PDIP Merasa Jadi Korban Framing Politik dalam Kasus Komisioner KPU

Selasa, 14 Januari 2020 - 18:53 WIB
PDIP Merasa Jadi Korban Framing Politik dalam Kasus Komisioner KPU
PDIP Merasa Jadi Korban Framing Politik dalam Kasus Komisioner KPU
A A A
JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merasa menjadi korban framing politik atas kasus yang menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Politikus PDIP, Andreas Hugo Pareira mengatakan, ada informasi salah yang diembuskan oknum tertentu dan disebarkan kepada media. Terkait penangkapan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, kata Andreas, PDIP mendukung proses hukumnya berjalan sesuai aturan. (Baca juga: DKPP Tetap Lanjutkan Sidang Kode Etik Wahyu Setiawan Meski Sudah Mundur)

"Namun, kami tidak akan menolerir jika ada pihak tertentu yang mendiskreditkan PDI Perjuangan dengan menggiring opini seolah-olah Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto terlibat dalam perkara Wahyu Setiawan. Dalam konteks saat ini, PDI Perjuangan adalah korban dari framing politik tersebut," ujar Andreas, Selasa (14/1/2020). (Baca juga: Jawaban Ketua KPK Soal Isu Hasto Kristiyanto Akan Ditangkap)

Dia membeberkan, salah satu contoh kejahatan framing yang merugikan PDIP adalah berita investigasi dan opini Tempo edisi 13-19 Januari 2020. 'Di dalamnya dimuat rangkaian cerita ngawur, seolah pada 8 Januari 2020 Harun Masiku menuju Gedung PTIK di Jalan Tirtayasa, dan di sana konon sudah menunggu Hasto Kristianto," katanya. (Baca juga; Hasto Sebut Ada Upaya Framing Dirinya Menerima Uang)

Legislator asal daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) I mengatakan karena fakta sesungguhnya, informasi dari pihak imigrasi, Harun Masiku sudah keluar dari Indonesia menuju Singapura pada 6 Januari 2020. Dia melanjutkan, pihak imigrasi juga menyatakan belum ada catatan bahwa Harun Masiku telah kembali pada 8 Januari atau sampai hari ini.

"Dalam majalah yang sama, diberitakan juga dalam gelar perkara KPK tidak dibahas peran Hasto, tetapi pada bagian lain diberitakan seolah Hasto sudah menjadi target operasi dan kantor partainya akan digeledah," tutur Anggota Komisi X DPR RI ini.

Lebih lanjut dia mengatakan, Tempo sama sekali tidak mengulas, mengapa peran Hasto Kristiyanto tidak dibahas dalam gelar perkara, tetapi ada penyelidik yang memaksa datang dan ingin menggeledah kantor partai. Dia menambahkan, keinginan penyelidik KPK menggeledah kantor partai akhirnya ditolak karena tidak memiliki alasan dan prosedur jelas, dan tidak ada surat tugas. "Tempo pun secara detail mengulas kronologi gelar perkara yang seharusnya merupakan informasi yang dikecualikan dalam UU Nomor 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik," paparnya.

Dia menjelaskan UU Nomor 14/2008 pasal 17 Tentang Informasi yang dikecualikan dalam Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 17 UU itu huruf a menyebutkan bahwa Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, mengungkapkan informan, pelapor, saksi, dan / atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana.

"Ketiga, data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan segala bentuk kejahatan transnasional. Keempat, membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya. Kelima, membahayakan keamanan peralatan, sarana dan lain sebagainya atau prasarana penegak hukum," katanya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1335 seconds (0.1#10.140)