KPK (Belum) Mati

Senin, 23 September 2019 - 06:27 WIB
KPK (Belum) Mati
KPK (Belum) Mati
A A A
Idul Rishan
Staf Pengajar Departemen HTN, Universitas Islam Indonesia (UII)

BEGITU
banyak narasi yang telah disematkan oleh para akademisi maupun penggiat antikorupsi untuk mendeskripsikan kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Dalam beberapa ruang pendapat media cetak maupun elektronik, ada yang telah menyatakan KPK telah mati, ia akan dibunuh, ia dibunuh lagi, bahkan ia mati lagi.

Beberapa narasi di atas memberikan pesan bahwa KPK sedang berada dalam situasi sulit. Betapa tidak, hanya dalam waktu 13 hari, revisi UU KPK telah disetujui untuk segera diundangkan. Beberapa daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam revisi UU KPK yang mendapatkan begitu banyak penolakan nyatanya tidak sedikit pun memengaruhi sikap DPR dan pemerintah.

Beberapa poin krusial dalam revisi UU disinyalir akan mematikan eksistensi KPK sebagai lembaga kuat guna memerangi korupsi. Bahkan pimpinan KPK sekalipun tak lagi menyisakan asa pada ruang-ruang publik. Mereka teriak, dan mengembalikan mandat pemberantasan korupsi itu kepada Presiden. Seolah tak ada lagi harapan.

Lantas apa dan bagaimana sekarang? Kondisi saat ini memang sulit, namun setidaknya harapan itu masih ada. Sungguh pun sisa menunggu pengesahan untuk diundangkan, masih ada sejumlah opsi lain guna menyelamatkan KPK. Memastikan ia tetap hidup, dan berdiri tegak dalam agenda pemberantasan korupsi.

Injury Time
Sebagai institusi yang lahir dari rahim reformasi, ini bukan kali pertama KPK dihadapkan dengan situasi sulit. Bahkan bisa disebut, KPK ialah satu-satunya anak reformasi yang berhasil tumbuh dan berkembang di tengah pusaran tekanan politik intervensionis. Karena ia dianggap sebagai ancaman, gejala ini sering berulang pada hampir setiap rezim pemerintahan.

Menariknya, dalam beberapa literatur hukum dan politik, para ilmuwan menyebut gejala ini sebagai “lame duck session” (Jane A Hudiburg: 2018). Kondisi akhir menjelang berakhirnya masa jabatan pemerintahan, sebelum masuknya rezim pemerintahan yang baru. Di menit injury time masa pemerintahan berakhir, selalu ada kejutan keputusan politik yang kontroversial.

Para aktor politik bertingkah bak akrobat, mencuri begitu banyak perhatian, dan mengambil keputusan politik yang sifatnya sektoral, cenderung meresahkan, bahkan membuat gaduh.

Sebagai contoh, peralihan masa pemerintahan Adams ke Jefferson meninggalkan sejarah yang tak pernah terlupakan. Adams membuat keputusan kontroversial dengan menunjuk Marshall dan pejabat-pejabat lainnya sebagai duta besar dan hakim agung di sisa waktu masa pemerintahannya berakhir. Keputusan itu diambil di tengah malam hari, kemudian dikenal dengan istilah midnight appointment.

Tak berbeda jauh, kondisi ini pernah diperankan pemerintahan SBY di akhir masa jabatannya. Sebelum masa pemerintahannya berakhir, Presiden bersama DPR mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada).

Keputusan politik ini dianggap sebagai jalan mundur demokrasi. Salah satu pasal krusial dalam UU ini mengatur bahwa kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan dipilih dan ditetapkan melalui DPRD. Akibat kegaduhan besar yang ditimbulkan, SBY memulihkan kondisi ini dengan menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Perppu itu kembali menjadi penyelamat demokrasi dengan mengembalikan kuasa rakyat dengan model pilkada langsung. Kondisi di atas setidaknya memberikan sebuah preposisi bahwa menjelang masa pemerintahan berakhir akan ada banyak kejutan, bahkan keputusan politik yang kontroversial.

Dan, sebenarnya itu tidak hanya terjadi pada revisi UU KPK. Ada banyak RUU lain yang juga dikebut di sisa akhir masa pemerintahan. Di antaranya Revisi UU MD3, RUU KUHP, dan RUU Pertanahan. Akrobat politik legislasi itu akan terus terjadi sampai dengan “peluit akhir” berbunyi.

Skenario Penyelamatan
Setidaknya ada dua opsi yang masih bisa menjadi asa atas masa depan KPK. Opsi pertama ialah mendesak Presiden untuk menetapkan perppu. Melalui kewenangan legislasinya, Presiden dapat membuktikan komitmen dan janji politiknya atas penguatan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi.

Berdasarkan Pasal 22 UUDN, dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Langkah ini bisa memulihkan kondisi KPK dengan merevisi beberapa pasal krusial yang dinilai dapat melemahkan perannya dalam agenda pemberantasan korupsi.

Jika opsi ini tidak menjadi skenario penyelamatan KPK, maka pengujian konstitusional menjadi jalur alternatif untuk mengakhiri segala bentuk upaya pelemahan KPK.

Ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian terhadap hasil Revisi UU KPK. Pertama, alasan formil, kemudian kedua, ialah alasan materil. Secara formil, hasil Revisi UU KPK menyimpangi beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 mengatur bahwa setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Melihat masing-masing norma di atas, pemohon bisa mendalilkan bahwa Revisi UU KPK dapat dinilai cacat formil karena tidak disusun berdasarkan lazimnya prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. Belum lagi soal proses yang sama sekali tidak partisipatif, dalam membahas poin-poin krusial Revisi UU KPK.

Kedua, ialah alasan materil. Logika pembentukan dewan pengawas, izin penyadapan, serta tata kelola kepegawaian di bawah kontrol pemerintah justru akan melumpuhkan independensi kelembagaannya. Dalam batas logika sederhana, KPK merupakan antitesis dari kepolisian dan kejaksaan. Sehingga, tak cukup alasan bagi pembentuk undang-undang untuk mengooptasi kelembagaan KPK di bawah kontrol eksekutif. Dengan membaca beberapa kondisi di atas, maka harapan itu akan berada di palu hakim konstitusi. Asa masih tetap ada karena KPK belum mati.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4141 seconds (0.1#10.140)