Tanpa Sekat Identitas, Kepemimpinan Harus Dirasakan Seluruh Masyarakat

Rabu, 15 Januari 2020 - 18:09 WIB
Tanpa Sekat Identitas, Kepemimpinan Harus Dirasakan Seluruh Masyarakat
Tanpa Sekat Identitas, Kepemimpinan Harus Dirasakan Seluruh Masyarakat
A A A
JAKARTA - Manusia adalah khalifah di muka bumi yang mengemban amanat dalam memelihara bumi dari kerusakan dan pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan malaikat.

Ketika di bumi terjadi kerusakan yang begitu nyata, darah mengalir di mana-mana, dan lingkungan sosial menjadi tidak harmonis maka manusia harus menyegarkan kembali fungsinya sebagai khalifah.

Setiap diri manusia dinilai sebahai pemimpin yang bertugas dalam memelihara perdamaian untuk mencegah kerusakan di muka bumi.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, seorang khalifah atau pemimpin harus dirasakan oleh seluruh raknyatnya. Tidak memandang identitas agama, bahasa, suku, dan ras. Karenanya, dalam menyongsong kepemimpinan nasional yang mampu mengantarkan Indonesia pada cita-cita kemerdekaan, menghayati nilai-nilai Pancasila dan merefleksikan dalam kebijakan kenegaraan adalah sebuah keharusan.

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Oman Fathurahman menjelaskan dalam tradisi Islam, kata Khalifah mengandung dua makna.

Pertama, khalifah secara umum, yakni manusia sebagai khalifah di muka bumi. Di mana Allah menyebut Nabi Adam sebagai seorang Khalifah yang diturunkan, seperti dijelaskan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 30. Dan yang kedua, Khalifah secara khusus, yakni dimaksudkan dalam konteks pengganti Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama dan negara.

“Dalam sejarah kesultanan di Nusantara, para Sultan banyak yang menggunakan gelar ‘Khalifatullah fil Ardh’ atau Khalifah di muka bumi, yang bisa dianggap mengandung dua arti sekaligus, baik sebagai manusia sempurna (insan kamil) makhluk Tuhan, maupun sebagai Raja, wakil Tuhan untuk mengelola bumi. Apa pun makna khalifah yang dirujuk, jelas misi Tuhan menjadikan manusia atau pemimpin sebagai khalifah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan bagi semesta,” tutur Oman, di Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Kendati demikian seiring dengan perkembangan zaman dan semakin beragamnya kebudayaan manusia, termasuk beragamnya sebutan pemimpin dan sistem pemerintahan, kata dia, khalifah perlu dimaknai secara substantif dalam konteks masing-masing, termasuk dalam konteks Indonesia.

“Makna substatif yang tidak boleh hilang adalah khalifah sebagai pengemban kemaslahatan dan keadilan. Karenanya, semua pemimpin Indonesia harus bisa mewujudkan kemaslahatan dan keadilan itu sebagaimana menjalankan praktik agama juga harus dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan kemaslahatan bernegara,” tutur Oman.

Oleh karena itu, sambung dia, semua pemimpin di negeri ini harus bisa mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dengan jalan dan cara masing-masing. Mengingat bentuk dan sistem pemerintahan di Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, maka setiap pemimpin, dan juga manusia, Indonesia harus memahami pengabdian kepada Negara ini.

"Karena hal itu sebagai bagian pengamalan ajaran agama, sebagaimana menjalankan praktik agama juga harus dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan kemaslahatan bernegara. Inilah sesungguhnya substansi makna khalifah dalam konteks manusia Indonesia,” kata Staf Ahli Menteri Agama bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi ini.

Dia mengungkapkan, sejatinya umat Islam harus mencontoh sikap Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan. Karena bagi umat Islam, Nabi Muhammad Saw adalah uswah hasanah atau teladan yang baik.

“Tetapi, jangan keliru. Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad bukan khalifah (pengganti), dia justru pemimpin yang digantikan oleh para sahabatnya. Nabi Muhammad adalah khalifah dalam konteks sebagai manusia sempurna yang harus diteladani,” ungkapnya.

Namun demikian, Oman mengatakan ketika terjadi kerusakan ataupun pertikaian di bumi dan lingkungan sosial yang tidak harmonis, maka perilaku buruk manusia terhadap semesta tidak berarti menghilangkan statusnya sebagai khalifah di muka bumi. Karena setiap manusia bertanggung jawab terhadap kedamaian di muka bumi.

“Dalam sejarah manusia, juga ada yang berhasil mewujudkan kemaslahatan yang disimbolkan oleh Habil. Lalu ada juga yang gagal, yang disimbolkan oleh Qabil. Tugas kita semua untuk terus memperbaiki agar amanah Tuhan kepada kita sebagai khalifah, dapat kita emban dengan baik, jangan mengkhianati-Nya dengan merusak semesta,” tutur Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Sebagai warga negara Indonesia dan umat beragama yang baik, kata dia, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan menghormati sesama. Apalagi para pendiri bangsa ini juga terdiri atas wakil kelompok agama yang sangat beragam di Indonesia, yang mana mereka sudah sepakat untuk menjalankan ajaran agama masing-masing di bawah sistem pemerintahan yang disepakati, yakni Pancasila dan UUD 1945.

“Tindakan apa pun dengan mengatasnamakan agama yang berdampak rusaknya tata nilai kemanusiaan atau bertujuan untuk merusak kesepakatan bersama sebagai sebuah bangsa, itu sama artinya tidak menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi,” peraih Doktoral bidang Filologi dari Universitas Indonesia ini.

Oleh karena itu, sambung dia, cara pandang keagamaan moderat perlu dikedepankan, yakni cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan yang lebih menekankan pada substansi ajaran, tidak ekstrem, tidak berlebih-lebihan

Oleh karena itu, anggota The Islamic Manuscript Association (TIMA), di Cambridge University, Inggris ini mengatakan cara paling efektif mengajak masyarakat untuk menangkal ideologi lain yang bertentangan prinsip NKRI adalah memberikan contoh dengan berbuat adil dan wujudkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Sesungguhnya kan lima sila dalam Pancasila sudah merepresentasikan keseluruhan nilai kekhalifahan yang disebut dalam teks-teks agama, khususnya Alquran. Kalau Pancasila itu bisa diwujudkan secara paripurna oleh para pemimpin kita, saya yakin tidak akan ada lagi pemikiran untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8645 seconds (0.1#10.140)