RKUHP Dinilai Bermasalah dari Sisi Formulasi dan Substansi

Minggu, 22 September 2019 - 06:38 WIB
RKUHP Dinilai Bermasalah dari Sisi Formulasi dan Substansi
RKUHP Dinilai Bermasalah dari Sisi Formulasi dan Substansi
A A A
JAKARTA - Keputusan pemerintah meminta penundaan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dipandang tepat. RUU KUHP setidaknya mengandung dua persoalan yang bakal berdampak buruk jika tetap disahkan dalam waktu dekat.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai ada dua persoalan besar yang ada dalam polemik RUU KUHP. Pertama dari sisi formulasi pasal. Ada beberapa pasal yang secara substantif tidak masalah, tetapi karena diformulasikan sembarangan menimbulkan pemaknaan multitafsir. Kedua dari sisi substansi memang ada beberapa pasal yang bermasalah.

"Persoalan besarnya ada dua, satu ada hal-hal yang sebetulnya secara substantif tidak bermasalah, tapi formulasi tidak jelas sehingga menjadi multitafsir dan akhirnya akan menimbulkan persoalan. Yang kedua secara substansi memang bermasalah," ujar Ketua YLBHI Asfinawati dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk “Mengapa RKUHP Ditunda?” di d'consulate, Jakarta, kemarin.

Selain persoalan itu, Asfina juga mengungkapkan adanya gejala hukum dalam RUU KUHP tersebut. Salah satunya membungkam kebebasan sipil dalam mengkritik pemerintah. Jika saja RUU KUHP disahkan, Asfina mengatakan penjara hingga lapas akan menjadi melebihi kapasitas.

Karena banyaknya tersangka yang terkena pasal di RUU KUHP. "Ada berbagai macam hukuman yang sangat kurang, kan dia cuma mengatur beberapa saja untuk pidana alternatif. Sebagian besar masih menumpuk pada penjara. Padahal lapas sudah teriak-teriak ini over-crowding, kelebihan orang. Kita masih juga mengatur hukuman mati," jelasnya.

"Nah kira-kira kalau ini diberlakukan, maka bayangan saya akan banyak orang masuk penjara dan lapas-lapas penuh kasus pidana," tuturnya. Asfinawati juga menyanggah pemerintah dan DPR yang menganggap RUU KUHP sebagai upaya dekolonialisasi atas KUHP warisan Belanda.

Padahal, menurut Asfina, hal tersebut tak sepenuhnya mencerminkan perkataan pemerintah dan DPR. Sebab sejumlah pasal yang terdapat dalam KUHP versi kolonial justru dimuat lagi dalam RUU KUHP. Asfina mencontohkan pada aturan mengenai unggas yang dimuat dalam Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RUU KUHP.

"Soal unggas. Betul dia ada di undang-undang yang lama karena itu pertanyaan saya ini mau mengikuti semangat kolonial atau tidak? Kan tadi argumennya begitu. Kalau semangatnya untuk menghilangkan kolonialisme, tapi masih mengambil pasal-pasal kolonial ya apa bedanya itu maksud saya," ujarnya.

Asfina mengatakan diambilnya kembali aturan-aturan peninggalan kolonial Belanda menggugurkan argumen soal upaya dekolonialisasi. Maka dari itu dia berharap pemerintah maupun anggota DPR tak lagi membodohi rakyat dengan menggunakan argumentasi tersebut.

"Tesis mau mengganti produk kolonial ada di mana-mana dan menjadi justifikasi mengganti KUHP dan itu yang dikatakan pemerintah dan DPR. Kalau ternyata apa-apa yang di dalam kitab undang-undang kolonial itu masih kita gabungkan, maka tesis itu sudah gugur di depan publik. Dan jangan kita membodohi publik karena sebagian besar draf yang ada di KUHP lama masih dimasukkan ke RUU KUHP kemarin," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut anggota Dewan Pers Agung Darmajaya menyoroti sejumlah pasal yang bersifat kontraproduktif atau pasal karet. "Saya menegaskan ada beberapa catatan di mana itu kontraproduktif, pasal karet. Ketika sekarang muncul persoalan masuk KUHP artinya bicara kebebasan pers menyampaikan gagasan pendapat di satu sisi terbelenggu pidana, artinya tumpang-tindih," ujarnya.

Dia meminta para stakeholder pembahasan RUU KUHP tidak tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurutnya, terjadi persoalan dalam sebuah pemberitaan harus diselesaikan dengan UU Pers, bukan pidana. Dia juga menguraikan beberapa pasal karet seperti Pasal Penghinaan Presiden yang mengancam hak berpendapat pers di mana terminologi penghinaan tidak jelas karena bisa ditafsirkan secara sembarangan.

"Menghina itu seperti apa sih? Kalau namanya pejabat publik, tidak perlu sekelas presiden. Anda dikritik ya itu risikonya, kecuali masuk ke ranah pribadi," katanya. Agung juga mengatakan perlunya DPR RI memberikan literasi serta edukasi kepada masyarakat soal produk hukum yang ingin diputuskannya.

"Ini menjadi persoalan. Semoga produk yang akan dan sedang (berjalan) tidak hanya disampaikan informasinya, tetapi juga ada literasi dan edukasinya sehingga orang paham, tidak terjebak di akhir cerita suka dan tidak suka," jelasnya.

Dia juga berharap selama masa penundaan RUU KUHP, semua pihak aktif mencari solusi dari pasal-pasal yang dianggap krusial. "Ini bukan persoalan menang kalah, jadi jangan diartikan (begitu). Ini produk kita bersama, karena ketika KUHP ini diketok, semua yang menjadi objek di situ masuk dalam kesepahaman," katanya.

MUI Dukung Perluasan Pasal Perzinaan


Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam diskusi tersebut mendukung perluasan pasal perzinaan di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Sebab pasal tersebut dinilai mewakili nilai-nilai yang dipegang warga. Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengatakan di dalam revisi UU KUHP (RKUHP) definisi perzinaan diperluas.

Zina diartikan sebagai persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan. Dengan demikian kategorinya akan lebih komprehensif. "Sehingga ketika laki-laki dan perempuan belum menikah lalu bersetubuh, itu masuk perzinaan. Kumpul kebo masuk di dalamnya," ujar Ikhsan.

Ikhsan menjelaskan definisi zina dalam KUHP warisan Belanda terlalu sempit. Zina didefinisikan hubungan badan antara seorang yang sudah bersuami/beristri dengan orang lain yang bukan istri/suami saja. Maka dari itu Ikhsan meminta masyarakat melihat RUU KUHP secara komprehensif dan integral. Dengan demikian mereka tak berpikiran pendek dalam menelaah sebuah pasal. "Ini menjadi nilai baru yang sesuai dengan kultur Indonesia," jelasnya.

Ikhsan menjelaskan sebelum masyarakat harus memahami pasal-pasal yang diatur dalam RUU KUHP tersebut sebelum disahkan. Masyarakat wajib diedukasi perihal isi dari RUU KUHP itu. "Masyarakat perlu diedukasi untuk dipahamkan, itu wajib. Ini masalah sosialisasi sehingga pemahamannya keliru," tuturnya.

Selain itu Ikhsan juga menghargai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunda pengesahan RUU KUHP itu. Dia menyebut masih banyak pasal yang masih harus dibahas agar tidak ada efek buruk saat RUU itu sudah disahkan.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6679 seconds (0.1#10.140)