Paradoks Penanganan Karhutla

Jum'at, 20 September 2019 - 06:30 WIB
Paradoks Penanganan Karhutla
Paradoks Penanganan Karhutla
A A A
Abdul Kodir
Staf Pengajar pada Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Malang


PADA prinsipnya, Pemerintah Indonesia tidak akan pernah bisa lepas dari sawit. Komoditas ini tidak hanya memberikan kontribusi besar terhadap devisa negara, namun kepada elite politik, pengusaha, dan para pejabat yang memiliki izin usaha perkebunan tersebut. Dari itu semua, ada harga mahal yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia sebagai dampak perluasan perkebunan sawit. Salah satunya adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terlebih yang terjadi saat ini.

Karhutla menjadi fenomena yang hampir terjadi di setiap tahun. Setidaknya ada dua faktor yang mendorong terjadinya karhutla di Indonesia. Pertama, karena peristiwa alamiah akibat puncak musim kemarau. Kedua, disebabkan pembakaran yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan perluasan lahan perkebunan terutama untuk ekspansi perkebunan sawit. Namun, faktor terakhir inilah yang paling berkontribusi besar dalam terbakarnya jutaan hektare hutan dan lahan, terutama di Sumatera dan Kalimantan.

Data terkini (1 Januari–15 September 2019) terdapat setidaknya 14.352 titik kebakaran yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Riau dan Kalimantan Tengah (KLHK, 2109). Terjadinya karhutla terutama yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera berkontribusi pada kerusakan lingkungan, ancaman hilangnya keanekaragaman hayati, dan mengganggu kesehatan seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang diakibatkan menurunnya kualitas udara. Karena berdasarkan pantauan dari aplikasi AirVisual bahwa indeks kualitas udara mencapai pada angka 1.760 yang dikategorikan level berbahaya.

Kondisi demikian seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah. Karena peristiwa ini bukan terjadi sekali namun terjadi berkali-kali pada setiap tahun. Pemerintah hendaknya menyiapkan langkah-langkah antisipatif jika memang terjadinya karhutla karena fenomena alamiah. Namun, banyak kasus yang ada, terjadinya karhutla karena upaya pembakaran hutan dilakukan secara sengaja sehingga perlu penindakan hukum yang tegas.

Korporasi di Balik Pembakaran Hutan

Setidaknya ada pernyataan perwakilan dari pemerintah yang terlalu menyederhanakan bencana karhutla. Terkesan berusaha menyembunyikan fakta sesungguhnya di balik bencana tersebut. Pertama, apa yang dikatakan oleh Menkopolhukam Wiranto beberapa waktu lalu bahwa terjadinya karhutla disebabkan oleh para peladang (13/09/2019). Kedua, pernyataan Moeldoko selaku Kepala Staf Kantor Presiden (KSP) yang seolah-olah menganggap bahwa bencana karhutla merupakan bencana dari Tuhan sehingga menyarankan kepada masyarakat yang terkena dampak kabut asap untuk lebih bersabar. Kedua pernyataan ini tidak mendasar dan terkesan mengada-ada. Terkesan berusaha menyembunyikan fakta di balik penyebab bencana karhutla.

Dari hasil investigasi Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan setidaknya telah menyegel 42 perusahaan yang disinyalir melakukan pembakaran hutan. Tidak hanya itu, KLHK juga menetapkan empat korporasi sebagai tersangka pembakaran hutan.

Fakta tersebut memang tidak bisa dihindarkan karena pada dasarnya pengusahaan pengelolaan hutan sebagian besar dikuasai korporasi. Di sektor kehutanan terdapat izin pemanfaatan hutan dengan luas 40,46 juta hektare (95,76%) yang dikelola oleh korporasi, sedangkan 1,74 juta hektare (4,12%) dikelola oleh masyarakat (KLHK 2018). Sementara di sektor perkebunan, seluas 54% area sawit di kuasai korporasi swasta (Kemenhan, 2019). Berdasarkan fakta ini, tidak bisa dihindarkan lagi bahwa penyebab terbesar karhutla disebabkan oleh korporasi dan didominasi perusahaan sawit.

Fakta Lain di Balik Kampanye #Sawitbaik

Bagaimana mungkin, di saat sebagian besar masyarakat Indonesia menderita oleh kabut asap di wilayah Sumatera dan Kalimantan, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika serta korporasi melakukan gerakan nasional menggunakan tagar #sawitbaik. Bahkan, kampanye gerakan tersebut menjadi trending topic di linimasa media sosial Twitter. Ini bukan sekadar gerakan dan kampanye biasa, melainkan sebagai upaya propaganda untuk menyembunyikan fakta tentang kontribusi perkebunan sawit dalam karhutla dan persoalan lainnya.

Dalam kampanyenya, mereka berlindung dalam tiga narasi besar. Pertama, bahwa sawit menjadi penopang devisa negara. Kedua, sawit merupakan komoditas pertanian ramah lingkungan karena hanya memerlukan sedikit air dibandingkan tanaman lainnya, menyerap CO2, dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Ketiga, bahwa segala bentuk yang kita konsumsi setiap hari tidak bisa dilepaskan dari olahan sawit seperti minyak goreng, sabun cuci, sabun mandi dll.

Namun, dalam kasus karhutla, mereka menyembunyikan fakta bahwa perluasan 80% hutan dan lahan yang terbakar berubah menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri lainnya (BPNB, 2019). Selain menjadi salah satu faktor utama penyebab karhutla yang mengakibatkan kabut asap, perkebunan sawit dinilai telah memberikan dampak negatif seperti hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan pemanasan global, keringnya lahan gambut, dan deforestasi.

Tidak hanya itu, ekspansi perkebunan sawit dituding banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena sering kali dalam perluasan perkebunan tersebut merampas tanah-tanah adat dan petani serta yang lebih parah melakukan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat rentan ketika harus memperjuangkan hak-hak mereka. Tudingan ini bukanlah bentuk kampanye negatif untuk sawit, melainkan sebuah fakta yang berangkat dari temuan lapangan dan hasil penelitian.

Terjadinya karhutla di Indonesia bukan lagi fenomena alam biasa yang disebabkan karena puncak dari musim kemarau. Namun, merupakan bencana yang disebabkan oleh manusia (man made disaster) dengan kesengajaan melakukan pembakaran hutan secara ilegal untuk kepentingan pembukaan lahan. Bagi mereka, musim kemarau menjadi musim yang tepat sebagai tameng untuk berlindung dengan pendapat bahwa terjadinya karhutla fenomena alamiah.

Pemerintah tidaklah cukup dengan hanya melakukan upaya pencegahan melalui pemetaan potensi titik api. Perlu melakukan upaya penindakan secara hukum yang tegas kepada korporasi-korporasi yang dengan sengaja melakukan pembakaran untuk perluasan perkebunan sawit. Apalagi, turut aktif mengampanyekan #sawitbaik kepada masyarakat.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8618 seconds (0.1#10.140)