Tantangan Pangan Jokowi-Ma’ruf

Sabtu, 21 Desember 2019 - 08:01 WIB
Tantangan Pangan Jokowi-Ma’ruf
Tantangan Pangan Jokowi-Ma’ruf
A A A
Rusli Abdulah
Peneliti Center of Food, Energy and SDGs-INDEF
INDONESIA dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa membutuhkan asupan pangan setiap
hari. Asupan tersebut harus konsisten, berkelanjutan, dan dipastikan kebutuhan
meningkat setiap tahun. Berdasarkan pada fakta tersebut, setidaknya terdapat enam tantangan bidang pangan secara umum yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi-
Ma’ruf yang bisa berujung pada pengendalian inflasi pangan.

Keenam tantangan tersebut yakni pembenahan data pangan, sumber daya manusia di
sektor pangan, perubahan iklim, kelembagaan, pergeseran permintaan pangan dari
sumber karbohidrat ke nonkarbohidrat, dan konsolidasi lahan.Tantangan pertama, ketersediaan data pangan. Validitas data pangan penting
dibutuhkan dalam membuat kebijakan data pangan yang tepat. Data pangan yang
simpang siur menjadikan kebijakan pengendalian inflasi pangan tidak efektif.
Ketidakjelasan data antara data produksi, ketersediaan, dan kebutuhannya akan
menjadikan pemerintah kesulitan untuk melakukan intervensi, terutama pada komoditas
sembilan bahan pokok. Setidaknya hal tersebut telah terjadi dan memunculkan polemik
impor beras pada 2018 lalu.Kegaduhan tersebut memunculkan dua kutub pandangan. Menteri pertanian bersikukuh
bahwa produksi beras aman. Namun, di sisi lain, menteri perdagangan menyatakan
dibutuhkan impor beras di tengah gejolak harga beras yang semakin tinggi. Akhirnya,
impor beras dilakukan dengan besaran 2,25 juta, tertinggi sejak tahun 2000.

Petani Milenial
Persoalan kedua yang harus dihadapi pemerintahan baru adalah mencari
petani milenial. Data Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa petani berusia kurang
dari 35 tahun porsinya sedikit, hanya 12%. Sementara petani dengan usia lebih dari 45
tahun jumlahnya 60%. Fakta ini merupakan hal krusial yang perlu segera diatasi agar
ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian yang diiringi upah yang terjangkau bisa
diatasi.

Persoalan ketiga adalah perubahan iklim yang menjadi faktor eksogen sektor pertanian
di mana kita harus lebih banyak beradaptasi dengannya. Adaptasi ini tentu tidaklah
murah, karena harus dibarengi dengan beragam riset terkait penemuan bibit unggul dan
teknologi pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim.Perubahan iklim juga mengancam ketersediaan kalori dan nutrisi bagi anak-anak.
Laporan International Food Policy Research Institute (IFRPI) bertajuk Climate Change
Impact on Agriculture and Costs of Adaptation yang terbit 10 tahun lalu menyatakan
dibutuhkan tambahan investasi USD7,1 hingga USD7,3 miliar untuk meningkatkan dan
menjaga asupan kalori bagi kesehatan anak-anak pada 2050. Pertambahan investasi
tersebut ditujukan untuk menggantikan dan mencegah dampak perubahan iklim
terhadap output hasil panen pertanian.Berdamai dengan perubahan iklim tidak hanya kerja Kementerian Pertanian
sebagai leading sector di bidang pangan, tapi juga kerja dengan stakeholder lain
semisal Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofifikan (BMKG), Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Lembaga Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (LIPI) dan swasta dalam menghasilkan teknologi pertanian yang adaptif
terhadap perubahan iklim. Menteri pertanian baru harus sangat terbuka untuk
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain agar solusi akan perubahan iklim dan
juga permasalahan lain, bisa didapat dengan komprehensif.Persoalan keempat yakni kelembagaan yang terwujud dalam bentuk konsolidasi
antarkementerian/lembaga. Menyambung poin ketiga tersebut di atas, Kementan harus
berkonsolidasi dengan kementerian/lembaga lain, terutama Kementerian Perdagangan
dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Perdagangan untuk urusan distribusi
dalam negeri dan ekspor/impor, sedangkan kementerian perindustrian untuk urusan
bagaimana mengembangkan agroindustri dalam negeri.Tantangan kelima, pergeseran permintaan pangan dari sumber karbohidrat ke
nonkarbohidrat. Pergeseran ini akan berdampak pada pergeseran sumber inflasi dari
inflasi karbohidrat (beras) ke inflasi protein (telur, daging ayam ,daging sapi, dan produk
holtikultura). Pergeseran ini seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat
(terutama kelas menengah).Contoh sederhananya adalah ketika kita menjadi mahasiswa. Bagi kebanyakan
mahasiswa, utilitas dalam mengonsumsi makanan bagi penulis adalah kenyang. Seiring
dengan penghasilan yang dimiliki pascasekolah atau kuliah, pola konsumsi akan
berubah dengan menambah varian nonkarbohidrat.

Konsolidasi Lahan
Konsolidasi lahan menjadi tantangan keenam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sawah di
Indonesia kebanyakan berupa petak kecil-kecil berukuran < 0,5 hektare (ha). Alhasil, masing-masing petak cenderung memiliki fungsi produksi yang berbeda-beda. Adanya perbedaan fungsi produksi yang berbeda maka hasil setiap petak-petak kecil berbeda-beda dan bisa berada pada hasil yang tidak optimal.

Contohnya sebagai berikut. Terdapat lima petak sawah ukuran < 0,5 ha. Masing-masing
petak dikuasai petani yang berbeda. Masing-masing petani memiliki intensi yang
berbeda dalam merawat sawahnya (ada lima fungsi produksi). Petani pertama, ketiga,
dan kelima rajin dalam mengelola lahan. Di sisi lain petani kedua dan keempat tidak
rajin dalam mengelola lahan. Hal ini akan memberikan hasil berbeda antarpetak sawah
ganjil dengan petak sawah genap.Apabila kelima petak sawah tersebut digabungkan menjadi satu dan diolah dalam satu
supervisi petani/kelompok tani, hanya akan ada satu fungsi produksi dengan luas lahan
yang lebih luas. Alhasil, panen dari gabungan sawah tersebut bisa optimal. Konsolidasi
lahan seperti ini memungkinkan mekanisasi pertanian lebih efektif.
Solusi untuk beragam tantangan tersebut di atas adalah: pertama, pembentukan pokjadata pangan untuk menghasilkan data pangan yang valid selain data beras yang sudah
ada. Setidaknya pokja pangan bisa menyasar data pangan sembilan bahan
pokok. Kedua, mekanisasi pertanian dalam rangka mengatasi semakin sedikitnya petani
di Indonesia. Mekanisasi ini juga menjadi salah satu alternatif meningkatkan
produktivitas lahan pertanian apabila konsolidasi lahan terlaksana dengan baik.
Mekanisasi juga bisa dibarengi dengan penggunaan teknologi informasi untuk sektorpertanian. Selain efisiensi di sektor pertanian, penggunaan teknologi informasi dalam
bidang pangan setidaknya bisa menggaet generasi milenial untuk lebih banyak
berkontribusi di sektor pertanian. Hal ini didasari pada kenyataan generasi milenial
memiliki ketertarikan besar pada hal-hal yang berbau teknologi informasi.
Ketiga, meningkatkan konsolidasi antarkementerian/lembaga. Konsolidasi ini penting,terutama dalam rangka mengembangkan bagian off-farm dengan industrialisasi dan
distribusi hasil panen yang efektif dan efisien. Keempat, meningkatkan produktivitas
produksi pangan nonkarbohidrat guna mengantisipasi pergeseran pola konsumsi
masyarakat dari yang berat ke karbohidrat ke nonkarbohidrat.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6873 seconds (0.1#10.140)