Kontribusi Gaya Hidup Kota pada Ekonomi

Sabtu, 14 Desember 2019 - 07:15 WIB
Kontribusi Gaya Hidup Kota pada Ekonomi
Kontribusi Gaya Hidup Kota pada Ekonomi
A A A
Tantan HermansahPengajar Sosiologi Perkotaan,

Ketua Program Magister KPI UIN Jakarta,

Sekjen P2MI.

MUNGKIN Prancis dan Italia adalah sedikit negara yang menyadari bahwa sumber daya yang bersumber dari pikiran, tidak habis dikuras dan akan terus memberikan kontribusi signifikan kepada kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya. Lihat saja beragam karya yang dihasilkannya, bukan hanya ikonik, melainkan juga menyampaikan pesan lain yang lebih inti dan murni: peradaban manusia.

Kesadaran mengoptimalkan pengelolaan sumber daya tidak terbatas ini membuahkan hasil nyata. Sebagai contoh: per 2018 saja, Prancis dikunjungi wisatawan mancanegara lebih 90 juta orang, sedangkan Italia lebih dari 60 juta. Jumlah yang signifikan untuk memelihara keberlanjutan kesejahteraan masyarakat.

Prancis dan Italia seperti memiliki pemahaman yang mirip bahwa sebagai manusia, kita tidak membaca Menara Eiffel sebagai bongkahan besi yang disusun menjulang, atau patung-patung kaya Leonardo Da Vinci sebagai pahatan batu saja. Sebab lebih dari itu. produk itu adalah mahakarya pikiran yang dikuras untuk dipersembahkan kepada manusia hari ini. Bahwa kemudian manusia hari ini, terutama pengunjung atau wisatawan hanya memahaminya sebagai destinasi wisata, tidak terlalu penting. Sebab yang utama adalah pesan simbolik mengenai produk pikiran yang mencerminkan kekuatan peradaban.

Jika dulu produk-produk kebudayaan dibuat dan kemudian dipajang, pada fase berikutnya para ahli tidak henti menggali, menguliti, mendalami pesan, bahkan hal-hal yang sifatnya teknikal. Contoh, mengapa lukisan terkenal Monalisa (1503) yang dibuat oleh Leonardo Da Vinci terus-menerus menyedot perhatian, karena produk tersebut tidak pernah dihentikan perbincangannya pada kehidupan. Lukisannya tetap dan itu-itu saja. Tetapi pemaknaan atasnya dibuat berlapis, yang kemudian menghasilkan ketertarikan sendiri.

Mirip juga dengan Italia. Negeri yang mengagungkan dan mengapresiasi karya seni ini akhirnya mendapatkan buah dari proses tersebut. Bukan hanya kunjungan wisatawan, melainkan lebih dari itu. Italia seperti telah menghasilkan suatu “jalan hidup” bagi manusia. Jalan hidup inilah yang kemudian tidak hanya menghasilkan kesejahteraan sosial-ekonomi, tetapi juga menancap menjadi penyangga peradaban.

Prancis dan Italia adalah dua negara yang telah membuktikan hipotesis bahwa gaya hidup itu, jika dibangun dengan kecintaan dan semangat berkeadaban maka akan memberikan dampak signifikan pada kehidupan manusia––minimal masyarakat di negaranya. Lihat mobil-mobil keren produk Italia, yang diciptakan tidak lagi melayani kebutuhan transportasi, tetapi justru menciptakan kebutuhan memenuhi suatu gaya hidup tertentu.

Mereka tidak melihat produk tersebut selalu dari kacamata massal, sebab menciptakan gaya itu justru diawali dengan kerangka asumsi bahwa walaupun jumlahnya sedikit, tetapi posisinya harus berada di puncak. Dengan bahasa sederhana, menghasilkan ekslusivitas.

Begitu pun tas-tas yang diproduksi oleh tangan-tangan hebat di Prancis. Kita semua sepakat bahwa tas Hermes sudah melampaui batas-batas fungsi dasar dari sebuah tas. Ia sudah diangkat “derajat”-nya menjadi simbol sebuah gaya hidup tertentu, merepresentasikan kelas sosial tertentu, dan bahkan menjadi alat menyampaikan pesan dari seseorang kepada yang lain.

Gaya Hidup Kota

Ekslusivitas yang ditransformasikan pada kehidupan inilah yang kurang dieksplorasi di kita. Tentu tidak mesti gaya (seperti orang) kaya selalu, yang mesti ditunjukkan. Bukan hanya mereka yang “tajir melintir” yang perlu disitir, sebab yang disebut gaya hidup bisa berbentuk apa pun yang diproduksi oleh pikiran, yang kemudian dikelola untuk dipasarkan sebagai bagian dari wujud kehidupan.
Gaya hidup orang kota sejatinya menjadi salah satu dasar membangun, mengembangkan, dan mengoptimalisasi kesejahteraan warga kota. Bisa jadi, pola ini juga sebenarnya sama untuk penguatan dan pengembangan masyarakat desa. Kesemua gaya hidup tersebut telah dirangkum secara sederhana menjadi:eating, playing,danshopping.Bagaimana semua strata sosial-budaya ini ditampilkan secara harmonis dalam kehidupan sehari-hari. Ketika harmonisasi itu muncul maka akan terlihat bagaimana setiap entitas bersinergi, berkolaborasi, berbagi, dan akhirnya saling menikmati.

Sebagai contoh, gaya hidup orang berada yang perlu pelayanan maksimal, tentu membutuhkan sumber daya pelayan yang sangat baik dan “mahal”. Namun, pelayanan itu akan sepadan dengan nilai yang dihasilkannya. Begitu juga gaya kelas menengah-bawah. Semua ada porsinya. Gaya hidup tukang ojek, gaya hidup pelajar dan mahasiswa, gaya hidup karyawan atau pengusaha kecil dan menengah, tentu memiliki polanya masing-masing. Inilah yang harus masuk dan terpetakan sehingga semua bisa saling memberikan manfaatkan ke entitas lainnya.

Semua itu menjadi kewajiban dari pemerintah untuk saling mengoneksikannya sehingga seluruh sumber daya itu benar-benar terwadahi dan memberikan manfaat positif bagi kesejahteraan masyarakat banyak, terutama lokal.

Langkah Strategis

Meski gaya hidup merupakan aset tidak terbatas sifatnya baik dari sisi nilai material dan konteksnya, bukan berarti gaya hidup itu tidak bisa diidentifikasi dan dipetakan kualitas dan kuantitasnya. Di sinilah pemerintah harus peka dan memiliki alat yang cukup dan benar untuk memahami bagaimana sebenarnya gaya hidup itu bisa ditransformasikan untuk menghasilkan keuntungan positif bagi kota dan masyarakat kota.
Langkah-langkah strategis perlu dibuat untuk memahami dan menganalisisnya, antara lain:Pertama,pembagian jenis, kelas/kelompok sosial, bentuk gaya hidup ini, serta konteks sosioantropologisnya. Pemetaan ini penting untuk menemukan kualitas dari gaya hidup yang ada, serta kuantitasnya.

Di sini, kita juga bisa menemukan setidaknya dua model: natural danby design. Gaya hidup natural adalah model tindakan dan perilaku masyarakat atau komunitas yang bersumber dari nilai-nilai lama, atau keadaan alam sekitarnya yang menuntut mereka melakukan hal itu; sedangkan gaya hidup yangby designmerupakan bentuk tindakan sosial yang hadir karena adanya faktor eksternal seperti aturan dan sistem baru.

Kedua,setelah langkah pertama dilakukan maka tahap berikutnya adalah mengidentifikasi ruang kosong antara berbagai hal tersebut, sehingga bisa diketahui mana yang kurang dan pada aspek apa kekurangannya itu; serta mana yang lebih atau cukup. Misalnya saat ini sudah diketahui umum bahwa Bandung memiliki sumber daya kreatif yang besar, kuat, dan berpengaruh. Maka semangat dan realitas ini, sejatinya bisa direplikasi ke daerah lain yang memiliki konteks dan kognisi sosial yang sama sehingga Bandung tidak sendirian dalam memainkan peran itu.

Ketiga,agensi. Gaya hidup itu kebanyakan diciptakan. Persoalannya, kita jarang menelaah bahwa di balik proses yang diciptakan itu pasti ada agensinya. Agensi inilah yang kemudian memberikan kontribusi sangat besar pada terciptanya gaya hidup tersebut. Agensi-agensi ini bisa melekat pada komunitas profesional, perguruan tinggi, atau individu penuh talenta yang mampu menjaditrend setterkehidupan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5885 seconds (0.1#10.140)