20 Tahun Berlaku, UU Pers Masih Relevan bagi Industri Pers Nasional

Selasa, 24 September 2019 - 19:56 WIB
20 Tahun Berlaku, UU Pers Masih Relevan bagi Industri Pers Nasional
20 Tahun Berlaku, UU Pers Masih Relevan bagi Industri Pers Nasional
A A A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor40 Tahun 1999 tentang Pers yang merupakan payung hukum bagi pers Indonesia dalam menjalankan fungsinya, dinilai masih relevan bagi industri Pers Nasional.

Itu terbukti dengan tidak adanya pembredelan media dalam kurun dua puluh tahun terakhir. Bahkan Indeks Kemerdekan Pers menunjukkan angka positif, selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Itulah benang merah yang terungkap dari seminar bertajuk Dua Dekade Undang-undang Pers dan Masa Depan Industri Pers di Indonesia yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat, Senin, 23 September 2019, dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews.

Seminar menghadirkan Komisaris PT Tempo Inti Media, Bambang Harymurti; Anggota Dewan Pers Asep Setiawan, Pemimpin Redaksi Tirto.id Sapto Anggoro; dan Ketua Harian SPS Pusat Januar P Ruswita.

Mewakili Dewan Pers, Asep Setiawan menyatakan dari segi Indeks Kemerdekaan Pers, Pers di Indonesia mengalami kenaikan. Namun, kata dia, tidak dibarengi sisi kualitas.

“Dalam Indeks Kemerdekaan Pers, kita memang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jumlah lembaga pers cetak memang berkurang, kekerasan terhadap wartawan juga menurun. Di sisi lain, dari segi kualitas pers belum melahirkan profesionalisme. Setiap hari ada pengaduan yang berkaitan dengan pemberitaan yang tidak bertanggung jawab, terutama di media daring,” tutunya.

Terkait model bisnis pers, menurut Bambang Harymurti, hingga saat ini belum banyak penerbit pers cetak di Indonesia yang benar-benar sukses menerapkan model bisnis baru dalam rangka menyesuaikan kehadiran internet, sembari tetap mempertahankan eksistensi produk cetaknya. Padahal, digitalisasi adalah keniscayaan bagi masa depan pers cetak di seluruh dunia.

“Salah satu solusi yang bisa diterapkan pada media cetak untuk mengimbangi perkembangan bisnis media online adalah jangan bergantung pada iklan, melainkan bergantung kepada pembaca. Bangunlah engagement yang baik dengan pembaca sehingga akan berpangaruh baik dari sisi bisnis,” ungkapnya.

Ketua harian SPS Pusat, Januar P Ruswita berpendapat masih ada masa depan bagi industri pers cetak. Tinggal bagaimana penerbit bisa menjaga brand-nya.

“Di media cetak, pendapatan iklan memang terus turun tiap tahun, tetapi dengan menjaga kekuatan brand yang dimiliki hal ini dapat mengembangkan model bisnis lain. Misalnya dengan menyelenggarakan event atau kerja sama dengan pemerintahan," kata Direktur Harian Pikiran Rakyat Bandung ini.

Pemimpin redaksi Tirto.id, Sapto Anggoro juga berbagi kisahnya dalam mengembangkan bisnis media digital. Dia bercerita saat Tirto lahir, satu tahun pertama berkomitmen untuk tidak akan menerima iklan.

Hal yang terpenting, kata dia, fokus meningkatkan kualitas konten. Jika itu baik, nanti akan mempengaruhi ketertarikan iklan yang ingin masuk.

Selain menyelenggarakan seminar, SPS Pusat juga memberikan anugerah gelar pahlawan kemerdekaan pers kepada presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie atas dedikasi dan sumbangsihnya bagi kemerdekaan pers di Indonesia.

Hadir mewakili keluarga menerima penghargaan tersebut, Direktur Eksekutif Habibie Center, Hadi Kuntjoro. Dalam sambutannya dia berharap semoga kemerdekaan pers di Indonesia abadi sepanjang masa.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3456 seconds (0.1#10.140)