Menakar Prospek Partai Gelora

Selasa, 19 November 2019 - 07:04 WIB
Menakar Prospek Partai Gelora
Menakar Prospek Partai Gelora
A A A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta

PARTAI Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) resmi dideklarasikan. Mayoritas inisiator dan pendirinya mantan pentolan PKS. Sebut saja misalnya Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfud Siddiq yang menempati posisi kunci struktur partai. Munculnya Gelora menambah daftar panjang partai yang lahir dari rahim konflik internal. Tak berlebihan jika Gelora dituding sebagai PKS "Perjuangan". Sebutan ini terasa satire karena Gelora muncul dari efek kekecewaan terhadap keputusan elite PKS.

Pertanyaan yang selalu mengemuka soal prospek Gelora di tengah persaingan antarpartai yang begitu ketat yakni apakah partai baru ini akan lolos ke Senayan ataukah sebatas penggembira seperti kebanyakan partai baru lainnya? Tentu Gelora tak mau disepelekan sebagai "pelengkap penderita" demokrasi. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diseriusi agar Gelora kompetitif di masa mendatang.

Pertama , figur kunci sebagai magnet politik. Potret pemilih yang masih feodal menjadi alasan mengapa tokoh sentral penting bagi partai politik baru seperti Gelora. Hampir semua partai di negara ini kekuatan dominannya disandarkan pada figur kunci. Pesona figur inheren dengan demokrasi elektoral belakangan ini.

Anis Matta dan Fahri Hamzah figur inti Gelora. Problemnya apakah dua sosok ini bisa dikapitalisasi meraup dukungan yang lebih luas. Sebab, bauran warna PKS masih melekat di wajah mereka yang sangat identik dengan Islam kota. Personalisasi politik Anis dan Fahri turut menentukan Gelora bisa eksis atau tidak di tengah pusaran arus kompetisi politik yang begitu dahsyat.

Kedua , jaringan di seluruh penjuru Nusantara. Tentu saja faktor ini bukan semata untuk keperluan administratif penanda adanya Gelora. Namun, lebih kepada sebagai bentuk dukungan dan kaderisasi berjejaring merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Banyak partai yang basis dukungannya hanya Jawa-sentris atau hanya wilayah tertentu sehingga daya jelajah perjuangan partai menyempit.

Sebagai pendatang baru Gelora menghadapi tantangan memperluas ceruk pemilih multisegmen. Tak mudah memang, butuh ikhtiar serius. Apalagi persaingan merebut pemilih dengan partai lain kian terbuka lebar. Pemilih bak pasar bebas yang menjadi tempat transaksi saling berebut simpati konstituen.

Ketiga, logistik yang memadai. Suka tak suka pemilih kian matre seiring melemahnya budaya politik demokratis. Figur kunci dan jaringan memang penting, namun logistik juga jauh lebih penting. Ironis memang. Tapi inilah realitas politik yang terjadi saat ini. Ada uang ada suara. Sebuah dukungan berbasis logistik, bukan rasionalitas.

Bahkan logistik menjadi faktor penentu elektabilitas partai di tengah kecenderungan pemilih mata duitan. Harus diakui jarak partai dengan pemilih cukup jauh sehingga logistik menjadi alat perekat determinan yang simbiosis mutualistik. Rakyat butuh logistik dan partai butuh dukungan.

Faktor Pembeda

Di tengah kompetisi partai yang begitu ketat, Gelora harus memiliki faktor pembeda dengan partai lain; baik dari segi isu, positioning, branding , maupun pemihakan. Ini penting dilakukan sebagai pengikat memori rakyat untuk lebih dekat dengan Gelora. PKS, misalnya, punya jargon bersih, peduli, dan profesional. PDIP lokus utamanya wong cilik. Perindo dan PSI dengan branding partai anak muda modern. Lalu, apa standing position Gelora sebagai pembeda?

Jika melihat kecenderungannya, Gelora ingin menghilangkan dikotomi politik kanan dan kiri serta menggerus polarisasi Islam dan nasionalis. Secara normatif jargon semacam ini positif. Namun, sebagai jualan politik nyaris tak berbeda dengan partai yang sudah ada. Hampir semua partai mengklaim partai tengah. Tak ada yang ekstrem kanan, apalagi kiri.

Menjadi partai yang menghilangkan sekat Islam dan Nasionalis tentu target ambisius yang pada level implementatif sukar diwujudkan. Buktinya, jajaran elite strategis Gelora tak mencerminkan struktur pelangi yang mengakomodasi ragam warna politik. Posisi ketua umum, wakil ketua, hingga sekjen didominasi satu warna Islam mantan politisi PKS.

Gelora harus punya tagline dan positioning sebagai jualan politik yang bisa direspons positif pasar. Hingga kini Gelora identik dengan PKS. Logo mirip Perindo, sementara sisi orisinalitasnya belum terlihat menonjol—baik dari segi substansi maupun produk politik. Dalam politik, diferensiasi penting untuk memudahkan pemilih mengidentifikasi diri dengan partai tertentu.

Dari segi isu juga perlu pekerjaan serius. Kecenderungan Anis Matta dan Fahri Hamzah yang kerap berbicara isu agama mesti diubah secara gradual. Saatnya bicara yang konkret menyangkut kebutuhan nyata rakyat. Seperti lapangan pekerjaan baru, daya beli meningkat, perbaikan ekonomi, dan seterusnya.

Di luar itu, sosok Fahri menjadi jualan menarik sebagai figur kritis tanpa kompromi. Menyampaikan kebenaran sekalipun tak populer dan kerap dirisak. Di tengah absennya oposisi kehadiran Gelora sebagai partai kritis akan terus dinanti.

Kerja Politik

Cacat bawaan partai pada umumnya ialah absennya kerja politik yang dilakukan secara reguler. Satu kerja politik yang mestinya dilakukan setiap saat guna merekam denyut nadi aspirasi akar rumput. Kerja politik hampir semua partai dijalankan lima tahun sekali, menjelang pemilu saja. Efeknya, rakyat merasa antipati terhadap partai. Kesadaran partisipasi sangat rendah yang ada hanyalah mobilisasi berbasis uang dan logistik.

Kerja politik merupakan kerangka konsep operasional partai untuk mendekatkan diri dengan pemilih sehingga ada dialektika lapangan berbasis kebutuhan rakyat. Bukan kerja utopis tak berjejak. Menyapa suasana hati rakyat wujud nyata kerja politik. Partai kerap abai terhadap persoalan nyata. Fakta inilah yang berimplikasi pada rendahnya seseorang yang mengidentifikasi diri dengan partai tertentu (party ID). Persepsi publik tentang partai politik cukup negatif.

Gelora dihadapkan pada situasi sulit. Satu sisi sebagai partai baru harus berpacu dengan waktu membangun infrastruktur politik seperti membangun jejaring luas di seantero penjuru Tanah Air. Pada saat bersamaan, mesti memulai kerja karena target mengikuti pilkada serentak 2020. Belum lagi soal kebutuhan logistik yang tak murah. Kerja politik partai serupa kombinasi antara kekuatan jaringan struktur, logistik berlimpah, dan susunan batu bata kekuatan menghadapi tantangan elektoral di masa mendatang.

Tanpa itu semua, Gelora hanya akan menjadi partai penggembira. Partai pemanis gincu demokrasi. Sebab, rekam jejak dan korespondensi partai baru gagal lolos ke Senayan cukup banyak. Padahal, partai baru itu terlihat memiliki segalanya untuk lolos ambang batas parlemen. Nyatanya gagal. Fenomena ini tentu menjadi pelecut semangat Gelora untuk lolos dari lobang maut kutukan ambang batas elektoral.

Pada level inilah Gelora melakukan perjudian politik luar biasa, yakni keharusan tampil maksimal sebagai partai baru sekaligus lolos ke Senayan sebagai pembuktian bahwa mereka bukan barisan sakit hati PKS yang bertujuan menggerogoti partai dakwah itu dari dalam. Itulah satu-satunya pembuktian yang perlu dilakukan Gelora. Jika tidak, Gelora akan bernasib sama seperti partai baru pendahulu.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4310 seconds (0.1#10.140)