Bahaya, 26% Publik Tak Percaya Sistem Demokrasi

Minggu, 16 Februari 2020 - 19:55 WIB
Bahaya, 26% Publik Tak Percaya Sistem Demokrasi
Bahaya, 26% Publik Tak Percaya Sistem Demokrasi
A A A
JAKARTA - Tingkat ketidakpuasan publik Indonesia terhadap sistem demokrasi ternyata cukup tinggi mencapai 26,1%. Angka tersebut dinilai berbahaya meskipun tingkat kepuasannya juga masih tinggi di angka 68,0%.

Namun, angka kepuasan tersebut ternyata masih lebih baik jika dibandingkan survei Maret 2015, di mana publik yang merasa puas dengan jalannya demokrasi di Indonesia adalah 50,8% sementara yang merasa tidak puas 30,0%. Data tersebut mengacu hasil survei terbaru yang dilakukan Indo Barometer pada Januari 2020.

Dalam survei tersebut diketahui bahwa sebesar 84,0% publik menyatakan setuju bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik. Sebaliknya yang tidak setuju 8,2%. "Dukungan pada demokrasi di survei Januari 2020 ini meningkat jika dibandingkan survei Maret 2015 di mana, publik yang menyatakan setuju bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik 77,3% sementara yang tidak setuju 8,3%," ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari saat merilis hasil survei bertajuk "Evaluasi Publik dan isu-Isu Nasional dalam 100 Hari Jokowi-Amin" di Jakarta, Minggu (16/2/2020).

Dipaparkan Qodari, lima alasan publik puas terhadap jalannya demokrasi di Indonesia di Januari 2020 adalah bebas mengeluarkan pendapat (34,3%), bebas memilih pemimpinnya (26,1%), sudah ada perubahan yang lebih baik (6,3%), sistem demokrasi terlaksana dengan aman (6,1%), dan bebas memilih para wakil rakyat (3,8%).

Sebagai poerbandingan dalam survei Maret 2015, lima alasan publik puas terhadap jalannya demokrasi di Indonesia saat ini adalah adanya kebebasan bersuara (57,5%), demokrasi lebih baik (14,9%), dijalankan sesuai peraturan yang berlaku (4,8%), kerjanya telah terbukti (4,6%), dan tranparansi hukum (3,8%).

Sementara lima alasan publik tidak puas terhadap jalannya demokrasi di Indonesia di Januari 2020 adalah kurang berpihak ke rakyat kecil (30,6%), politik kurang sehat (15,7%), demokrasi berjalan belum sepenuhnya (13,1%), banyak yang korupsi (12,8%), dan keadaan ekonomi yang belum berubah (8,6%).

Bandingkan survei Maret 2015, lima alasan publik tidak puas terhadap jalannya demokrasi di Indonesia adalah buruknya demokrasi (19,2%), korupsi meningkat (13,6%), tidak peduli dengan rakyat (12,8%), banyak konflik (9,4%), dan intimidasi kepada warga (6,9%).

Survei nasional ini dilaksanakan pada 9-15 Januari 2020 dengan metode multistage random sampling dan melibatkan 1.200 responden. Margin of error sebesar 2.83%, pada tingkat kepercayaan 95%.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner. Responden survei adalah warga negara Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih berdasarkan peraturan yang berlaku, yaitu warga yang minimal berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah pada saat survei dilakukan.

Politikus PAN Bima Arya Sugiarto mengatakan, tingkat ketidakpuasan terhadap jalannya demokrasi di Indonesia sebesar 26% ini sebenarnya mengkhawatirkan. Apalagi, salah satu alasannya tidak suka demokrasi paling banyak karena kurang berpihak ke rakyat kecil (30,6%).

"Angka 26% ini sebenarnya menghawatirkan. Apalagi ketika ditanya alasannya karena demokrasi tak berpihak ke rakyat kecil. Ini berbahaya ini. Sebelumnya tak pernah seperti ini. Ini mungkin masih ada bekas-bekas yang sangat dalam (perseteruan) cebong-kampret (sebutan untjuk pendukung fanatik Jokowi-Prabowo dalam Pilpres 2029). Banyak suami istri sudah kepalang cerai (karena beda dukungan politik). Kita syukuri ketika Pak Prabowo bergabung di kabinet," katanya.

Bima yang juga Wali Kota Bogor ini mengatakan jangan sampai pikiran output oriented pembangunan itu mengorbankan sistem demokrasi sehingga mengakibatkan indonesia akan mundur ke masa dimana rezim otoriter yang berperan."Akhir-akhir ini kecenderungan kembalinya watak ororiter ini ada. Contohnya dalam persoalan Omnibus Law. Semangatnya kita tangkap, tapi ketika banyak dijalani ada usulan-usulan aneh."

"Seperti usulan bupati, wali kota bisa dihentikan gubernur. Gubernur bisa dihentikan Mendagri kalau tak mengikuti program prioritas pemerintah pusat. Saya nggak tahu itu draf yang benar atau tidak. Kalau seperti itu enggak nyambung dengan UU Otonomi Daerah. Omnibus Law harus dilakukan dengan sistem partisipatif. Sekarang ini masih agak tertutup. Jangan tergesa-gesa kenapa ditarget 100 hari. Jangan sampai demokrasi dikorbankan karena pertumbangan ekonomi," katanya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7408 seconds (0.1#10.140)