Subkultur Musik dalam Kacamata Media

Sabtu, 14 Desember 2019 - 06:36 WIB
Subkultur Musik dalam Kacamata Media
Subkultur Musik dalam Kacamata Media
A A A
Abduh Rafif Taufani

Pemerhati Musik, tinggal di Surabaya

KALAU ada yang harus dikomentari dalam praktik media kita sekarang, salah satu yang absen kita bahas adalah bagaimana media tidak hanya menghubungkan berbagai elemen masyarakat, namun juga tentang bagaimana mereka menjauhkan, menggolongkan, dan memberi jarak antara tiap lapisan masyarakat yang hidup dan berkembang.

Media have contributed to temporal-spatial distancing and are increasingly changing the foundations for human action and communication.” (Encheva, Driessens, & Verstraet, 2013).

Dalam kutipan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa selain menyatukan dan menyuarakan berbagai pihak, media juga berperan untuk menggolongkan masyarakat menjadi bagian-bagian kecil. Terbilang lumrah karena sifat dasar manusia haruslah menggolongkan manusia dalam kategori-kategori tertentu. Kita biasa menyebutnya denganstereotip.

Penggolongan ini yang menyebabkan kita memperlakukan tiap masyarakat dengan sikap yang berbeda, mengancam hingga menjelek-jelekkan hanya karena berbeda. Sesungguhnya, perilaku yang kita bedakan untuk beberapa orang adalah hal penting karena tidak seluruh manusia dapat disamaratakan begitu saja. Namun, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana kita menentukan batas sejauh apa perbedaan dapat ditoleransi, atau setidaknya bagaimana kita menolak dengan halus dan dengan cara yang manusiawi.

Indonesia akhir-akhir ini sedang rentan dengan berbagai kasus intoleransi dan hal itu didukung oleh media yang memberitakan kelompok minoritas serta subkultur. Tanpa perlu mengelak, kacamata media tentunya adalah kacamata yang dapat menjadi kacamata dunia. Masyarakat tentunya akan percaya pada apa-apa yang diberitakan oleh media bila dilakukan berkali-kali dengan rumus yang sama pula. Kita ambil subkultur musik keras di Surabaya, media utama seakan absen dengan hadirnya mereka.

Tentunya media besar tetap hadir bila konser musik keras ini sudah memasuki level anarkistis ataupun berlangsung ricuh. Berita-berita seperti ini biasanya dibarengi dengan foto beberapa anak muda yang mengenakan pakaian serbahitam dan dibarengi dengan berbagai kalimat-kalimat merendahkan dan kadang tidak berpihak pada mereka yang tertindas.

Hal ini juga menjadi pro-kontra karena subkulturpunksendiri tidak dapat disamakan dengan mereka-mereka yang menyukai musik keras belaka, tetapi subkulturpunksendiri mempunyai cikal bakal perlawanan dan antikemapanan. Begitu pula sebaliknya, konser musik keras tidak selamanya beraliranpunkbelaka. Di Surabaya, bukan hal baru lagi bahwa kota ini menjadi sarangnya musisihardcore. Dengan berbagai macam musisi dan pecahan aliranhardcoremerajalela, konser mereka bergerak independen. Media arus utama seakan absen dari keberadaan mereka, walaupun mereka termasuk dalam gerakan yang nyata.

Sering kali justru cara mereka menyebarluaskan informasi juga diusung oleh media independen mereka sendiri. Proses redaksi dilakukan secara mandiri dan tanpa dipungut biaya. Media arus utama tentunya tidak dapat dengan mudah mengambil peran dalam penyebarluasan mereka. Bisunya media utama kemudian menjadi bara semangat lahirnya media independen. Pemisahan antara media independen dan arus utama juga berpengaruh pada pendengar musik-musiknya. Sering kali kita dibenturkan oleh masalah selera yang sesungguhnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Dengarkan bila suka, tidak usah didengar bila tidak suka. Semudah itu. Kita terjebak pada permasalahan pelik seperti media apa yang meliput suatu musisi sehingga dia dapat disebut sebagai band sukses.

Tolak ukur kemampuan musik kemudian diukur lagi oleh media mana yang gemar mengutip mereka. Tentunya, apabila berbincang mengenai pasar pendengar maka memilih media memang benar dilakukan. Namun, dampak kultural yang tercapai adalah perdebatan soal selera yang tidak akan pernah bisa disamaratakan. Hal lain juga menjadi pertimbangan antara musik independen dengan musik arus utama. Walaupun hal itu sudah tidak lagi relevan, mengingat banyak pula media dan musik independen yang berperilaku selayaknya media dan musik arus utama.

Ada baiknya kita mengingat bagaimana kedua media juga berperan dalam memecah masyarakatnya. Pemisahan ini tentunya tidak semata-mata dilakukan secara sengaja atau terencana, tetapi karena perhatian media terhadap dampak kultural yang ia timbulkan masih minim. Keseriusan media dalam merepresentasikan subkultur khususnya musisi dengan genre mayoritas keras juga patut dipertanyakan. Jurnalisme musik hari ini masih sarat kritik membangun dan alih-alih mengomentari produk musisi yaitu musiknya, justru media lebih banyak memberikan jenis beritafeature. Poin utama yang harus digarisbawahi adalah dalam masalah selera tidak ada yang benar-benar suci dari saling mengolok-olok dan menggunakan stereotip dalam mengenali satu sama lain.

Para penikmat musik independen masih saja merasa lebih superior dari mereka yang mendengarkan arus utama. Hal sebaliknya juga terjadi. Media dalam hal ini justru mendukung pemisahan jenis musik, itu dibuktikan lewat cara media hadir yang memisahkan diri sebagai independen dan juga media arus utama. Efek penggolongan ini berdampak langsung kepada para pemain musiknya yang secara tidak langsung pasarnya telah diciptakan oleh media.

Maka itu, sikap netral dalam melihat musik sebagai perihal selera harusnya dapat dimengerti baik oleh media maupun pembaca dan pendengar musiknya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5011 seconds (0.1#10.140)