PR Pascakebijakan Nonrepatriasi WNI Eks ISIS

Selasa, 18 Februari 2020 - 07:21 WIB
PR Pascakebijakan Nonrepatriasi WNI Eks ISIS
PR Pascakebijakan Nonrepatriasi WNI Eks ISIS
A A A
Nuri Widiastuti Veronika
Mahasiswa Phd di Gender, Peace, and Security Center (Monash GPS), Monash University, Australia

KEJATUHAN ISIS pada 2017, terbunuhnya Abu Bakar Al Bagdadi pada 29 Oktober 2019, dan hancurnya Desa Baghouz sebagai benteng terakhir pertahanan ISIS, selain menimbulkan kelegaan atas runtuhnya satu organisasi teroris global, juga telah menimbulkan masalah serius akibat banyaknya foreign terrorist fighters (FTF) dan simpatisannya yang jumlahnya mencapai ribuan orang.

Isu ini kembali menjadi perbincangan hangat selama beberapa pekan terakhir setelah viralnya video simpatisan ISIS dari Indonesia yang mengharap untuk dipulangkan ke Indonesia. Satu di antaranya video BBC News tentang Nada Fedulla, yang sambil menyeka air matanya, menyatakan ingin kembali ke Indonesia karena keputusan ayahnya untuk bergabung dengan ISIS telah merenggut mimpinya untuk menjadi dokter.

Nada adalah satu di antara perempuan dari 502 perempuan dan anak-anak yang saat ini tinggal di kamp-kamp di Al Hol, Al Roj, dan Ain Issa, yang nasibnya tergantung dari keputusan politis negara untuk memulangkan mereka atau tidak. Keberadaan mereka di sana adalah bagian dari gelombang migrasi (hijrah) WNI ke wilayah ISIS pada 2015 sampai 2017.

Tentu tidak semua yang ingin menjadi bagian dari khilafah sukses masuk ke Suriah karena pada 2017, dari total 4.957 militan asing yang tertangkap oleh otoritas Turki, 435 di antaranya berasal dari Indonesia serta sudah dipulangkan. Pada 2018 pemerintah memulangkan 18 orang WNI yang sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak. Pada 2019 terdapat dua perempuan Indonesia yang berhasil merepatriasi diri ke Indonesia dan langsung berhadapan dengan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme.

Kontroversi pemulangan simpatisan ISIS mendapat titik terang saat pemerintah memutuskan tidak akan memulangkan FTF yang berasal dari Indonesia sejumlah 689, untuk melindungi kepentingan 267 juta warga Indonesia dari ancaman yang akan muncul dari pemulangan mereka. Meski demikian, pemerintah masih mempertimbangkan terkait repatriasi anak-anak, khususnya yang usianya di bawah 10 tahun.

Pekerjaan Rumah

Meskipun keputusan untuk tidak memulangkan FTF menimbulkan kelegaan bagi masyarakat Indonesia, bukan berarti ancaman keamanan terhenti. Karena itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia setelah mengeluarkan kebijakan nonrepatriasi para FTF tersebut.

Pertama , memperkuat infrastruktur pertahanan keamanan perbatasan Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 13.466 pulau dengan 111 pulau kecil terluar yang perlu dijaga dengan ketat. Pemerintah perlu mempersiapkan infrastruktur perbatasan yang memadai seperti sistem monitoring perlintasan manusia berbasis TI (security ports ) untuk mencegah masuknya "rembesan" FTF tersebut ke Indonesia.

Penyediaan sistem pengamanan di pulau terluar membutuhkan peran aktif dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, dan Polri yang terus berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sehingga dapat meminimalkan aksi balas dendam yang mungkin dilakukan oleh eks WNI eks ISIS. Rencana pemerintah untuk membentuk tiga Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) yang berkedudukan di Tanjung Pinang, Balikpapan, dan Biak dapat disinergikan dengan upaya penyiapan sistem keimigrasian di pulau-pulau terluar Indonesia.

Kedua , perlu ada peninjauan kembali atas kebijakan bebas visa sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2016 yang diterapkan Indonesia kepada 169 negara. Dengan penutupan beberapa kamp pengungsian di Turki dan penjara-penjaraSyrian Democratic Force (SDF) yang tidak mampu lagi mengatasi tahanan ISIS setelah AS menarik pasukannya pada 2019, kemungkinan besar para tahanan FTF serta simpatisan ISIS di kamp yang melarikan diri atau sengaja dilepas dapat menggunakan segala cara termasuk mendapatkan identitas palsu dari negara-negara di sekitar untuk masuk kembali ke Indonesia dengan menggunakan kebijakan bebas visa.

Kebijakan bebas visa yang diterapkan sejak Maret 2016 untuk menggenjot wisatawan asing ke Indonesia ternyata menimbulkan efek negatif berupa masuknya tenaga kerja ilegal dan kejahatan lintas negara seperti terorisme, narkoba, dan pedofilia. Tanpa evaluasi atas kebijakan ini, tentunya Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Imigrasi), BIN, Densus 88, dan BNPT harus bekerja ekstrakeras untuk menangkal masuknya FTF ke Indonesia.

Ketiga , sangat urgen untuk mengantisipasi membaurnya para eks WNI ISIS dengan para buruh migran Indonesia (BMI) ilegal yang meminta pemutihan kepada KBRI di negara-negara di kawasan Timur Tengah untuk dapat kembali ke Indonesia. Masih adanya praktik "Umrah Sandal" yaitu melakukan ibadah umrah, namun kemudian membuang paspor dan visa umrah untuk menjadi TKI ilegal di negara-negara Timur Tengah dapat memberi kesempatan bagi para FTF yang juga sama-sama tidak memiliki paspor untuk juga meminta pemulangan dari KBRI setempat.

Selain itu, potensi kembalinya para FTF ke Indonesia dapat terjadi melalui diaspora masyarakat Indonesia yang berada di Timur Tengah. Menurut data dari Indonesia Diaspora Network (IDN), Timur Tengah merupakan kawasan dengan diaspora Indonesia terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Malaysia yang totalnya mencapai 4 juta orang di seluruh dunia. Tidak menutup kemungkinan para FTF tersebut dapat mendekati anggota diaspora masyarakat Indonesia di Timur Tengah untuk mendapat keanggotaan dan kemudian akses kembali pulang ke Tanah Air.

Meskipun tidak akan memulangkan mereka, Pemerintah Indonesia tetap perlu melakukan identifikasi kepada para FTF ISIS yang berasal dari Indonesia. Kementerian Luar Negeri beserta jajaran intelijen lintas kementerian seperti BIN, Densus 88, BNPT, dan Bais TNI perlu bekerja sama dengan jaringan intelijen internasional dan negara-negara yang memiliki akses ke penjara-penjara dan kamp-kamp ISIS untuk melakukan upaya identifikasi tersebut dan mendapat data-data yang penting sebagai dasar pembuatan kebijakan preventif di masa depan.

Legal Formal Status Kewarganegaraan

Satu di antara hal yang perlu menjadi perhatian adalah terkait status kewarganegaraan. Sebagaimana diketahui, Indonesia tidak menganut status tanpa kewarganegaraan (apatride ) dan dwikewarganegaraan (bipatride ) sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kewarganegaraan. Dengan mengeluarkan kebijakan nonrepatriasi, Pemerintah Indonesia kemungkinan akan berhadapan dengan kritikan dari dunia internasional, penggiat HAM nasional maupun internasional karena kebijakannya menyebabkan orang menjadistateless sehingga bertentangan dengan Konvensi PBB 1961 tentang Upaya Pengurangan Tanpa Kewarganegaraan (1961 UN Convention on Reduction of Statelessness).

Karena itu, penting untuk segera membakukan kebijakan ini dalam bentuk peraturan formal yang menyatakan bahwa kebijakan nonrepatriasi merupakan upaya untuk melindungi hak asasi 267 juta masyarakat Indonesia dari ancaman aksi-aksi terorisme.

Dilema pemulangan simpatisan ISIS mungkin telah berakhir dengan ketok palu nonrepatriasi, namun masih ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia. Hal ini karena kebijakan untuk tidak memulangkan semakin memberikan alasan untuk membenci Pemerintah Indonesia. Kebijakan yang dibarengi dengan persiapan yang matang tentu akan mengurangi dampak dan risiko di masa depan.

Apabila eks simpatisan ISIS yang terdata dan sudah pernah mengikuti program deradikalisasi saja kembali mengulangi perbuatan mereka, contohnya suami-istri yang mengebom gereja di Jolo (Rullie Rian dan Ulfah Andayani) dan Agus Prianto anggota JAD Purwakarta yang merencanakan aksi penyerangan polisi, bayangkan betapa berbahayanya para FTF yang mampu menembus batas NKRI tanpa terdeteksi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.5050 seconds (0.1#10.140)