lain masih mempertahankan status quo dengan mempertahankan stok pemimpin-pemimpin lama yang rata-rata sudah berumur di atas 60 atau bahkan 70 tahun. Misalnya Megawati di PDIP, Surya Paloh di Partai Nasdem, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, dan lainnya.

Terlebih lagi, merujuk pada hasil temuan Litbang Kompas (Mei 2019) yang menyatakan bahwa dari angka 7,7% perolehan PD pada Pemilu 2019 lalu, sekitar 50% didominasi pemilih muda milenial. Artinya, jika memang PD ingin mengembalikan efektivitas mesin politiknya, PD harus berani berinovasi dengan memunculkan "kepemimpinan baru" yang lebih fresh, gesit, adaptif dan mampu menjawab tantangan transformasi PD.Langkah-langkah inovatif itu akan berpotensi berimplikasi langsung pada elektabilitas PD. Tetapi, semua itu kembali kepada para pimpinan DPC, DPD dan juga restu dari SBY.
Restu SBY selaku patron utama dalam struktur kekuatan PD akan tetap memiliki bobot politik yang sangat besar dalam kelancaran proses regenerasi kepemimpinan PD ke depan. Jika restu politik itu diberikan, PD bisa menghindari friksi dan potensi konflik internal sebagaimana yang terjadi di Partai Golkar, PAN, Hanura, dan lainnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6013 seconds (0.1#10.140)