Harga Gas Bumi Proketahanan Energi

Rabu, 11 Desember 2019 - 06:36 WIB
Harga Gas Bumi Proketahanan Energi
Harga Gas Bumi Proketahanan Energi
A A A
Marwan BatubaraDirektur Indonesia Resources Studies (IRESS)
POLEMIK harga gas untuk industri masih terus berlanjut. Pemerintah memang telah menolak atau membekukan permintaan kenaikan harga gas bumi sektor industri yang diajukan perusahaan gas negara (PGN) per September 2019 dan per Oktober 2019. Namun, keputusan pemerintah membekukan harga gas sampai akhir 2019 masih menyisakan kekhawatiran. Pada 2020 bisa saja harga gas naik.

Karena itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan pengusaha yang tergabung dalam Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) telah meminta Presiden Jokowi segera turun tangan menyelesaikan kemelut. Kadin Indonesia dan FIPGB meminta kepastian harga gas bumi untuk 2020-2025 (7/11/2019).

Pada 6 Desember 2019, Asosiasi Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengatakan, harga gas yang berlaku di Jawa Timur USD7,89 per MMBTU, sementara di Jawa Barat USD9,16 per MMBTU. Harga-harga tersebut tertinggi di kawasan regional. Jika harga gas justru dinaikkan, maka pabrik yang berhenti berproduksi akan bertambah dari tujuh buah menjadi sembilan buah. Karena itu, Achmad Wijaya dari Kadin menagih janji Jokowi yang akan menurunkan harga gas.

Presiden Jokowi memang telah meminta Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk menghitung kembali komponen harga gas kebutuhan industri (01/11/2019). Perlu dicari apa saja beban penyebab harga gas bumi terlalu mahal. Arifin Tasrif menyatakan harga gas memang tidak akan naik agar industri nasional bisa lebih kompetitif (31/10/2019).

Pelaksana Tugas Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto telah meminta PGN menjaga profitabilitas dengan melakukan efisiensi, bukan dengan menaikkan harga gas industri (31/10/2019).

Pembatalan kenaikan harga gas tersebut tentu saja kita sambut baik. Kita pun mengapresiasi rencana mengaudit PGN guna memperoleh harga yang objektif, adil, dan menguntungkan semua pihak. Namun, besaran harga gas perlu segera ditetapkan sebelum Januari 2020 sehingga diperoleh kepastian bagi dunia usaha, termasuk bagi BUMN yang harus survive.

Pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Sejalan dengan perpres tersebut, pada 4 Oktober 2016, Presiden Jokowi menginstruksikan harga gas industri turun menjadi USD5-USD6 per MMBTU. Saat itu harga gas di Indonesia USD9-13 per MMBTU.

Ternyata setelah tiga tahun, harga gas industri belum juga turun. Jika dikaitkan dengan usul kenaikan oleh PGN, maka akan menjadi sangat tidak kredibel bila pemerintah justru menaikkan harga lebih besar dari USD8,3 per MMBTU (yang berlaku sekarang) dibanding menurunkan menjadi USD6 per MMBTU sesuai janji.

Namun, batalnya kenaikan harga gas bumi per 1 November 2019 menyebabkan PGN harus menanggung beban subsidi yang seharusnya menjadi tugas pemerintah. Berarti, jika dilihat dari perspektif strategis nasional yang lebih luas, maka menahan harga gas tidak naik pasti mengorbankan PGN.

Harga gas nasional yang tinggi di kawasan Asia Timur saat ini adalah kondisi faktual tak terbantahkan. Per Oktober 2019 harga gas rata-rata di Indonesia USD8,3 per MMBTU, Malaysia USD6 per MMBTU, Thailand USD7,5 per MMBTU, Vietnam USD7,5 per MMBTU, dan China USD8 per MMBTU.

Dalam kondisi pasar terbuka dan liberal, naik-turun harga energi terutama minyak dan gas tentu menjadi faktor sangat berpengaruh terhadap perekonomian dan daya saing industri. Karena itu, pemerintah tidak layak mencari-cari alasan untuk menjustifikasi kenaikan harga gas karena negara-negara lain mampu menawarkan harga lebih murah. Apalagi, Indonesia pun produsen gas. Karena itu, harga gas di Indonesia perlu tetap kompetitif. Namun, kepentingan survival PGN dan peningkatan ketahanan energi pun tidak boleh dilupakan.

Solusi Masalah

Guna memperoleh harga gas bersubsidi yang sekaligus mendukung ketahanan nasional, maka perlu diambil langkah-langkah solutif oleh pemerintah, BUMN atau PGN, dan dunia usaha industri.

Pada sisi pemerintah, langkah terpenting adalah pemberian subsidi tanpa mengorbankan BUMN. Karena sejumlah negara menyubsidi dunia industri demi persaingan global atau regional, Pemerintah Indonesia pun harus melakukan hal yang sama, baik berupa anggaran di APBN, insentif pajak atau pengurangan split dari sektor hulu. Pemerintah pun dapat menurunkan harga gas yang sudah disepakati dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) misalnya pada KKS Blok Corridor (BC) dengan ConocoPhillips (COPI).

KKS BC ditandatangani pada 21 Desember 1983 dengan harga jual gas USD1,85 per MMBTU. Dalam KKS termuat ketentuan bahwa harga gas bukan subject to review dan tidak diindeksasi dengan harga minyak. Artinya, harga gas akan dapat bertahan sampai 2023. Ternyata pada 2004 harga gas tersebut “dibolehkan” naik oleh pemerintah menjadi USD2,6 per MMBTU. Malah 2017 harga naik lagi menjadi USD3,5 per MMBTU (naik USD0,9).

Pemerintah menaikkan harga gas BC dengan alasan rendahnya harga kontrak dalam KKS, kebutuhan insentif bagi investasi di sektor hulu, dan kenaikan harga gas dunia. Dengan kenaikan tersebut, pemerintah dan COPI menikmati tambahan penerimaan cukup signifikan (70%:30%). Tentu saja peningkatan penerimaan negara tersebut disambut baik.

Namun, pada sisi pasokan ke midstream, harga yang harus dibayar PGN meningkat USD0,9 per MMBTU. Sementara pemerintah melarang kenaikan harga jual PGN kepada konsumen. Karena itu, tak heran jika Annual Report 2018 PGN memuat kenaikan biaya operasi sekitar USD120 juta, naik 52% dibanding 2017, terutama karena kenaikan harga beli gas BC.

Pemerintah dan COPI memperoleh tambahan pendapatan karena merujuk harga gas dunia yang naik. Padahal, tren harga gas global tidak selalu naik, tetapi naik dan turun. Bahkan banjir gas global saat ini membuat harga gas turun signifikan. Jika berpikir fair, mestinya pemerintah harus siap menurunkan harga gas BC yang sudah naik tersebut.

Permasalahan yang dihadapi Indonesia guna pengelolaan migas yang fair, kompetitif, transparan, dan berkelanjutan adalah koordinasi, KKN, dan oligarki. Kepentingan oligarki harus dihilangkan seperti terjadi pada penaikan harga gas dan perpanjangan kontrak BC yang merampok hak BUMN. Dugaan ada KKN dalam perpanjangan kontrak BC telah dilaporkan ke KPK pada 25 Juli 2019.

Pada sisi industri pengguna gas, perlu dilakukan reviu menyeluruh atas kontribusi biaya energi/gas terhadap harga pokok penjualan (HPP) atau cost of goods sold (COGS) pada tiap-tiap jenis industri.

Pada sisi BUMN, PGN perlu memberikan informasi tentang pricing dan komponen biaya sesuai peraturan yang berlaku. Di sisi lain, PGN perlu mengompensasi kenaikan harga gas hulu 3%/tahun dan biaya O&M 4,6%/ tahun sejak 2013. PGN pun perlu memperoleh penyesuaian harga guna menjamin pengembalian investasi dan kelangsungan bisnis.

Walau demikian, IRESS menganggap PGN perlu membuka informasi seluruh komponen biaya yang mendasari perhitungan dan kenaikan harga yang diusulkan. Dengan demikian, seperti disebutkan pada sektor industri di atas, akan diperoleh pula COGS objektif gas PGN dalam menyediakan pasokan gas. Karena itu, usul perlunya audit PGN patut dilanjutkan.

Subsidi dan Infrastruktur

Saat ini keterbatasan sarana penerima LNG dan pipa gas membuat kelebihan produksi LNG nasional tidak termanfaatkan bagi kebutuhan energi nasional. Akibat itu, harga LNG harus diobral di pasar spot dan produksi gas pun diturunkan (curtailed). Kepala SKK Migas Dwi Sucipto mengatakan, produksi gas di Bontang, Tangguh, dan Donggi Senoro perlu dikurangi karena harga gas dunia turun di bawah USD4 per MMBTU (24/10/2019). Hal ini jelas akan mengurangi penerimaan APBN.

Penerimaan migas sampai kuartal III/2019 baru USD10,99 miliar atau 62,2% dari target tahun ini sebesar USD17,67 miliar.

Pada saat yang sama impor migas telah berdampak triple defisit: neraca fiskal, neraca perdagangan, dan neraca transaksi berjalan. Kondisi defisit yang telah mendepresiasi rupiah sekitar 29% dalam lima tahun terakhir (USD/Rp=11.000 menjadi USD/Rp=14.200) akan terus berlanjut jika pemerintah abai mengelola sektor energi secara seimbang dengan sektor lain, menerapkan subsidi tidak tepat sasaran, dan terus menjadikan BUMN energi sebagai sapi perah untuk menjalankan agenda politik pencitraan seperti telah dialami oleh Pertamina dan PLN.

Dalam beberapa tahun ke depan produksi gas dari lapangan-lapangan baru seperti Jimbaran Tiung Baru (JTB) on stream pada 2021, Sakakemang (2021), dan Masela (2026) dapat saja tidak dapat termanfaatkan optimal akibat ketiadaan sarana. Jangankan bicara produksi gas lapangan baru, kelebihan LNG saat ini saja tidak dapat diserap akibat keterbatasan infrastruktur.

Apalagi jika BUMN migas terus diamputasi dengan kebijakan salah, termasuk beban subsidi energi/gas yang harusnya menjadi tugas pemerintah, serta minim koordinasi dan sarat pula dengan berbagai kepentingan sempit sehingga gagal membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Maka tak heran jika ketahanan energi nasional akan semakin bermasalah.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7320 seconds (0.1#10.140)