Catat Rekor Muri, Istri Pemacu Suami Kejar Gelar Guru Besar

Selasa, 15 Oktober 2019 - 08:22 WIB
Catat Rekor Muri, Istri Pemacu Suami Kejar Gelar Guru Besar
Catat Rekor Muri, Istri Pemacu Suami Kejar Gelar Guru Besar
A A A
JAKARTA - AULA Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) menjadi saksi kebahagiaan pasangan suami istri Prof Dr dr Valina Singka Subekti, MSi dan Prof Dr dr Imam Subekti, SpPD-KEMD. Keduanya dikukuhkan sebagai guru besar bersamaan pada Sabtu (12/10) lalu.

Prof Imam Subekti dikukuhkan sebagai guru besar ilmu kedokteran, sementara sang istri sebagai guru besar ilmu politik. Di lingkungan civitas academica UI, ini menjadi kolaborasi unik karena baru pertama kali ada dua guru besar suami istri yang dikukuhkan pada saat bersamaan dengan beda disiplin ilmu.

Kepada KORAN SINDO, Valina mengungkapkan rasa bersyukurnya karena apa yang sudah lama diimpikannya akhirnya tercapai. Baginya ini adalah satu kehormatan besar karena dikukuhkan bersama-sama sebagai guru besar di satu universitas yang sangat terhormat seperti UI. “Jadi kami sangat bersyukur dan berterima kasih karena sudah diberi rahmat dan karunia sedemikian rupa bagi kami sekeluarga," ungkap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004–2007 itu.

Valina menceritakan bahwa dirinya dan sang suami sudah lebih dari 30 tahun menjadi dosen di fakultas yang berbeda. Proses untuk mengejar mimpi menjadi guru besar menuai jalan panjang dan berliku hingga sekitar dua tahunan. Valina mengaku terlebih dulu melakukan proses akademik setelah memenuhi persyaratan untuk mengajukan diri sebagai guru besar. Termasuk dengan melakukan publikasi internasional.

Langkah serupa juga dilakukan sang suami. Namun hal itu dijalani dengan mengalir. Dan untuk bisa menjadi guru besar yang dikukuhkan secara bersama-sama, hal itu sebenarnya hanya kebetulan. Surat keputusan dari menteri tentang pengangkatan guru besar awalnya turun untuk dirinya. Satu bulan berikutnya gantian SK menyusul keluar.“Karena bedanya hanya satu bulan, kemudian disampaikan ke UI, Pak rektor, dekan FISIP, dan FK menganjurkan untuk dibarengkan saja. Sebetulnya nggak direncanakan, nggak by design yang ngatur yang di atas, Allah SWT," tutur perempuan kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, 6 Maret 1961 ini.
Diakui Valina, selama berproses untuk mendapatkan gelar guru besar, dirinya bersama sang suami selalu memberikan sokongan satu sama lain meskipun bidang keilmuannya berbeda. Sebagai dosen, keduanya juga berkomitmen menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. “Jadi kami punya komitmen penuh begitu. Ada dorongan saling memotivasi. Kebetulan suami juga sudah lebih dari 30 tahun mengajar dan sudah mencukupi untuk proses guru besar," terangnya.

Dengan panjangnya proses yang harus dilalui, dia mengaku bersyukur ketika pada akhirnya bisa dikukuhkan secara bersama kendati menjadi sebuah tantangan buat karena harus mengemban amanah ini.

Capaian ini, kata Valina, salah satunya didedikasikan untuk kedua orang tuanya yang telah membesarkan dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang, memberikan pendidikan terbaik, dan menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan nilai-nilai yang baik.

Pengukuhan pasutri beda bidang yang pertama secara bersama ini juga tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Kedua profesor ini diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakat dan memberikan kontribusi penting dalam memajukan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan.

Dalam pidato ilmiahnya berjudul “|Kolaborasi dalam Upaya Pencegahan Oftalmopati pada Penyakit Graves”, Prof Imam Subekti mengatakan bahwa oftalmopati graves (OG) akan berdampak buruk dan menurunkan kualitas hidup. OG dapat muncul pada setiap umur dan rasio wanita dibanding pria pada pasien OG berkisar antara 5:1 hingga 10:1. Oleh karena itu perlu terobosan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan kolaborasi tim terpadu antardivisi/departemen di lingkup di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Sementara sang istri Prof Valina Singka Subekti mengusung pidato ilmiah berjudul “Sistem Pemilu dan Penguatan Presidensialisme Pasca-Pemilu Serentak 2019”. Valina mengamati berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menyederhanakan sistem kepartaian melalui rekayasa sistem pemilu sejak 2004.

Dikatakan Valina, sistem multipartai selama 21 tahun era Reformasi dinilai belum memberikan hasil yang signifikan terhadap iklim demokrasi Indonesia. Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017 itu menilai pelaksanaan pemilu selama era Reformasi masih perlu disederhanakan dalam berbagai aspek. Rekayasa sistem kepemiluan disebut Valina harus dilakukan untuk mendorong penyederhanaan kepartaian, penguatan sistem presidensial.

“Sehingga nantinya Presiden dan DPR tidak lagi terpenjara kepentingan multipolar satu sama lain yang dapat berakibat pada berlarutnya proses pengambilan keputusan,” jelasnya.

Menurut Valina, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mendesain ulang sistem pemilu, yaitu derajat representasi dan akuntabilitas anggota DPR, sistem kepartaian yang sederhana, serta pengaplikasian pemilu yang mudah dan berbiaya rendah. ”Sistem pemilu tertutup harus dipertimbangkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk digunakan dalam Pemilu 2024,” papar Valina.

Pengukuhan Valina dan suami sebagai guru besar dihadiri sejumlah anggota DKPP, antara lain Prof Muhammad, Dr Alfitra Salam, dan Dr Ida Budhiati. Selain itu hadir pula sejumlah tokoh seperti Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta beberapa pimpinan Bawaslu dan KPU. (Abdul Rochim)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6787 seconds (0.1#10.140)