Menyoal Hak Veto untuk Menko

Kamis, 21 November 2019 - 08:30 WIB
Menyoal Hak Veto untuk Menko
Menyoal Hak Veto untuk Menko
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

PADA hari pertama rapat Kabinet Indonesia Maju (KIM), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa menteri harus seirama dalam bekerja. Pada forum tersebut Presiden menyampaikan bahwa dia akan memberi hak veto kepada menteri koordinator (menko). Maksud pemberian hak veto tersebut adalah agar menko memiliki kewenangan dalam mengawasi menteri yang berada dalam jajarannya. Tampaknya, maksud Presiden adalah agar kebijakan yang diterbitkan menteri tidak bertolak belakang satu sama lain sehingga hasilnya kontraproduktif.

Persoalannya saat ini hak veto yang diberikan Presiden kepada menko belum didefinisikan secara jelas, baik batasan, syarat, maupun kondisi penggunaan hak veto tersebut. Konsep pemberian hak veto untuk menko merupakan sebuah terobosan yang dapat bermakna positif. Namun, perlu diingat, sebagaimana diuraikan Lotulung (1993), bahwa setiap kewenangan harus memiliki kualifikasi, batasan, dan syarat dalam penggunaannya. Sebab, jika seorang pejabat negara diberi kewenangan tanpa memberinya batasan yang jelas, itu dapat menciptakan kesewenang-wenangan.

Artinya, hal mendesak bagi Presiden saat ini untuk segera mendefinisikan hak veto yang dimaksud. Jangan sampai penggunaan hak veto justru melahirkan ketidakpastian hukum yang baru. Pengaturan kewenangan harus secara objektif melalui produk hukum agar itu dapat diuji secara konstitusi sekaligus memberikan kepastian hukum.

Alasan lain mengapa kebijakan hak veto perlu dituangkan dalam produk hukum adalah demi menghindari kemungkinan terjadinya subjektivitas dalam penggunaannya. Juga demi menghindari potensi munculnya standar yang berbeda pada masing-masing menko. Jika semangat awal dari pemberian hak veto adalah untuk menciptakan kepastian hukum, maka tidak ada pilihan lain, penggunaannya juga harus diatur dengan produk hukum.

Vice Versa

Presiden Jokowi perlu memperhitungkan kemungkinan yang bisa timbul sebagai akibat dari penggunaan hak veto oleh menko. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yakni terciptanya kondisi yang lebih baik atau malah sebaliknya. Jika konsep hak veto yang dimaksud seperti yang disampaikan Presiden pada saat rapat KIM perdana tersebut, artinya setiap menko akan memiliki kewenangan yang sangat besar.

Mengacu pada penjelasan Hadjon (1987), dalam konsep demokrasi yang menganut sistem check and balances setiap kewenangan pemerintah harus dapat dikontrol dan diawasi. Oleh sebab itu, maka lahirlah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk melengkapi peradilan yang lain (kini dilengkapi juga dengan Mahkamah Konstitusi). Artinya, kebijakan menteri tanpa adanya hak veto pun sebenarnya dapat dibatalkan melalui jalur PTUN atau uji materiil di Mahkamah Agung (MA) karena sifat kebijakan tersebut di bawah undang-undang.

Memang, membatalkan kebijakan menteri melalui jalur hukum juga penuh ketidakpastian, terlebih peradilan di Indonesia belum bersih dari perilaku koruptif. Jika mengacu pada alasan tersebut, maka hak veto menko bisa menjadi terobosan yang positif untuk melindungi masyarakat, utamanya untuk kepentingan percepatan pembangunan. Dengan konsep hak veto yang diuraikan Presiden, maka jika ada kekeliruan kebijakan oleh menteri dapat dikoreksi oleh menko melalui hak veto yang diberikan kepada menteri.

Artinya, dalam hak veto menko ini sebenarnya melekat fungsi koreksi sehingga idealnya nanti menko tidak sekadar menggunakan hak veto yang diberikan, tetapi juga memberi koreksi dan solusi. Dengan demikian, akan meminimalisasi penyimpangan pada penggunaan hak veto karena melekat fungsi korektif.
Dengan begitu, perlu koordinasi yang kuat antarmenko, utamanya bagi yang bidangnya beririsan, seperti menko perekonomian dan menko kemaritiman dan investasi. Jika muncul dua kebijakan veto yang bertentangan dari dua menko, maka tentu akan semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Atas alasan itulah, mengapa lagi-lagi perlu ditegaskan bahwa hak veto mutlak harus diatur melalui aturan hukum.

Korektif

Jika hak veto dimaknai sebagai fungsi korektif, maka persoalannya adalah apakah ukuran kebenaran substansial ada pada menko? Meskipun Presiden Jokowi berpesan bahwa tidak ada visi dan misi menteri, tetapi di sisi lain Presiden juga mengizinkan kabinetnya untuk aktif, baik sebagai ketua maupun pengurus partai politik. Artinya, ada potensi terjadi konflik antara kepentingan substansial dari kebijakan dan kepentingan politis dari sebuah kebijakan.

Pada situasi ini fungsi korektif berpotensi menjadi bias, mengingat belum tentu dalam hal ini menko menggunakan ukuran yang sama dengan menteri. Sebenarnya tugas seorang menko ada pada level harmonisasi dan sinkronisasi mengingat menko melakukan supervisi pada beberapa kementerian/lembaga. Sebaliknya, menteri sesuai nomenklatur yang ada adalah memimpin kementerian sehingga menteri akan lebih menggunakan pendekatan secara substantif dan teknis.

Terakhir, tentu saja dengan kewenangan penggunaan hak veto yang diberikan presiden, maka seorang menko harus bebas dari kepentingan, utamanya bebas dari kepentingan politik praktis. Menjadi sebuah persoalan tersendiri jika menko menggunakan hak vetonya atas nama melakukan fungsi korektif, tetapi sebenarnya di baliknya ada agenda lain yang mendasari penggunaan hak tersebut.

Selain mutlak hak veto harus diatur dengan aturan hukum, Presiden sebagai pemimpin kabinet juga harus mengevaluasi setiap penggunaan hak oleh setiap bawahannya tersebut sehingga nantinya hak veto merupakan terobosan positif yang mempercepat pembangunan dan mengantarkan rakyat pada kesejahteraan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2007 seconds (0.1#10.140)