Ujian Kesaktian Pancasila

Selasa, 01 Oktober 2019 - 05:30 WIB
Ujian Kesaktian Pancasila
Ujian Kesaktian Pancasila
A A A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang

HARI-hari ini Pancasila menjadi tema seksi di jagat kebangsaan kita. Pancasila menjadi seksi minimal karena dua alasan pokok. Pertama , ruang kebangsaan Indonesia kerap diisi dengan berbagai hal yang bertentangan dengan Pancasila. Berbagai isu dan wacana masuknya agama dalam politik berikut gerakan primordial yang masih menguat sampai saat ini cukup menunjukkan bahwa bangsa ini sedang dilanda ketidakstabilan politik dan ideologi. Di ruang sosial, beragam gerakan bersimbol primordialisme tersebut seakan memberitahukan adanya ancaman yang terus menghantui bangsa ini.

Kedua , isu dan wacana bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI), yang muncul akhir-akhir ini kental menggambarkan bahwa kita, meminjam B Herry Priyono, sedang terjebak dalam ketakutan akut. Kita menjadi bangsa yang dihantui rasa takut akan komunis berikut embel-embel komunisme di dalamnya. Paranoia adalah kata yang pas untuk menggambarkan realitas kebangsaan yang dilanda rasa takut demikian.

Beragam soal yang mendera bangsa Indonesia akhir-akhir ini mewajibkan semua pihak untuk kembali merenungkan kesaktian Pancasila. Isu radikalisme, gejala postsekularisme, masuknya agama ke dalam politik, dan lain-lain seakan menunjukkan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia lupa akan identitasnya. Gejala-gejala tersebut merupakan beberapa ujian faktual kesaktian Pancasila hari dan saat ini.

Menyebut bentuk ujian demikian, tesis Huntington (1996) perlu mendapatkan perhatian di sini. Konflik terjadi dan itu harus diakui. Konflik terjadi bukan antarnegara. Konflik justru muncul dan terjadi antarbangsa dalam sebuah negara berdaulat. Sebuah pesan konflik antarperadaban sebagaimana diramalkan Huntington.

Belum selesai dengan beragam isu, muncul isu lain yang tak kalah menarik. Bahwa PKI akan segera bangkit dan hadir kembali secara fisik di ruang politik dan kebangsaan Indonesia.

Di titik itu, kesaktian Pancasila layak disebut dan harus dibahas. Dibahas karena kesaktian Pancasila sebenarnya tidak hanya terjadi per 1 Oktober 1965. Kesaktian Pancasila akan terus dipertahankan dan semakin kuat ketika beragam ujian yang datang silih berganti itu bisa dilalui dan dilewati dengan aman dan damai. Satu hal yang bisa dipakai untuk menyiapkan peranti Pancasila semakin menguat adalah mempertegas kesamaan memori kolektif masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa Nusantara.

Memori Kolektif

Dalam Collective Memory, National Identity, and Ethnic Conflict: Greece, Bulgaria, and the Macedonian Question , Roudometof (2001) menjelaskan bahwa konflik sosial entah berbasis etnis dan agama hanya dapat dijelaskan sejauh memahami penanaman memori kolektif masa lampau dan pembangunan identitas nasional.

Menurut Roudometof, bangsa Balkan selalu terlibat konflik jika tidak mengingat memori kolektif, sebab dasarnya karena kepentingan lain di luar bangsa itu. Dengan kata lain, identitas nasional sebuah bangsa menurut Roudometof harus terus dibangun dan dipertahankan agar lebih kuat menghadapi berbagai tekanan dari luar.

Sementara itu, Peporte (2011) dalam Constructing the Middle Ages : Historiography, Collective Memory and Nation-Building In Luxembourg memaparkan bahwa konflik horizontal berbasis primordial sejatinya tidak terjadi jika semua elemen bangsa kembali, mengingat hal penting yang membentuk sebuah bangsa. Ketika hal esensial pembentuk bangsa diingat maka berbagai kejadian yang memecah-belah persatuan karena alasan primordial tidak akan terjadi.

Menurut Peporte, itulah alasan keberadaan lagu kebangsaan dan bendera nasional. Selain itu, bahasa bisa dipakai sebagai jalan untuk mengingat memori kolektif sebuah bangsa. Bacaan Peporte, Luksemburg merupakan salah satu negara yang rentan akan konflik karena posisi pluralitas bangsa ini. Maka itu, pemahaman akan pluralitas yang dihubungkan dengan ikon identitas nasional menjadi penting. Pancasila harus disebut di sini.

Nilai Pancasila

Membaca dua pandangan dari dua ahli di atas, mudah kiranya menjelaskan tentang identitas kita sebagai sebuah bangsa. Membaca Indonesia, sulit untuk tidak menempatkan Pancasila sebagai inti utama. Di Pancasila, yang paham tentang Indonesia akan segera tahu bahwa bangsa ini memang berlandaskan pada aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Soal seperti apa praktik Pancasila oleh rezim yang pernah berkuasa menjadi hal lain. Yang pasti bahwa lima sila itu sudah jelas memberikan arahan bahwa kita memang beda. Kita tidak sama. Yang sama adalah bahwa kita semua di Indonesia, sebagai sebuah bangsa tentu, harus mengakui bahwa Tuhan itu ada.

Pada aspek ini, pendiri negara tidak menyebutkan agama. Mereka rupanya tahu bahwa menyebut agama menjadi amat multitafsir dan sangat sensitif nanti. Karena banyak tafsir maka peluang terjadi konflik pasti besar. Maka itu, pendiri bangsa lebih memilih istilah ketuhanan daripada agama.

Pendiri bangsa paham benar bahwa Indonesia itu kaya budaya, etnis, dan agama. Indonesia bukanlah entitas tunggal. Indonesia terdiri atas banyak etnis, agama, budaya, bahasa, dan lain-lain. Dalam ruang seperti itu, posisi manusia menjadi amat penting. Itulah alasan mengapa setelah Tuhan, manusia menjadi landasan lain dari Pancasila.

Sadar akan eksistensi bangsa yang sangat majemuk itu maka pendiri bangsa kembali mengingatkan anak bangsa untuk menempatkan persatuan sebagai dasar negara. Jika tidak didasari semangat persatuan, beragam aspek yang berbeda bisa saja menjadi hambatan utama berdirinya sebuah negara bangsa.

Dalam ruang perbedaan, pengambilan keputusan menjadi perkara lain yang dipikirkan pendiri bangsa. Itulah alasan mengapa muncul sila permusyawaratan itu. Tujuannya agar setiap persoalan harus didiskusikan dengan baik. Jadi, di sana tidak ada mayoritas-minoritas. Hal yang diharapkan adalah menyelesaikan persoalan dengan berdiskusi secara terbuka dan, meminjam pandangan Habermas, jujur. Tanpa ada keterbukaan dan kejujuran maka riak perbedaan akan terus membesar.

Semua yang disebutkan di atas harus pula berlandaskan keadilan. Keadilan disebut dalam sebuah alam perbedaan. Tujuannya jelas, agar yang mayoritas tidak seenaknya memangsa yang minoritas dan sebaliknya; yang banyak tidak menghakimi yang sedikit. Itu sasaran dari sila keadilan.

Konteks Indonesia

Merujuk pernyataan dua ahli di atas, kita bisa memeriksa konteks keindonesiaan masa kini. Yang dilupakan oleh anak bangsa saat ini adalah memori kolektif masa lalu itu. Bahwa bangsa kita bukanlah bangsa tunggal dan satu. Bangsa kita adalah bangsa majemuk.

Karena majemuk maka setiap soal harus memikirkan lima hal yang menjadi dasar negara. Realitas ideal demikian terlampau jauh panggang dari api untuk konteks Indonesia sampai saat ini. Ini harus diakui terlebih dahulu.

Kebangsaan Indonesia akan tercabik-cabik jika kita tidak kembali merenungkan memori kolektif. Identitas kita sebagai sebuah bangsa harus dipahami benar terlebih dahulu. Pemahamannya berfokus pada keanekaragaman Indonesia. Hal itu mesti dipraktikkan di level sosial. Memori kolektif harus dipakai untuk menunjukkan identitas kita sebagai sebuah bangsa.

Di sisi yang lain, beragam isu dan wacana munculnya gerakan PKI harus ditanggapi dengan amat kritis dan hati-hati sebab setiap isu jelas belum memiliki nilai kebenaran. Bagi saya, menguatnya isu dan wacana PKI di Indonesia tidak lantas melemahkan persatuan kita. Kita semua wajib memeriksa sumber dan asal wacana tersebut sambil menilai alasan dan aktor di balik munculnya kembali isu PKI. Dengan kata lain, yang harus diperiksa adalah konteks kehadiran isu dan wacana PKI itu di Indonesia.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5939 seconds (0.1#10.140)