Berikut Poin-poin yang Berubah dalam Revisi UU KPK

Rabu, 18 September 2019 - 09:48 WIB
Berikut Poin-poin yang Berubah dalam Revisi UU KPK
Berikut Poin-poin yang Berubah dalam Revisi UU KPK
A A A
JAKARTA - Revisi kedua Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) berhasil disahkan DPR dan pemerintah dalam 3 kali rapat.

Rapat kerja (raker) pertama merupakan pemaparan pandangan DPR dan pemerintah yang dilakukan secara terbuka, dan dua rapat setelahnya rapat panja yang dilakukan tertutup.

Berikut hal yang berubah atau dipertegas kembali berdasakan hasil revisi kedua UU KPK, berdasarkan hasil pengamatan SINDOnews dari draf awal DPR dan draf hasil revisi.

Dalam konsideran menimbang, pada huruf b dipertegas mengenai kepolisian, kejaksaan dan KPK yang sinergitasnya perlu ditingkatkan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

b. bahwa kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;

Status KPK sebagai lembaga eksekutif yang sifatnya independen dan bebas dari kekuasaan manapun pada Pasal 3.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

KPK tetap menjadi lembaga yang berwenang terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggata Negara (LHKPN) sebagaimana Pasal 7 ayat 1.

(1) Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara.

Dalam ketentuan KPK mengambil alih penyidikan dan atau penuntutan, ditambahkan satu ketentuan baru pada Pasal 10A ayat 1, huruf f.

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kemudian, diselipkan beberapa pasal baru terkait dengan tugas dan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi, salah satunya soal izin penyadapan kepada Dewan Pengawas (Dewas) sebagaimana dalam Pasal 12A, 12B dan 12C.

Pasal 12A
Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.

(4) Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 12C
(1) Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.

Dipertegas juga soal sifat kerahasiaan hasil penyadapan dan ketentuan sanksi jika percapakan yang disadap itu bocor pada Pasal 12D.

(1) Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Hasil Penyadapan yang tidak terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi wajib dimusnahkan seketika.

(3) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan jumlah Anggota Dewas pada Pasal 21 ayat 1 huruf a Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang

Syarat Anggota Dewas, tata cara pemilihan Dewas, kewenangan Dewas dan juga kewajiban Dewas diatur khusus dalam Bab VA yang terdiri atas 7 pasal yakni Pasal 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F dan 37G. Serta Pasal 47 dan 69A. (ditulis dalam judul berbeda)

KPK diberikan kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 ayat 1, 2 dan 3.

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.

Status pegawai KPK yang selama ini dipolemikkan juga diatur dalam beberapa Pasal. Di antaranya Pasal 69B, 69C dan 70A. Serta membuat agar pegawai KPK taat kode etik pada Pasal 37B ayat 1 huruf c, d dan e.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8843 seconds (0.1#10.140)