Brexit dan Peluang Indonesia

Rabu, 16 Oktober 2019 - 15:23 WIB
Brexit dan Peluang Indonesia
Brexit dan Peluang Indonesia
A A A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu

BREXIT with no-deal atau Brexit with deal. Boris Johnson sebagai perdana menteri Inggris baru menunjukkan tekadnya untuk tetap keluar dari Brexit meskipun tanpa kesepakatan (no-deal) dari Uni Eropa. Dalam pidatonya ketika membuka sesi parlemen pada hari Senin pekan lalu Ratu Elizabeth menunjukkan dukungannya pada pilihan Johnson. Jelaslah bahwa rencana Boris Johnson melakukan Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa) meskipun tanpa kesepakatan akan tetap terlaksana.

Gerak-gerik Partai Konservatif juga makin jelas mengarah pada dukungan penuh pada Boris Johnson demi menjaga agar Partai Buruh tidak mengusulkan referendum kedua. Bagaimana menyikapi perkembangan ini?

Inggris memberlakukan kebijakan rollover, yakni kontinuitas perjanjian dengan negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa. Kebijakan ini untuk menghindari kevakuman dan gangguan hubungan perdagangan dengan negara-negara tersebut akibat Brexit.

Sampai 1 Mei 2019 sudah 10 perjanjian rollover yang diselesaikan dengan kesepakatan yang berbeda-beda. Ketakutan terbesar Inggris adalah bahwa Brexit with no-deal akan berujung pada kaburnya investasi dari Inggris menuju negara-negara Eropa lainnya. Utang pemerintah yang tinggi (sekitar 80%) menjadi penghambat fleksibilitas gerak pemerintah dari segi anggaran jangka pendek dan menengah.

Artinya, gerak Indonesia perlu gesit dan sigap. Karena perubahan kontrak perdagangan dengan semua negara yang bekerja sama dengan Inggris, Indonesia bisa saja diuntungkan karena kompetitor kita yang dulunya menikmati tarif rendah lewat Uni Eropa untuk masuk ke pasar Inggris akan kehilangan akses istimewa tersebut.

Tetapi, kesempatan itu bisa hilang bila koordinasi antarkementerian dan respons kelompok bisnis kita tidak sesuai harapan, termasuk juga bila produk-produk kita tidak memenuhi ketentuan yang diminta Inggris.

Dengan Indonesia, hubungan perdagangan selama ini baik. Volume perdagangan dua negara selama 2014-2018 selalu surplus bagi Indonesia meskipun terjadi trenpenurunan. Produk terbesar yang diekspor oleh Indonesia adalah nikel dan turunannya, alas sepatu kulit, alas sepatu tekstil, kayu olahan, produk elektronik, serta agrikultur.

Dengan tanpa deal, Inggris berarti akan mengatur ulang kesepakatan perdagangan dengan negara-negara non-Eropa. Kuncinya adalah gerak cepat untuk mendapatkan posisi diuntungkan untuk memasok kebutuhan Inggris, khususnya barang-barang konsumen seperti alas kaki, olahan kayu, elektronik seperti mesin-mesin cetak dan electric accumulators, serta agrikultur seperti minyak sawit. Inggris adalah negara terbesar di Uni Eropa yang menjadi destinasi ekspor Indonesia.

Ada tiga pendapat yang berbeda terkait dampak no-deal Brexit untuk eksportir Indonesia ke pasar Eropa. Pendapat pertama mengatakan bahwa ekspor Indonesia akan mengalami pengenaan tarif dua kali apabila ingin masuk ke pasar Eropa lewat Inggris. Hal ini menyebabkan harga komoditas juga ikut naik.

Apabila eksportir Indonesia ingin langsung ke pasar Eropa, maka biaya bisa lebih mahal karena tidak efisien. Hal ini juga membuat biaya operasional meningkat karena perlu membangun kantor baru untuk mengelolanya.

Pendapat kedua yang mengatakan bahwa Brexit with no-deal lebih akan memengaruhi ekonomi makro Inggris daripada Indonesia. PDB Inggris akan meredup 1,5% tahun depan apabila no-deal disepakati.

Menurut Bank Sentral Inggris, situasi ini dapat memicu resesi ekonomi Inggris yang lebih buruk jika dibandingkan dengan krisis keuangan pada 2008. UNCTAD melaporkan bahwa Brexit tanpa kesepakatan akan merugikan ekspor Inggris kurang lebih USD16 miliar karena perkiraan hilangnya 7% keseluruhan ekspor Inggris ke pasar UE.

Perubahan itu akan memengaruhi secara berantai ekonomi negara lain, termasuk Indonesia, meskipun tidak terlalu besar karena perdagangan Indonesia dan Inggris tidak sebesar dengan Jerman, Belanda, atau Italia. Perekonomian Indonesia sendiri pertumbuhannya besar ditopang oleh konsumsi domestik sehingga sedikit dampak yang memengaruhi sedikit atau bersifat moderat.

Pendapat ketiga adalah pendapat optimistis bahwa Indonesia justru akan diuntungkan dengan situasi Brexit with no-deal. Pendapat ini berasal dari riset yang dilakukan oleh UNCTAD (2018) yang menghubungkan dan membandingkan perdagangan Inggris dengan negara-negara lain berdasarkan kesepakatan atau perjanjian perdagangan yang berlaku saat ini.

Prinsip perdagangan bebas yang sakral adalah Most Favored Nations (MFN) atau prinsip non-diskriminasi perlakuan perdagangan. Prinsip MFN memastikan bahwa kemudahan ekspor satu sektor yang diberikan salah satu anggota WTO, misalnya Inggris kepada Thailand harus berlaku juga kepada negara lain seperti Indonesia, kecuali terdapat sebuah kesepakatan perdagangan baik bilateral maupun regional dan produk yang diperdagangkan hanya berputar di antara yang bersepakat.

Inggris saat ini menjadi bagian dari lebih dari 80 perjanjian perdagangan UE dan EU’s Generalised Scheme of Preferences (GSP). Skema ini mengizinkan Inggris menikmati misalnya tarif yang rendah untuk mengekspor gula tebu ke pasar negara mitra yang melakukan perjanjian dengan UE dan sebaliknya, negara-negara mitra juga dapat menikmati fasilitas tersebut untuk penetrasi gula tebu ke pasar Eropa, termasuk Inggris.

Negara lain yang tidak terikat perjanjian ini akan terkena tarif MFN atau tarif yang berlaku sama kepada seluruh negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan gula tebu. Semua fasilitas ini akan hilang ketika yang terjadi adalah Brexit with no-deal karena Inggris tidak akan lagi menjadi anggota perjanjian perdagangan UE atau GSP UE.

Negara-negara yang tidak memiliki perjanjian akan diuntungkan dalam Brexit with no-deal karena komoditas mereka akan lebih kompetitif berhadapan dengan negara lain yang saat ini menerima kemudahan fasilitas. Inggris dapat mereplikasi kesepakatan yang sudah ada dengan EU dan kemudian menyepakati keberlanjutan kesepakatan tersebut seperti Swiss, tetapi tidak semua mitra akan diperpanjang misalnya Jepang atau Turki.

Inggris kemungkinan akan menurunkan tarif MFN hingga nol agar mereka juga dapat akan meningkatkan daya saing relatif dan mengurangi keguncangan akibat keluar dari Brexit. Meski demikian, beberapa impor termasuk daging, sepatu, dan mobil akan naik untuk melindungi konstituen mereka.

Negara-negara pengekspor utama dunia misalnya China, Amerika Serikat, atau Jepang yang selama ini terhambat oleh tarif yang tinggi untuk beberapa produk dari EU untuk masuk ke Inggris akan memperoleh keuntungan karena kompetitor mereka akan mengalami perlakuan tarif yang sama. UNCTAD melaporkan bahwa China, AS, dan Jepang adalah tiga negara teratas yang akan menikmati situasi Brexit tanpa kesepakatan.

Peluang Indonesia
Brexit tanpa kesepakatan dalam perspektif optimistis menempatkan sebagian dari negara-negara ASEAN dirugikan dan sebagian lagi diuntungkan. Enam negara anggota ASEAN yang kemungkinan mendapatkan keuntungan terbesar adalah Thailand yang diramalkan akan mendapat keuntungan sebesar USD3,9 miliar dan diikuti oleh Vietnam (USD790 juta), dan Indonesia (USD3,9 juta), Malaysia (USD266 juta), Singapura ( USD168 juta), serta Brunei Darussalam (USD1,5 juta).

Empat negara ASEAN yang akan merugi terbesar adalah Kamboja (USD -159 juta), Filipina (USD -93 juta), Myanmar (USD -35,6 juta), dan Laos (USD -6,5 juta). Thailand mendapatkan keuntungan besar, terutama karena memasok suku cadang kendaraan bermotor dan produk-produk pertanian yang selama ini terhambat tarif yang tinggi dari UE.

Selain itu, Thailand juga mampu mengekspor produk-produk makanan dan perikanan sesuai kualitas yang tinggi ke Eropa dan kemungkinan akan menikmati harga yang semakin kompetitif apabila tarif MFN dapat dikurangi untuk produk makanan dan perikanan.

Indonesia walaupun juga mendapatkan keuntungan masih bersaing dalam produk-produk yang perlu pembenahan lebih lanjut. Contoh adalah industri sepatu. Industri sepatu Indonesia hampir 80% diekspor ke luar negeri, terutama Eropa.

Produk sepatu Indonesia harus menghadapi persaingan dengan China dan Vietnam. Vietnam saat ini menikmati keuntungan karena memiliki EU –Vietnam Free Trade Agreement (EVFTA) yang berjalan sejak 2016. Kesepakatan itu menyatakan bahwa dalam tujuh tahun tarif impor sepatu Vietnam ke Eropa akan secara gradual menurun dari 12,4% menjadi 0%. Hal ini menyebabkan harga sepatu dari Vietnam semakin murah dijual di Eropa.

Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan terkait dengan produk alas kaki dengan Eropa. Produk alas kaki Indonesia masih dikenakan tarif sebesar 11%-14% untuk masuk ke EU.

Hal ini menyebabkan Indonesia hanya menguasai 4% pasar EU, sementara Vietnam dapat mencapai 12%. Data World Integrated Trade Solution menyebutkan bahwa impor alas kaki Inggris pada 2017 didominasi oleh lima negara yaitu China, Italia, Belanda, Vietnam, dan Belgia.

Indonesia ada di urutan kedelapan pengekspor alas kaki ke Inggris setelah Jerman, India, dan Prancis. Apabila Brexit tanpa kesepakatan berlaku, maka produk alas kaki dari negara EU (Belanda, Belgia, Jerman, dan Prancis) mungkin akan jadi lebih mahal karena dikenakan tarif MFN. Situasi itu menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk penetrasi pasar.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4168 seconds (0.1#10.140)