Penolakan RUU KPK Atas Nama Guru Besar Unpad

Jum'at, 04 Oktober 2019 - 07:47 WIB
Penolakan RUU KPK Atas Nama Guru Besar Unpad
Penolakan RUU KPK Atas Nama Guru Besar Unpad
A A A
Romli AtmasasmitaGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran dan

Guru Besar Tetap Universitas Pasundan, Bandung

Penolakan terhadap setiap kebijakan pemerintah adalah hak konstitusional setiap warga negara Indonesia (WNI), termasuk kaum intelektual. Akan tetapi, berbeda cara pandang antara kaum intelektual dengan kaum awam dan juga mahasiswa.

Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) hasil inisiatif DPR bukan dari pemerintah sesuai dengan amanat UU RI Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Prosedur yang dianggap ganjil menurut mereka yang menolak revisi UU KPK berpulang pada kompromi politik oleh pengusung (DPR) dan pemerintah. Keterangan Menteri Hukum dan HAM di forum Indonesia Lawyers Club (ILC) merupakan saksi sejarah, termasuk Prof Muladi dan Prof Harkristuti sesuai dengan bidang keilmuan hukum pidana yang dikuasainya bahwa pada masa pemerintahan ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional berhasil diundangkan selama perjuangan 74 tahun.

Sementara RUU KPK juga telah dijelaskan dalam forum ILC oleh penulis. Di dalam RUU KUHP 2019 diatur mengenai larangan zina, kumpul kebo, kawin sesama jenis (LGBT), dan larangan bergelandangan serta perbuatan suami memerkosa istrinya (kesetaraan gender).

Pertanyaan saya, apakah penolakan guru besar atas nama Unpad, maksudnya Anda semua setuju perbuatan tersebut dihalalkan? Sebagai sesama kaum intelektual, perlu kajian ilmiah dengan metode kajian yang diakui dalam lingkup dunia akademik dan seharusnya oleh guru besar bidang ilmu terkait yang relevan dengan masalah yang dipersoalkan saat ini.

Perubahan UU KPK Tahun 2002 yang penulis sendiri (inisiator KPK) telah melakukan kajian komprehensif dari aspek filosofi, yuridis, sosiologis, dan komparatif. Kajian empirik menemukan fakta telah terjadi pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang oleh KPK yang tidak berdasarkan prinsip “due process of law”, seperti penetapan BG dan HP sebagai tersangka tanpa bukti sama sekali sehingga dibatalkan oleh putusan praperadilan di PN Jakarta Selatan.

Selain itu, penetapan tersangka 23 (dua puluh tiga) orang yang kurang bukti permulaan yang cukup sampai ada tersangka meninggal dunia dalam status tersangka dan KPK harus membayar tersangka sebesar Rp100 juta karena kalah atas gugatanseorang mantan hakim karena telah melakukan perampasan secara melawan hukum.

Kajian teoritik dari pertimbangan filosofi yuridis perubahan UU KPK didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 36 Tahun 2017 yang menegaskan status hukum KPK sebagai lembaga independen, yaitu KPK adalah lembaga pemerintahan yang melakukan tugas dan wewenangnya secara independen.

Putusan MK RI harus dimaknai bahwa status lembaga KPK adalah bagian tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan negara sehingga setiap keputusan mengenai rekrutmen, promosi, mutasi, dan penganggaran harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan, khususnya dalam bidang kepegawaian mengenai status penyelidik dan penyidik yang kini ada yang berasal dari non-PNS. Kewenangan KPK dalam melakukan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tetap independen karena tidak dapat diintervensi oleh lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) di dalam struktur organisasi baru KPK tidak akan membatasi tugas dan kewenangan KPK karena tugas Dewas hanya melakukan evaluasi kinerja KPK setiap tahun dan memberikan izin atau menolak penyadapan yang (akan) dilakukan KPK.

KeberadaanDewas diperlukan untuk mengawasi antara lain tindakan penyadapan yang tidak perlu minta izin pengadilan dan sejak 2009 sampai dengan 2019 KPK telah melakukan “unlawfull interception” disebabkan Peraturan Kemenkominfo tentang prosedur penyadapan telah dibatalkan Putusan MKRI akan tetapi Pimpinan KPK tidak segera mengoreksi keadaan ketiadaan pengawasan tersebut.

Keberadaan Dewas untuk mencegah praktik penyadapan yang ilegal dan potensial disalahgunakan untuk tujuan lain di luar kepentingan perkara, di samping untuk memaksimalkan perlindungan HAM setiap orang yang diduga telah melakukan korupsi. Berdasarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2004 hingga 2018 tentang audit atas kinerja KPK menunjukkan bahwa telah terjadi sebanyak 51 (lima puluh satu) pelanggaran dalam halsistem pengendalian internal (SPI) dan sebanyak 42 (empat puluh dua) pelanggaran kepatuhan terhadap undang-undang.

Dari pelanggaran SPI tercatat kelambatan setor uang PNBP dari gratifikasi sebesar Rp2. 489.843.0023 dan uang rampasan sebesar Rp 9.294.434.750. Selain hal tersebut, KPK telah mengeluarkan belanja operasional kegiatan rekam sidang PN Tipikor kerja sama dengan 34 universitas sebesar Rp790.724.365,- tidak dukung bukti-bukti pengeluaran; KPK tidak optimal melakukan pelacakan aset korupsi dari uang pengganti sehingga negara kehilangan potensial sebesar Rp141.496.105.889. Sementara yang dapat direalisasikan dari uji petik 17 terpidana sebesar Rp7.590.923.000.

Selain kekurangan-kekurangan dan inefektivitas kinerja KPK, lembaga ini telah berhasil memasukkan pelaku korupsi ke penjara secara signifikan selama 17 tahun berkiprah dari segi penindakan represif, akan tetapi tidak berhasil secara signifikan mengembalikan kerugian keuangan negara. Selama 2009 hingga 2014, KPK hanya berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp722.697.955.068. Sementara Kepolisian sebesar Rp3.135.124.232.282 dan Kejaksaan sebesar Rp6.637.161.971.801.

Anggaran KPK selama 2009–2014sebesarRp3.019.822.079. Namun, kinerja pencegahan Tahun -2013, KPK telah berhasil menyelamatkan keuangan negara dari sektor hulu migas sebesar Rp205.473.742.630.000 (dua ratus lima triliun empat ratus tujuh puluh tiga miliar tujuh ratus empat puluh dua juta enam ratus tiga puluh ribu rupiah).

Langkah pencegahan KPK dari satu sektor produksi migas saja telah berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara yang sangat signifikan dibandingkan langkah penindakan dan memenjarakan pelaku korupsi. Perubahan UU KPK 2002 adalah bertujuan untuk memaksimalkan strategi pencegahan daripada penindakan yang terbukti tidak memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional,di samping memelihara momentum pembangunan ekonomi nasional.

Atas dasar pertimbangan hukum dan berdasarkan prinsip ekonomi mikro (analisis “cost and benefit rasio”), tidak keliru jika di dalam perubahan UU KPK 2002 tugas dan wewenang KPK (tidak dilemahkan) tetapi ditingkatkan lebih efektif meliputi 6 (enam) langkah yaitu: tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana; koordinasi dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan korupsi; monitor penyelenggaraan pemerintahan negara; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, dan tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah: 1) perubahan UU KPK 2002 akan mengubah wajah KPK sebagai penyelamat aset negara dan pendukung penguatan ekonomi nasional dengan mendorong peningkatan investasi asing ke dalam negeri; 2) memperkuat sistem birokrasi pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas KKN; 3) memperkuat sistem koordinasi, sinkronisasi antarlembaga penegak hukum dan kementerian/lembaga sehingga dapat menciptakan ketertiban dan situasi kondusif dan terpercaya di mata publik. Last but not least, mencegah KPK sebagai lembaga independen digunakan sebagai sarana untuk tujuan politik atau kepentingan persaingan bisnis.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7088 seconds (0.1#10.140)