Memahami Strategi Low Cost Carrier

Jum'at, 13 September 2019 - 15:29 WIB
Memahami Strategi Low Cost Carrier
Memahami Strategi Low Cost Carrier
A A A
JAKARTA - Maskapai low cost carrier atau penerbangan dengan biaya rendah berhasil mendominasi industri penerbangan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, pada tahun 2017, Lion Air berhasil mendominasi market share penumpang penerbangan domestik sebanyak 34 persen, disusul oleh maskapai penerbangan full-service berplat merah, Garuda Indonesia.

Lion Air tidak sendiri, ada Citilink dan Nam Air yang sekarang telah menjadi anak perusahaan Garuda, serta Air Asia Indonesia sebagai anak perusahaan Air Asia, maskapai penerbangan biaya rendah asal Malaysia yang telah mendapat berbagai penghargaan sebagai maskapai biaya rendah terbaik di dunia.

Naik maskapai berbiaya rendah tentu dapat menekan biaya pengeluaran berpergian kita, karena alasan harganya yang murah juga kenapa tiket penerbangan low cost carrier banyak diminati.

Namun ada harga yang harus dibayar. Maskapai berbiaya rendah memangkas harga dengan menghilangkan beberapa fasilitas yang biasanya terdapat di maskapai penerbangan full service seperti Garuda, Batik Air atau Singapore Airlines.

Selain soal harga yang sudah sangat jelas kentara perbedaannya, terdapat banyak perbedaan antara maskapai berbiaya rendah seperti Air Asia, Lion Air, Jetstar dengan maskapai full service seperti Garuda dan Batik Air.

Jika biaya operasional pesawat sangat tinggi, terutama biaya bahan bakar avtur yang bisa memakan 30-40 persen biaya operasional pesawat, bagaimana maskapai penerbangan berbiaya rendah atau low cost carrier menghasilkan keuntungan?

Konsep low cost carrier pertama kali digunakan oleh maskapai penerbangan asal Amerika Serikat, Pacific Southwest Airlines yang kemudian diadopsi oleh Southwest Airlines, maskapai yang didirikan Rollin King, Lamar Muse dan Herber Kelleher pada 1967 yang berhasil merebut pangsa pasar maskapai- maskapai penerbangan yang sudah mapan pada saat itu.

Dari sana tren atau model bisnis maskapai low cost carrier mulai menyebar dan diadopsi oleh maskapai- maskapai penerbangan di Eropa. Maskapai pertama yang menawarkan rute penerbangan transatlantik yang lebih murah adalah maskapai asal Islandia, Loftleidir pada tahun 1964.

Maskapai ini sering disebut sebagai "the Hippie Airline" karena rata-rata penumpang mereka adalah anak- anak SMA atau kuliahan yang baru lulus dan ingin menikmati dunia luar di luar Amerika Serikat.

Melihat keberhasilan beberapa maskapai penerbangan Eropa seperti easyJet dan Ryanair, maskapai penerbangan asal Malaysia, Air Asia memulai operasi penerbangan domestik mereka dengan model bisnis maskapai berbiaya rendah pada tahun 2001 yang merupakan hasil proses adaptasi model bisnis Southwest Airlines.

Berhasilnya model bisnis maskapai penerbangan biaya rendah merebut pangsa pasar maskapai full service membuat bisnis model maskapai low cost carrier diadopsi oleh banyak maskapai lainnya di hampir seluruh dunia, termasuk maskapai berbiaya rendah di Indonesia seperti Indonesia Air Asia, Lion Air dan Citilink.

Maskapai berbiaya rendah seperti Air Asia, Citilink, Jetstar dan sebagainya mempunyai strategi khusus untuk menurunkan biaya operasional dan efisiensi cost di semua lini. Maskapai berbiaya rendah mengurangi standar-standar fasilitas yang biasanya terdapat di pesawat-pesawat terbang maskapai full service seperti makanan, menghilangkan kelas bisnis, beroperasi di penerbangan jarak pendek serta memaksimalkan teknologi dalam berbagai layanan yang mereka sediakan, termasuk untuk check-in dan ticketing.

Selain itu, maskapai penerbangan berbiaya rendah juga mencari untung dari pemilihan kursi dan bagasi di pesawat. Beberapa maskapai penerbangan saat low cost carrier di Indonesia saat ini bahkan telah menerapkan kebijakan bagasi berbayar di setiap penerbangannya, seperti Lion Air, Citilink dan Wings Air.

Mengurangi beban operasional dengan menghilangkan beberapa fasilitas dan pelayanan yang biasanya terdapat di maskapai penerbangan full service dilakukan untuk tetap menjamin faktor keselamatan tetap terjaga.

Jika maskapai full service biasanya menginapkan para pilot, staf dan pramugarinya di hotel- hotel bebrintang lima, maskapai penerbangan berbiaya rendah menerapkan strategi dengan mengatur jadwal sedemikian rupa agar para awak serta pilot mereka kembali ke tempat tinggal atau mess mereka.

Maskapai penerbangan low cost carrier biasanya mempunyai rata-rata penerbangan di suatu rute yang lebih tinggi dibanding maskapai penerbangan full service. Hal ini dilakukan untuk memperpendek turn around time atau lama waktu pesawat parkir di bandara.

Semakin lama pesawat parkir di bandara maka biaya yang harus dibayar juga akan semakin membengkak. Maka dari itu, untuk menekan biaya operasional dan melakukan eisiensi di banyak sektor, maskapai penerbangan low cost carrier memilih terbang dibanding memarkir pesawatnya lama-lama di bandara.

Tidak seperti maskapai full service yang menyediakan kelas bisnis dan kelas satu di penerbangan mereka. Maskapai penerbangan low cost carrier hanya menyediakan satu kelas pilihan bagi setiap penumpangnya.

Maskapai penerbangan low cost carrier tidak memiliki kabin khusus seperti kelas bisnis di maskapai full service. Dengan kabin yang seragam pihak maskapai dapat menghemat banyak hal mulai dari interior hingga pelayanan.

Meski begitu, beberapa maskapai membebankan biaya bagi penumpang untuk memilih kursi yang ingin mereka tempati. Citilink contohnya, mereka memberika opsi kepada para penumpangnya untuk memilih kursi Green Zone atau Regular Zone dengan komplimen makanan ringan serta minuman. Dalam program ini penumpang akan dikenakan biaya mulai dari Rp60.000 hingga Rp135.000, tergantung program dan kursi yang dipilih.

Untuk melakukan efisiensi operasional, maskapai pesawat terbang berbiaya rendah biasanya melakukan penghematan bahan bakar dengan tidak membawa bahan bakar berlebih. Membawa bahakan bakar berlebih akan membuat beban pesawat semakin besar, hal ini akan mengakibatkan pesawat akan terbang lebih lambat daripada pesawat yang membawa bahan bakar secukupnya.

Karena banyaknya penyesuaian yang dilakukan untuk menghemat biaya ooperasional perusahaan. Banyak maskapai terbang low cost carrier yang memutuskan untuk membatalkan penerbangan jika kursi pesawat mereka kosong atau tidak memenuhi kuota minimal yang mereka tetapkan. Maskapai low cost carrier biasanya mengakali hal ini dengan memindahkan penumpang di penerbangan A ke penerbangan B untuk rute yang sama.

Meski begitu, tidak semua maskapai penerbangan low cost carrier menerapkan kebijakan seperti ini. Banyak dari maskapai low cost carrier yang berkomitmen tetap terbang meski jumlah penumpang tidak sesaui kuota.

Maskapai penerbangan bebriaya rendah biasanya mengambil jadwal penerbangan di waktu red eye flight atau pada jam yang sangat pagi dan jam yang sangat malam, waktu yang jarang diambil oleh maskapai full service.

Pangsa pasar transportasi angkutan udara Indonesia saat ini dikuasai oleh dua pemain, Garuda Group dan Lion Air Group. Lion Group berhasil menguasai 51 persen pangsa pasar penumpang domestik yang terbagi ke dalam tiga entitas perusahaan maskapai terbang, yaitu Lion Air, Batik Air dan Wings Air, dengan jumlah total penumpang yang mencapai 51, 72 juta penumpang.

Sedangkan pesaing mereka, Garuda Group, yang terdiri dari Sriwijaya Air, Citilink dan Nam Air berhasil menguasai 46 persen pangsa pasar penumpang transportasi angkutan udara domestik atau 46, 6 juta penumpang domestik. Sisanya, kue pangsa pasar domestik dibagi- bagi ke Air Asia, Trigana, Transnusa, Travel Express dan Kaistar Aviations.

Sama seperti di belahan dunia lain, di wilayah Asia termasuk Indonesia maskapai penerbangan low cost carrier diincar oleh banyak penumpang transportasi angkutan udara karena harga kursi untuk setiap penerbangannya yang terbilang murah.

Pada tahun 2017, maskapai berbiaya rendah di Asia Selatan telah mencapai 57,2%. Sedangkan pangsa pasar maskapai penerbangan low cost carrier di Asia Tenggara telah mencapai 52,6%.

Di Indonesia, Lion Air berhasil menjadi maskapai penerbangan low cost carrier yang menguasai ruang udara Indonesia sebesar 33 persen atau 33,45 juta penumpang pada tahun 2018 lalu. Disusul oleh anak perushaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia, yakni Citilink yang berhasil menguasai 14,5 persen pasar penumpang domestik atau sebanyak 14, 65 juta penumpang domestik.

Dengan jumlah armada yang dimiliki oleh Lion Air sebanyak 194 unit pesawat, maka tak aneh jika maskapai penerbangan yang dipimpin oleh Rusdi Kirana ini berhasil menguasai transportasi angkutan udara di Indonesia. Dengan jumlah armada yang cukup besar, Lion Air bisa mengoperasikan pesawat ke banyak rute yang tersebar ke seluruh Indonesia.

Citilink sendiri merupakan maskapai low cost carrier terbesar kedua di Indonesia dengan kekuatan armada sebanyak 61 pesawat. Pada tahun lalu, tingkat keterisian (load factor) Citilink berhasil mencapai angka 80 persen, yang terus berlanjut hingga dua bulan pertama di tahun 2019.

Apa yang dicapai oleh Citilink membuat salah satu pesaing mereka, Air Asia Indonesia untuk mengakuisisi Citilink. Kinerja Citilink yang terus meningkat setiap tahunnya membuat maskapai penerbangan yang berinduk di Malaysia ini, tertarik untuk mengambil alih Citilink Indonesia sebagai bagian dari rencana Kerja Sama Operasi (KSO) dengan Garuda Indonesia. Pada tahun lalu pertumbuhan penumpang Citilink naik 11 persen.

Air Asia sendiri merupakan maskapai penerbangan terbesar kelima di Asia dari segi armada dan jumlah penumpang. Dengan jumlah rute penerbangan sebanyak 88 rute yang tersebar ke seluruh penjuru Asia Tenggara, Asia Selatan dan Asia-Pasifik, wajar jiga Air Asia berusaha melakukan ekspansi di wilayah udara Indonesia, di mana hanya dua maskapai yang mendominasi market share.

Naiknya maskapai penerbangan low cost carrier dalam satu dekade terakhir ternyata berdampak cukup baik bagi industri pariwisata di setiap wilayah, termasuk Asia Tenggara. Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang mempunyai penetrasi tinggi untuk market share di maskapai penerbangan low cost carrier dengan total kursi 57 persen.

Pada 2015, menurut Sekretariat ASEAN, total 108,9 juta wisatawan terbang ke negara-negara ASEAN dan 42 persen dari wisatawan tersebut melakukan perjalanan di Asia Tenggara. Terbukti, merebaknya maskapai penerbangan low cost carrier menciptakan permintaan pasar yang kuat untuk perjalanan dan pariwisata di wilayah Asia Tenggara dan telah mengubah bentuk lanskap industri penerbangan di kawasan itu, melampaui batas-batas nasional.

Kelas menengah di kawasan ini menjadi lebih sering berpergian yang ikut menakan kunjungan wisatawan di beberapa wilayah di kawasan Asia Tenggara. Jumlah wisatawan yang tiba di negara-negara Asia Tenggara telah meningkat 25 persen dibanding tahun 2011. Pada 2023, jumlah wisatawan yang berkunjung di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai 145 juta wisatawan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3718 seconds (0.1#10.140)