Reforma Keuangan Negara

Selasa, 24 September 2019 - 08:08 WIB
Reforma Keuangan Negara
Reforma Keuangan Negara
A A A
Beni Kurnia Illahi

Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

KEUANGAN negara merupakan jantung kehidupan sebuah negara. Pemerintah tidak akan bisa berjalan efektif jika keuangan negara mengalami gangguan secara fisik sebab semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan dibiayai dengan tersedianya uang negara. Namun, hal tersebut akan menjadi masalah besar jika potensi kerugian keuangan negara dari tahun ke tahun semakin meningkat. Baru-baru ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Laporan Keuangan Semester I Tahun 2019. Ternyata hasil laporan tersebut cukup mengejutkan publik, di mana terdapat 14.965 permasalahan dengan potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp10,35 triliun.
Dari potensi kerugian negara tersebut, masih saja terdapat empat laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian (WDP) dan satu LKKL mendapatkan opini tidak menyatakan pendapat (TMP)/disclaimer . Meskipun secara teori opini BPK tidak menjamin sebuah K/L bersih secara kelembagaan, namun setidaknya dalam kajian empirik parameter opini dan IHPS dapat menggambarkan seberapa patuhnya K/L secara prosedur administrasi dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara sesuai dengan standar akuntansi pemerintah (SAP).
Dari persoalan yang ada, sebetulnya ada beberapa persoalan di hulu dan di hilir yang perlu dicermati dalam pengelolaan keuangan negara ini. Pertama, dalam penyusunan anggaran oleh pemerintah. Tahap ini seringkali terjadi insinkronisasi antara sistem perencanaan dan penganggaran. Di satu sisi, konstitusi mengejawantahkan bahwa penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara harus berdasarkan rencana kerja pemerintah yang dituangkan dalam bentuk rencana pembangunan jangka menengah/panjang yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sementara di sisi lain, dokumen rencana kerja anggaran kementerian/lembaga yang merupakan rahim dari kompilasi R-APBN berpatokan pada pokok-pokok kebijakan fiskal dan ekonomi makro yang disusun oleh Kementerian Keuangan. Akibat dari ketidaksinkronan sistem perencanaan dan penganggaran tersebut, sifat ego sektoral dari masing-masing kekuasaan mulai memperlihatkan tajinya dalam penyusunan R-APBN. Di samping itu, penyusunan anggaran pada setiap semester tahun anggaran seringkali tidak menggambarkan penganggaran yang betul-betul berbasis kinerja (performance budgeting ) serta tidak mau memberikan sebuah gagasan program kerja yang progresif baik pada tahun anggaran sebelumnya maupun saat perencanaan pembangunan. Melainkan hanya mengokupasi program dan kegiatan tahun sebelumnya dengan mengabaikan mekanisme perencanaan pembangunan nasional.

Begitu juga dengan sistem perencanaan dan penganggaran di daerah. Konsep perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pun sampai sekarang belum efektif dan tidak proporsional. Padahal, paradigma keuangan daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal yang ideal dalam rezim otonomi daerah menginginkan ada partisipasi masyarakat, pemberdayaan, proporsional, dan kesejahteraan. Desentralisasi fiskal yang diselenggarakan seharusnya mampu mengiringi sistem devolusi kekuasaan pemerintahan yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tidak lebih kepada ditangani oleh pusat secara sentralistik. Itu sebabnya, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sudah saatnya direvisi dan diintegrasikan dengan undang-undang pemerintahan daerah.

Kedua, dalam tahap pengolahan anggaran di DPR yang berakhir dengan pengesahan anggaran. Tahap ini merupakan tahap yang memiliki banyak persoalan dan agaknya bersifat politis. Sebab, tahap ini momentum mendesain pilihan APBN. Apakah APBN yang dilahirkan dalam bentuk undang-undang akan bersifat konstitusional responsif atau bahkan konstitusional represif. Sebagaimana diketahui, konstelasi politik hari ini jauh dari kedewasaan konstitusi. Kegaduhan yang ditimbulkan antara legislatif dan eksekutif juga merupakan faktor penghambat terwujudnya APBN konstitusional responsif tersebut. Karena, banyak sekali faktor yang melemahkan sistem pengolahan anggaran itu bekerja. Misalnya, masih saja terjadi distorsi untuk mendesain secara sengaja agar APBN tersebut defisit sehingga memberi peluang ketidakefisienan dan praktik invisible hands .

Sementara desain APBN hanya dimaknai sebagai proses teknokratis untuk mengelola sumber daya ekonomi, pun APBN kurang dimaknai sebagai alat perencana untuk menginisiasi tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi. Sehingga, amanat konstitusi dan undang-undang tidak seluruhnya direalisasikan. Contoh sederhana misalnya Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menjelaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun, implikasinya hanya beberapa persen yang terserap per tahunnya. Begitu juga di sektor kesehatan, di mana anggaran yang diprioritaskan minimal 5% dari APBN, namun hanya mendapatkan takaran kurang dari 2%. Paling berbahayanya adalah pendapatan negara dikalkulasikan dengan sangat tidak wajar seperti penerimaan pajak dan juga PNBP sehingga memberikan kesempatan terjadinya praktik korup penerimaan negara.

Ketiga, soal pelaksanaan anggaran oleh pemerintah. Tahap ini merupakan tahap yang paling rawan karena di sinilah potensi korupsi itu dimulai. Maka tidak heran sampai saat ini masih terjadi kebocoran uang negara, kebobrokan dalam pengelolaan anggaran, mark up /mark down, hingga praktik korupsi seperti yang menjamur hingga saat ini. Di samping itu, birokrasi pemerintahan juga dihadapkan dengan persoalan tersendatnya proses perencanaan pembangunan dikarenakan antara perencanaan dan anggaran tidak sinergi. Bukankah Indonesia sudah menganut prinsip-prinsip good financial governance (GFG) yang merupakan turunan dari prinsip good and clean governance ? Menurut Bank Dunia, kondisi penyerapan anggaran pada pemerintah pusat maupun daerah di Indonesia yaitu lambat di awal tahun, namun menumpuk di akhir tahun (slow and back-loaded expenditure ). Faktor penyebabnya ialah kurangnya planning dan proses pembahasan anggaran di awal. Keberadaan revisi-revisi dan tarik ulur kepentingan menyebabkan program kerja sulit dan terhambat untuk dieksekusi. Jika kebiasaan itu masih terulang, maka penumpukan di akhir tahun anggaran akan terus terjadi.

Di samping itu, lamanya proses tender juga merupakan faktor penyebab penyerapan anggaran rendah. Tidak sedikit pejabat pembuat komitmen (PPK) dan kuasa pengguna anggaran (KPA) yang masih minus kognitif terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa dan pelaksanaan anggaran. Belum lagi dalam penetapan standar biaya proses lelang yang sangat variatif dan bertentangan dengan aturan hukum. Sementara yang menjadi faktor utamanya adalah ketakutan aparat dalam menggunakan anggaran, faktanya memang banyak pimpinan K/L, kepala daerah, PPK, KPA, dan bendahara yang berurusan langsung dengan aparat penegak hukum (APH) karena ditemukan mainsrea ada dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan negara dalam pelaksanaan kegiatan sehingga menimbulkan stigma ketakutan dalam merealisasikan anggaran.

Ini sebetulnya persoalan serius yang harus menjadi perhatian pemerintah. Meskipun sudah ada landasan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang bisa melindungi pemerintah dalam mengeluarkan setiap tindakan/kebijakan untuk kepentingan umum berdasarkan prinsip freiss emmersen, namun aturan tersebut tidak terjamah dengan baik oleh badan/pejabat pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Semoga catatan reforma keuangan negara ini bisa menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mengkaji kembali arah pengelolaan keuangan negara sebagaimana amanat konstitusi.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4598 seconds (0.1#10.140)