Lonceng Kematian Nalar dan Kebebasan Akademik

Rabu, 02 Oktober 2019 - 07:19 WIB
Lonceng Kematian Nalar dan Kebebasan Akademik
Lonceng Kematian Nalar dan Kebebasan Akademik
A A A
Rakhmat Hidayat
Sosiolog UNJ, Postdoctoral Fellow di University Tampere, Finlandia

MUNCULNYA suatu generasi baru merupakan suatu kejadian yang sangat penting di dalam perkembangan suatu masyarakat, terutama di negara-negara yang masih baru. Tentunya Anda menyadari pula bahwa dewasa ini Indonesia mempunyai suatu generasi baru yang sedang berusaha dengan sekuat tenaga menyatakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Saya tidak ragu-ragu bahwa Anda sekalian baik karena umur maupun karena pendidikan merupakan sebagian dari generasi baru tadi. Perjuangan generasi baru ini merupakan pula perjuangan Anda sekalian. Misi generasi muda sekarang adalah modernisasi, pembangunan dan demokratisasi.” (Soedjatmoko, “Menjadi Bangsa Terdidik menurut Soedjatmoko”, 2009)

Saya tiba-tiba teringat kembali sosok dan pemikiran Soedjatmoko (1922-1989) tentang diskusi cendekiawan, universitas, dan demokratisasi. Tulisan itu ditulisnya pada 1980-an, ketika ia menjabat rektor Universitas PBB di Tokyo (1980-1987). Dia satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjadi rektor di kampus tersebut. Atas dasar itulah, yang membuat saya membaca ulang beberapa referensi Soedjatmoko dan kemudian “memaksa’’ saya menulis catatan singkat ini. Referensi Soedjatmoko adalah bacaan wajib yang harus dipahami secara mendalam oleh siapa pun yang merasa sebagai aktivis, intelektual, atau cendekiawan.

Pemikiran-pemikirannya masih relevan dijadikan analisis dalam konteks Indonesia kontemporer. Meski refleksi pemikirannya ditulis dalam cengkeraman kekuasaan Orde Baru, tetapi di situlah, ia bisa melakukan teoritisasi empiris dari pertarungan cendekiawan dalam pusaran kekuasaan. Tema ini yang dalam pandangan saya tak pernah kehilangan daya tariknya dalam pertautan kekuasaan.

Lalu apa kaitannya pemikiran Soedjatmoko dengan konteks saat ini? Tentu karena seminggu terakhir ini, riuh diskusi publik gemuruh oleh demonstrasi mahasiswa dan pelajar di berbagai daerah yang kemudian menimbulkan reaksi dari pemerintah dalam hal ini Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) untuk membungkam gerakan protes tersebut.

Hal ini terjadi karena Menristekdikti dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menahan dan menghentikan aksi-aksi demonstrasi tersebut. Lebih lanjut, Menristekdikti akan memberikan sanksi tegas bagi dosen dan rektor yang terlibat mendukung aksi gerakan protes tersebut. Kata Menristekdikti, tugas mahasiswa hanya belajar di kampus. Dosen yang terlibat akan diberikan sanksi berupa SP 1 dan SP 2. Hebatnya lagi, setelah Menristekdikti, giliran Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik dalam Aksi Unjuk Rasa yang Berpotensi Kekerasan, yang dikeluarkan pada 27 September 2019.

Kekuasaan dan Ancaman
Dua sikap menteri tersebut sangat disayangkan dan menunjukkan ada ketakutan yang tinggi terhadap semakin masifnya gerakan protes dari mahasiswa dan pelajar. Memberikan ancaman sanksi kepada dosen bukanlah bagian dari cara berpikir akademik. Kampus adalah kapitalisasi pemikiran, gagasan, dan humanisme. Kampus bukanlah perusahaan yang dosen-dosennya disetarakan dengan pegawai yang mana bosnya bisa melakukan apa pun, termasuk mengeluarkan dan memecatnya.

Bahaya jika dosen, akademisi, dan intelektual dikelola dengan logika-logika korporat. Hal ini akan membawa kampus dalam ancaman matinya nalar dan kebebasan akademik. Universitas dibangun oleh persemaian diskursus dan dialektika para warganya. Dia dikelola oleh kebebasan akademik dan otonomi pengetahuan. Kekuasaan birokrasi tak bisa membungkam kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi sivitasnya.

Di sisi lain, para rektor dan pimpinan universitas tidak berani bersuara menanggapi ancaman Menristekdikti. Seolah mengafirmasi dan akan menindaklanjuti arahan dari menteri sebagai atasannya. Tidak ada penyikapan ini tentu sangat disayangkan dalam kerangka kebebasan akademik, tetapi pada sisi lain sikap diam mereka bisa dipahami karena rektor dipilih dengan dukungan suara Menristekdikti sebesar 35% dalam proses pemilihan rektor. Jadi, rektor harus tunduk dan patuh dari pemberi suaranya. Suara menteri 35% adalah salah satu kebijakan yang juga menuai protes karena dianggap menegasikan keberadaan Senat Universitas yang memiliki suara dalam pemilihan tersebut.

Suara akademisi yang menolak pembungkaman gerakan protes itu hanya riuh ramai di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Misalnya muncul sebuah siaran pers yang berjudul “Pernyataan Sikap Aliansi Akademisi Indonesia terhadap Demonstrasi Mahasiswa” yang muncul sejak 29 September 2019 dilengkapi dengan nama-nama dosen/akademisi beserta asal institusinya yang mendukung pernyataan tersebut.

Saya yakin sikap ini terus masif jika kekuasaan terus mengancam dan menekan gerakan mahasiswa. Bagaimanapun keberadaan pernyataan sikap ini harus diapresiasi sebagai juga bagian dari kontrol dari rezim pendidikan tinggi yang menggunakan kekuasaannya untuk meredam gerakan mahasiswa.

Harus dipahami bahwa gerakan protes mahasiswa tidak muncul tiba-tiba alias spontan. Gerakan demonstrasi ini muncul ketika kanal-kanal lainnya dianggap mandul dan tak memiliki pengaruhnya. Padahal, jauh hari sebelumnya sudah muncul berbagai tanggapan, protes, dialog, dan kritik terhadap beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang sedang digodok oleh DPR. Mulai dari revisi RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), revisi KUHP, dan yang lainnya.

Munculnya kritik dan komentar tersebut berasal dari ahli/pakar yang notabene adalah akademisi dari berbagai universitas yang didukung berbagai kalangan aktivis LSM. Suara akademisi ini adalah suara intelektual kampus dengan kapasitas akademik dan intelektualnya. Tetapi, itu juga tak didengar oleh DPR. Gelisah dengan fenomena ini, mahasiswa merasa terpanggil menyuarakan pemikiran dan kemandekan aspirasinya melalui kanal publik. Pilihan yang diambil kemudian adalah demonstrasi jalanan yang bisa menekan parlemen untuk menunda pengesahan beberapa RUU tersebut.

Sangat tidak beralasan jika asumsi muncul bahwa gerakan mereka ditunggangi oleh kepentingan politik untuk menurunkan atau menggagalkan pelantikan Jokowi. Kalaupun mereka ditunggangi itu karena ditunggangi oleh kesadaran dan panggilan kolektif menyuarakan kegelisahan publik terhadap tumpulnya daya serap aspirasinya.

Lihat saja, jika benar ditumpangi oleh agenda politik, tak mungkin mahasiswa milenial yang tak ada riwayat dunia aktivisme kampus ikut aksi demonstrasi dengan militan. Kita juga bisa melihat gerakan #Gejayan Memanggil (Senin/23-09-2019) yang secara damai dan suka cita menolak berbagai revisi undang-undang tersebut. Gerakan mereka tanpa ada sepatah kata pun orasi untuk menurunkan Jokowi. Lagian, mereka juga sudah cerdas. Tak perlu rasanya diajari cara-cara kampungan.

Dalam berbagai fase pergulatan sosial politik di republik ini, gerakan demonstrasi jalanan mahasiswa selalu menjadi pilihan strategis untuk menekan penguasa yang tiran dan represif. Saya kira peta dan kondisi sosiologis ini harus dipahami oleh rezim pendidikan tinggi untuk lebih humanis dan cerdas menghadapi pola dan gerakan mahasiswa.

Saya kira kurang cerdaslah dengan model ancaman-ancaman seperti itu. Cukup mengimbau agar aspirasi mahasiswa dan dosen bisa dikawal dengan aman, independen, damai, dan tanpa kekerasan sehingga pernyataannya akan kelihatan lebih elegan, cerdas, dan respek ke gerakan mahasiswa. Jika memang ada dosen yang benar-benar diberikan sanksi oleh rektornya karena dianggap mendukung gerakan mahasiswa, tunggu saja waktunya mahasiswa-mahasiswa dan dosen akan bersatu di dunia maya dan dunia jalanan. Di era media sosial saat ini tak sulit melakukan konsolidasi untuk melakukan mobilisasi gagasan maupun massa.

Kampus, Ruang Publik, dan Demokratisasi

Kampus hidup dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat. Dalam sejarahnya, keberadaan universitas tak bisa dilepaskan dari perkembangan sosial masyarakatnya. Jika ada yang mengatakan bahwa mahasiswa kembali ke kampus untuk belajar. Ini adalah bagian dari konservatisme berpikir, kampus hanya sebagai menara gading. Sejarah republik ini selalu menunjukkan bahwa kampus berada paling terdepan dalam momen-momen penting pergulatan kekuasaan. Mulai dari generasi cendekia Boedi Oetomo 1908, generasi Sumpah Pemuda 1928, generasi 1966, 1974, 1978,1990-an, 1998, hingga generasi 2019 saat ini.

Dengan logika apa pun melokalisasi mahasiswa hanya di kampus justru adalah cara berpikir ahistoris yang sejatinya itu kemudian menafikan peran-peran historis mahasiswa. Kampus itu adalah bagian dari ruang publik yang memiliki tugas mengontrol dan mengkritisi ruang publik. Kampus itu melekat (embedded) dengan masyarakat. Kampus dibiayai oleh uang rakyat. Kewajiban kampus adalah memberikan kontribusinya untuk rakyat dan publik.

Bayangkan jika tugas dan kontrol kekuasaan sudah tidak mempan lagi oleh parlemen karena mereka juga ikut bersekongkol dengan kekuasaan, kepada siapa lagi peran kontrol tersebut bisa diberikan? Keberadaan pers dan media juga dipertanyakan karena juga sudah menjadi bagian korporatisme kekuasaan. Akan semakin tragis jika kampus juga adalah bagian dari kekuasaan. Di situlah, kampus sudah kehilangan raison d’etre-nya. Kampus sudah kehilangan elan vital-nya dalam peran di ruang publik.

Demonstrasi jalanan pada 23-24 September 2019 adalah cara dan pilihan di mana nalar intelektualisme ditunaikan. Ini adalah bagian merawat nalar dan kebebasan akademik yang harus tumbuh subur di kampus sekaligus antitesis dari modus operandi rezim pendidikan tinggi yang berupaya meredam dan memainkan kekuasaannya.

Nalar intelektual dan kebebasan akademik adalah dua senyawa dalam kecendekiawanan seseorang. Bukan ditentukan oleh kapital ekonomi pun kapital politik-kekuasaan. Dalam berbagai hal, suara intelektualisme dan aktivisme kampus bisa menghadapi dengan elegan ada berbagai aparatus penguasa yang ditopang organ dan alat kekuasaannya. Dan, lagi-lagi, kita juga sudah diajarkan betul oleh sejarah, penguasa otoriter sekalipun di negeri ini dengan dukungan militer, gerakan mahasiswa bisa menumbangkannya. Benar kata Bung Karno, Jasmerah!
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3044 seconds (0.1#10.140)