Sengketa Natuna: Kompleksitas Masalah dan Uji Kemampuan Hukum

Jum'at, 17 Januari 2020 - 06:30 WIB
Sengketa Natuna: Kompleksitas Masalah dan Uji Kemampuan Hukum
Sengketa Natuna: Kompleksitas Masalah dan Uji Kemampuan Hukum
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM

Awal tahun 2020 diwarnai lembaran hitam kehidupan berbangsa pada tingkat internasional. Sengketa diplomatik, sengketa hukum, dan sengketa fisik antara China dan Indonesia tak terhindarkan.

Ada jurang permasalahan mendasar di antara dua negara dalam memandang kedaulatan atas Natuna.

Indonesia berpendapat bahwa Natuna secara ekslipisit merupakan bagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Dasarnya adalah United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB 1982.

Inilah dasar hukum internasional dalam penetapan batas ZEE. Suatu hal wajar dan logis karenanya, aktivitas perikanan yang diakukan China di ZEE Indonesia diprotes dan dikategorikan sebagai ilegal, unreported and unregulated (IUU) fishing.

Termasuk ilegal pula klaim kedaulatan dengan penempatan coast guard (penjaga pantai) di perairan Natuna. Protes resmi dan penolakan tegas telah disampaikan kepada Pemerintah China pada Senin (30/12/2019), Selasa (31 Desember 2019) dan Kamis (2/1/2020).

Dalam pada itu China berargumen bahwa klaim historis China atas ZEE Indonesia karena para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan Natuna. Aktivitas tersebut bersifat unilateral.

Menurut Jurubicara Kemeterian Luar Negeri (Kemlu) China, klaim sebagai ZEE Indonesia tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Dengan dasar Nine Dash-Line, China membuat garis yang digambar di peta untuk menunjukkan luas wilayah negara China.

Berdasarkan peta yang dibuatnya itu, wilayah Laut China Selatan - dari Kepulauan Paracel (yang diduduki China tapi diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly (yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam) – diklaim sebagai milik China.

Indonesia, sebagai negara hukum, sudah pas dan selayaknya memprotes dan menyelesaikan sengketa Natuna berdasarkan hukum.

Diharapkan pula negara lain, (utamanya China) juga konsisten, taat, dan patuh terhadap hukum internasional. Bila para pihak (negara) terkait mau bertemu dan menyelesaikan permasalahan berdasarkan hukum internasional (utamanya UNCLOS 1982), boleh jadi kedamaian dan persahabatan antar negara segera kembali terwujud.

Namun demikian, hemat saya, sengketa Natuna sulit disederhanakan sebagai persoalan hukum internasional semata. Dalam sengketa ini terkandung pergulatan antara hukum internasional dan berbagai macam kekuatan lain (baik kekuatan politik, ekonomi, militer, dan lain-lainnya).

Pada sisi lain, sengketa Natuna, bukanlah sengketa biasa, melainkan sengketa luar biasa, sengketa dalam kedaruratan, sengketa yang rawan berkembang menjadi perang antar negara.

Sebagai sengketa yang tergolong extra ordinary, tentu membutuhkan respons atau aksi luar biasa pula untuk penyelesaiannya.

Meminjam istilah Satjipto Rahardjo (2000) perlu langkah-langkah progresif, yakni langkah-langkah non konvensional, keluar dari pakem (out of the box thinking).

Konkritnya, sikap dan tindakan yang perlu dilakukan mencakup: Pertama, pemahaman bersama bahwa UNCLOS 1982 berikut hukum internasional turunannya hanyalah salah satu sarana penegakan hukum.

Teks-teks hukum internasional tidak selalu memberikan kejelasan makna yang mudah disepakati antar pihak bersengketa. Makna teks sangat lentur untuk ditafsirkan sepihak.

Misal, apakah aktivitas China di Natuna bersifat unilateral, ataukah bilateral, ataukah multilateral, berdasarkan UNCLOS 1982 ataukah melanggarnya, sangat rentan ditafsirkan sepihak.

Kedua, Kemlu, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertahanan, dan kementerian lain, beserta ahli-ahli hukum internasional perlu bersinergi, memeras otak, bijak dan berani menjelajahi aspek-aspek lain di luar teks hukum.

Aspek lain dimaksud misalnya: aspek filosofi, aspek historis, aspek politik, aspek kemanusiaan, aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan sebagainya. Pada semua aspek itu tersimpan kekuatan-kekuatan hukum yang dapat didayagunakan untuk mementahkan argumentasi pihak lawan.

Penggalian, pemahaman, dan pemanfaatan semua aspek perlu dilakukan sedari awal, sebelum sengketa dibawa dan disidangkan di Mahkamah Internasional.

Ambil contoh, aspek filosofi. China sejak dulu tidak suka paham kebangsaan (nasionalisme). Paham itu dipandang menggangu keleluasaan China menguasai dunia. Paham yang ditekankannya adalah kemanusiaan (humanisme).

Artinya, manusia manapun boleh menguasai dan mengambil manfaat dari belahan bumi, tanpa ada sekat-sekat bangsa. Dapat dilihat, pada semua negara ada kampong China. Tak puas hanya penguasaan di darat, kini laut pun mulai diklaim sebagai hak-haknya. Nasionalisme ataukah humanisme akan berpengaruh besar dalam penyelesaian sengketa Natuna.

Ketiga, perlu sinergitas semua lembaga negara (bahkan dengan negara-negara lain), didukung keterpaduan sikap dan kekuatan yang dimiliki masing-masing. Berhadapan dengan China sebagai negara besar, perlu semacam skuadron kekuatan fisik dan nonfisik.

Skuadron itu mesti kompak, satu komando, dalam derap langkah terukur. Sikap diplomatik, aksi militer, pendekatan lunak (persahabatan) ataukah pendekatan keras (siap tempur), mesti diramu sebagai strategi utuh dan ditaati bersama.

Ambil contoh: pernyataan Kemenlu RI bahwa “China adalah salah satu mitra strategis Indonesia. Menjadi kewajiban kedua belah pihak untuk terus meningkatkan hubungan yang saling menghormati dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan”.

Pernyataan demikian secara idealistik benar adanya. Namun faktual dalam sengketa Natuna, China adalah benalu kehidupan bangsa Indonesia.

Sikap ekspansifnya perlu dilawan. Meramu dan menyinergikan dua sudut pandang yang berbeda perlu dilakukan dalam rapat internal, tertutup agar tidak ada peluang digoreng menjadi adu domba antar sesama menteri.

Kekompakan merupakan kata kunci keberhasilan. Bukan tidak mungkin, sengketa Natuna sekedar dijadikan China sebagai batu uji melihat kekompakan kabinet Jokowi sekarang.

Boleh jadi, ada manuver-manuver lain telah disiapkan untuk menguasai Indonesia seluruhnya. Segalanya perlu diwaspadai.Wallahu’alam.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3440 seconds (0.1#10.140)